Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Produktif

Berbicara merupakan suatu kegiatan berbahasa yang bersifat produktif. Produktif artinya menghasilkan atau mampu menghasilkan. Suatu kegiatan yang dilakukan dengan harapan memperoleh suatu hasil atau produk tentu produk tersebut merupakan produk yang baik.

Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Produktif
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Penulis: Dra. Lis Setiawati, S.Pd., M.Pd.

Berbicara merupakan suatu kegiatan berbahasa yang bersifat produktif. Produktif artinya menghasilkan atau mampu menghasilkan. Suatu kegiatan yang dilakukan dengan harapan memperoleh suatu hasil atau produk tentu produk tersebut merupakan produk yang baik. Baik menurut pembuat atau pencipta dan baik bagi orang lain khususnya konsumen. Untuk menghasilkan sebuah produk yang baik atau berkualitas, pembuat atau pencipta dalam hal ini pembicara harus memiliki berbagai pengetahuan dan keterampilan berkaitan dengan produk tersebut. Produk yang baik akan membuat konsumen senang, puas, dan kemungkinan besar ingin memiliki/ mendengarkannya lagi.

Bahan dasar kegiatan berbicara adalah materi yang akan disampaikan melalui bicara sedangkan alatnya adalah bahasa. Selain memiliki tujuan yang baik, materi yang baik, seorang pembicara juga harus memiliki pengetahuan tentang cara menyampaikan materi dengan cara yang baik. Cara-cara berbahasa yang baik di dalam pembelajaran berbahasa disebut etika berbahasa. Cara-cara menggunakan bahasa harus memperhatikan kepada siapa kita bericara, di mana kita berbicara, kapan waktu (pagi, siang, malam) kita menyampaikan materi pembicaraan dalam rangka mencapai tujuan. Selain unsur-unsur tersebut, terdapat pula unsur-unsur etika berbicara yang terkait dengan moral yakni (1) berbicara jujur, (2) berbicara hal yang baik, dan (3) berbicara lurus.

(1)Berbicara jujur

Janganlah mengatakan atau menyampaikan hal-hal yang tidak ada atau tidak benar sekalipundalam candaan. Berbicara seperti ini selain tidak berguna juga akan menyakiti hati orang yang mendengarkan karena merasa dibohongi atau ditipu.Sekarang banyak orang yang melakukan prank, berhati-hatilah. Seorang terpelajar terlebih orang beragama pasti mengetahui hal ini . Allah berfirman (QS.33:70) “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar” Juga Sabda Rasulullah SAW: “Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, dan celakalah dia!” (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani). Jadi, janganlah sekali-kali berkata dusta sekalipun sekadar bercanda atau melucu (prank).

Mungkin ada yang menyangkal atau menolak sabda rasul tersebut, seperti ungkapan “Memang hidup harus serius terus, capek kali.” Ketahuilah bahwa rasul juga suka bercanda (prank) tetapi tanpa

harus berdusta seperti ketika beliau bergurau dengan seorang nenek yang bertanya tentang surga. “Ya Rasul ceritakan kepadaku bagaimana keadaan di dalam surga?” Rasul menjawab: “Di surga tidak ada orang tua, semua penghuni surga itu orang-orang muda yang tampan dan cantik.” Mendengar itu sang nenek tampak bersedih. Melihat sang nenek bersedih, Rasulullah melanjutkan penjelasannya. “Nenek jangan bersedih, Allah mengembalikan tubuh orang-orang tua menjadi muda kembali ketika di surga. Jadi di surga nanti, nenek akan kembali menjadi gadis muda yang cantik.” Di dalam gurauan atau candaan tersebut rasul tidak berdusta tetapi telah membuat orang yang mendengarnya dalam suasana gembira. Kesimpulannya, kita harus selalu berperilaku jujur dalam situasi apapun (serius atau bercanda sekalipun). Jika tidak mampu sebaiknya diam.

(2) Berbicara hal yang baik

Sampaikan isi pembicaraan yang baik-baik sehingga bermanfaat bagi orang banyak. Banyak hal baik yang dapat disampaikan kepada orang lain seperti ilmu pengetahuan (agama dan sains) serta keterampilan. Materi yang berisi ilmu pengetahuan dan keterampilan berada dalam lingkup pendidikan dan pengajaran. Mengenai hal ini Abu Hurairah ra menyampaikan hadis Riwayat Muslim bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang mengajak pada petunjuk, ia memperoleh pahala sebagaimana pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikit pun dan dari pahala-pahala mereka yang mencontohnya itu. Barang siapa yang mengajak ke arah kesesatan maka ia memperoleh dosa sebagaimana dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka yang mencontohnya itu." Firman Allah (QS.17: 36): "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya,"

Berbicara hal-hal baik merupakan pertangungjawaban moral seorang pembicara. Berbicara hal buruk seperti menyampaikan aib seseorang atau merendahkan orang lain bukan hanya tidak bermanfaat tetapi juga akan berdampak buruk bagi banyak orang dan bagi si pembicara.

