Kamu Nanya?

Sebuah fenomena baru yang sekarang menjadi popular di masyarakat. Ketika seseorang bertanya, maka dijawab,” Kamu nanya? Bertanya-tanya?” Respon tersebut muncul dari sebuah konten di media massa. Kemudian bentuk jawaban itu menjadi jawaban anak-anak kecil ketika ditanya oleh orang lain.

Kamu Nanya?
(Foto: Istimewa)

Oleh: Dr. Rahutami, M.Hum.

 

            Sebuah fenomena baru yang sekarang menjadi popular di masyarakat. Ketika seseorang bertanya, maka dijawab,” Kamu nanya? Bertanya-tanya?” Respon tersebut muncul dari sebuah konten di media massa. Kemudian bentuk jawaban itu menjadi jawaban anak-anak kecil ketika ditanya oleh orang lain.

            Secara sekilas, banyak orang yang menganggap jawaban itu lucu. Anak-anak pun ikut senang karena dianggap lucu. Banyak orang tua yang menganggap remeh, sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Tidak ada yang tersinggung ketika si anak menjawab demikian. Bahkan banyak remaja dan kaum dewasa yang menggunakan ungkapan tersebut dalam berbagai kesempatan.

            Bagaimana kalau reaksi para orang dewasa itu dianggap anak sebagai jawaban benar? Anak malah bangga dapat menjadi tokoh yang mengundang kelucuan. Anak tidak merasa salah ketika mengajukan kalimat tersebut. Jawaban itu pula yang diberikan oleh seorang siswa ketika ditanya gurunya di suatu sekolah. Anak secara refleks menjawab “Kamu nanya?”. Beberapa kali diulang pertanyaannya, anak dengan santai menjawab dengan kalimat tersebut. Anak-anak yang lain di kelas pun tertawa karena dianggap lucu.

            Tanpa disadari kita merespon positif hal-hal yang kurang tepat. Tanpa disadari pula kita telah mengkondisikan anak untuk memahami bahwa dia dapat menjawab demikian. Anak tidak tahu bahwa jawaban itu hanyalah bentuk gurauan atau humor, sehingga dia menggunakannya pada setiap kesempatan. Anak tidak memahami bahwa jawaban tersebut dapat membuat orang yang bertanya menjadi tersinggung atau jengkel. Anak tidak tahu bahwa jawaban tersebut menunjukkan kurangnya penghargaan pada pihak lain. Apalagi kalimat itu juga seringkali digunakan oleh kaum remaja.

            Bagaimana tindak lanjut yang harus dilakukan?

            Anak secara dini harus belajar menggunakan bahasa dengan tepat. Anak perlu dibiasakan untuk memilih kata atau kalimat sesuai dengan situasinya. Kesalahan merespon dapat mengakibatkan kesalahan penggunaan bahasa. Anak perlu memahami bentuk yang diijinkan atau tidak. Pada kegiatan belajar, anak akan mengamati bentuk-bentuk penggunaan bahasa di lingkungannya. Selanjutnya, anak akan menirunya. Apabila mendapat respon positif pasti akan menjadi kaidah bagi anak. Sebaliknya, penggunaan yang mendapat respon negatif, maka akan direduksi dari sistem kaidah anak.

            Untuk itu, kita perlu mendampingi anak untuk memilih kata dan kalimat yang tepat. Ketika anak menggunakan bentuk-bentuk yang kurang tepat, maka kita perlu mengingatkan dan menjelaskan ketepatannya. Sebagai contoh, “Kamu nanya?” hanya boleh digunakan ketika bergurau. Kalimat itu hanya bagian dari hiburan, bukan untuk digunakan dalam keseharian. Kalimat tersebut tidak boleh digunakan pada semua orang yang bertanya padanya. Perlu dijelaskan dengan hati-hati bahwa kalimat tersebut dapat menyinggung penanya.

            Tanggung jawab mengingatkan anak adalah tanggung jawab dari lingkungan anak. Seperti yang dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa tanggung jawab pendidikan anak berada di tri pusat pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Baik buruknya kualitas pendidikan anak bangsa tidak hanya berada di tangan seorang guru, tetapi juga orang tua dan masyarakat. Waktu belajar anak bersama guru tidak lebih panjang daripada proses belajar di keluarga dan masyarakat.

            Di sisi lain, pembinaan terhadap anak dapat dilakukan dengan tidak tepat. Misalnya, pembinaan dilakukan dengan memarahi. Bentuk pembinaan yang demikian tentu saja tidak dapat berhasil dengan baik. Anak menjadi takut memroduksi kalimat. Pembinaan harus dilakukan dengan ramah. Keramahan menjadikan anak merasa nyaman, sehingga tidak melakukan penolakan. Penjelasan harus disesuaikan dengan usia anak, karena berbeda usia dan latar belakang akan menghasilkan pemahaman yang berbeda.   

            Masalah yang dapat muncul dari pembinaan dari pihak lain adalah ketersinggungan orang tua. Orang tua merasa bahwa peringatan tersebut berlebihan. Jika anak masih kecil, maka orang tua cenderung menganggap bahwa peringatan tidak diperlukan karena anak masih tidak mengerti. Kalau pun sudah berumur lebih besar, terkadang orang tua merasa disalahkan karena kurang memberi pembinaan. Perasaan-perasaan demikian yang seharusnya dihindari. Orang tua perlu memahami bahwa pembinaan diperlukan untuk meningkatkan kualitas diri anak.

            Pembinaan juga dapat memunculkan pendapat tentang pembatasan penggunaan bahasa secara kreatif. Dimunculkan wacana bahwa tidak boleh memroduksi bentuk-bentuk non baku. Perlu dipahami bahwa peringatan sebagai bentuk pembinaan bahasa bukanlah pengekangan kreatifitas berbahasa. Pembinaan dimaksudkan untuk memberikan wawasan kepada pengguna tentang ketepatan waktu, tempat, situasi penggunaan bahasa. Pada situasi yang santai, akrab dan memecahkan ketegangan dapat digunakan bentuk-bentuk kreatif tersebut. Namun dalam situasi yang membutuhkan jawaban serius dan tepat harus memilih dan menggunakan bentuk yang tepat. Diharapkan bahwa anak bangsa tahu menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi.

 

Dr. Rahutami, M.Hum. adalah dosen di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Univeristas PGRI Kanjuruhan Malang dan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Huminiora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Dewi Kencanawati, M.Pd. dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Nusantara PGRI Kediri dan Ketua 5 PISHI