(3) Berbicara lurus

Berbicara lurus maksudnya berbicara sesuai tujuan dan materi yang akan dicapai. Jika tujuannya berbicara tentang masa depan anak, bicarakan masa depan anak yang seperti apa yang diinginkan, bagaimana mewujudkan masa depan anak sesuai yang diinginkan, apa saja yang diperlukan bagi terwujudnya masa depan anak yang diinginkan. Jangan bicarakan anak saya seperti ini, anak orang seperti itu.

Hal ini sudah melenceng dari tujuan. Pada akhirnya yang timbul adalah perdebatan atau rasa sakit hati atau bahkan permusuhan dan kerusuhan. Sebagai contoh nyata seorang tokoh mungkin tujuannya berbicara tentang semangat nasionalisme, berikut kalimatnya.

"Di abad 20, yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia itu Nabi Yang Mulia Muhammad atau Ir Sukarno?

Dari sisi bahasa ujaran ini tidak salah tetapi dari sisi makna pertanyaan ini meminta jawaban dari premis yang tidak sejalan (tidak perlu dilihat dari sudut pandang agama). Jika ingin membandingkan orang Indonesia yang berjuang pada abad 20, silakan cari pembanding yang setara. Untuk lebih jelas tentang kesalahan membuat perbandingan. Saya diminta menganalisis data satu penelitian bahasa yang digunakan siswa kelas IV dan kelas V pada pelajaran IPA. Saya bilang, tidak perlu dianalisis, data itu tidak valid. Menurut saya kesalahan ini masih bisa dimaklumi, manusianya ada walaupun datanya tidak bisa dianalisis karena tidak setara. Kesalahan berbicara seperti ini menunjukkan ketidaktahuan pembicara tentang banyak hal yakni tentang berbahasa, makna, dan ilmu perbandingan.

Contoh ujaran yang lain: “Saya ngeliat ibu-ibu tuh ya maaf ya, sekarang kaya budayanya beribu maaf, kenapa toh seneng banget ikut pengajian ya,” Ini bukan perbandingan, pertanyaannya apa tujuan dari ujaran ini. Jika tujuannya disusun secara baik maka keliru pada pemilihan diksi. Jika dianalisis untuk menemukan relevansi dengan tujuan, terlalu banyak diksi yang salah sehingga kalimat ujaran harus diganti (tidak masalah dengan baku dan nonbaku karena bahasa lisan). Perlu banyak pertanyaan untuk mengganti diksi yang salah antara lain.

• Apakah ibu-ibu itu bersalah?

• Jika iya, apa kesalahannya?

• Apakah senang ikut pengajian itu satu kesalahan?

• Apakah ujaran ini bermakna agar ibu-ibu berhenti ikut pengajian?

• Apakah maksudnya meminta bapak-bapak yang senang ikut pengajian?

Jika tidak ada dari pertanyaan itu yang dapat dijawab dengan benar, atau jawabannya “Ya bukan begitu maksudnya” maka bukan seperti itu pula yang diujarkan oleh pembicara karena tidak relevan dengan tujuan berbicara.

Bersyukurlah Tuhan memberi kita tubuh yang normal, baik anggota tubuh maupun alat indra. Alat wicara kita dapat bekerja dengan baik maka kita gunakan mengucapkan hal-hal yang baik. Berbicara di hadapan anak yatim dan orang miskin saja harus berhati-hati apalagi di hadapan sebuah

Bangsa yang derajatnya sangat beragam. Tuhan berfirman QS.4: 8) “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” Ayat ini ditujukan ketika seseorang membagi harta waris yang di sana hadir kerabat yang miskin dan anak-anak yatim tetapi tidak masuk ahli waris.

Uraian di atas menunjukkan bahwa berbicara di hadapan orang lain perlu ilmu, belajar merupakan jalan terbaik untuk meningkatkan derajat diri. Jangan sampai menjadi orang tidak bermartabat karena berbicara tanpa ilmu. Allah Ta'ala berfirman: "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS.50: 18).

Pernyertaan ayat dan hadis dalam tulisan ini untuk menguatkan teori. Ternyata seluruh masalah kehidupan manusia ada jalan keluarnya dan seluruh yang berkaitan dengan ilmu ada di dalam kitab suci. Wallahu a’lam.

Penulis :Dra. Lis Setiawati, S.Pd., M.Pd, Universitas Terbuka

Editor: Dr. Ida Sukowati, M.Hum