Tarbiyah atau Education? Negosiasi Identitas dalam Penerjemahan

Dr. Siti Asmiyah, M. TESOL.

Tarbiyah atau Education? Negosiasi Identitas dalam Penerjemahan

Sore itu sempat terjadi diskusi yang cukup hangat di meja tim akreditasi internasional, salah satu program studi yang ada di universitas tempat saya bekerja. Diskusi hangat berkutat pada cara kami harus menerjemahkan nama fakultas kami. Suasana semakin hangat ketika diselingi senda gurau dengan objek utama, tentunya kami para penerjemah. “Masa iya orang dengan latar belakang pendidikan bahasa Inggris keliru dalam menerjemahkan?” “Apa iya masukan pembaca terjemahan ini tepat untuk digunakan dalam dokumen borang berbahasa Inggris ini?”

Saya memang terlibat dalam tim akreditasi tersebut dengan tugas utama menerjemahkan borang. Bagi kebanyakan orang, mindset yang sering terbentuk adalah bahwa menerjemahkan sekadar proses mentransfer kata-kata dari satu bahasa ke bahasa yang lain sehingga komentar yang sering muncul adalah “halah, tinggal menerjemahkan saja lho.” Terkadang juga ada yang berseloroh, “kan sudah ahlinya, sebentar juga pasti jadi, to.” Ada juga yang terkadang bertanya, “hanya segini ini kok mahal sekali?”

Saya bukanlah seorang penerjemah bersertifikat. Namun, beberapa kawan sering minta tolong saya menerjemahkan. Sebagai bentuk tanggungjawab, biasanya saya akan membaca beberapa artikel terkait dengan topik dokumen yang saya terjemahkan. Jika diperlukan, saya juga berdiskusi dengan penulis untuk memastikan interpretasi saya terhadap dokumen yang saya terjemahkan. Hal ini untuk memastikan bahwa hasil terjemahan tidak keluar dari dokumen aslinya.

Dalam kasus borang di atas, diskusi panjang yang ada di tim terkait dengan cara terjemahan yang tepat untuk fakultas kami, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Ketika itu tim kami menerjemahkannya menjadi Faculty of Tarbiyah and Teacher Training. Ternyata, menurut reviewer borang, terjemahan tersebut tidak tepat dan bahkan terkesan lucu. Tidak mungkin orang luar negeri paham dengan terjemahan tersebut? mana ada Faculty of Tarbiyah and Teacher Training? Mengapa tidak langsung saja Faculty of Education? Kebetulan memang pada saat reviu, saya tidak hadir. Hanya tim inti penulis borang berbahasa Indonesia yang berdiskusi dengan reviewer sehingga forum reviu tidak dapat berjalan dua arah karena tim merasa tidak sesuai jika menjawab karena memang mereka tidak berlatar belakang bahasa Inggris. 

Singkat cerita, setelah review tersebut, muncullah diskusi terkait nama fakultas kami. Sebuah diskusi hangat renyah penuh senda gurau, tetapi serius. Sebuah diskusi yang akhirnya justru melebar, dari topik “apa terjemahan yang sesuai” hingga siapa dan apa landasan filosofis dari fakultas kami. Catatan reviewer tadi akhirnya justru menjadi pelecut bagi kami untuk merefleksi.

Beberapa diskusi yang muncul adalah apakah kata education dapat menggantikan kata tarbiyah? Ataukah harus menggunakan Islamic education agar tidak kehilangan ruh tarbiyahnya? Namun, jika menggunakan kata Islamic education, lantas bagaimana dengan program studi pendidikan umum yang dinaungi fakultas. Bukankah fakultas juga membawahi Prodi Pendidikan Matematika, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris dan Prodi Pendidikan IPA? Bagaimana jika hanya menggunakan education saja tanpa kata Islamic? Menurut kawan-kawan di tim, kata education tidak dapat sepenuhnya menaungi makna yang ada di kata tarbiyah. Tarbiyah tidak sekadar pendidikan sebagaimana dimaknai oleh orang barat, tetapi tarbiyah membawa makna yang lebih dari sekadar upaya untuk membangun pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan karakter baik. Dalam tarbiyah ada proses menumbuhkan keimanan, ketakwaan, dan jiwa bagi seorang muslim. Akhirnya, kami sepakat untuk melihat cara kampus-kampus lain di bawah Kementerian Agama menerjemahkan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Kami temukan bahwa Faculty of Tarbiyah and Teacher Training menjadi terjemahan yang lazim.

Pengalaman diskusi panjang tentang nama fakultas kami dalam bahasa Inggris mengingatkan saya tentang diskursus dan negosiasi identitas. Isian borang akreditasi merupakan etalase identitas kami sebagai fakultas. Sebagai fakultas dengan berbagai macam prodi kami memiliki identitas yang kompleks. Dengan identitas yang kompleks ini, kami memiliki sebuah collective social goal. Tujuan kolektif ini yang kemudian menurut Frow (1983) membentuk sebuah sistem ideologi kami yang kemudian membentuk aspek sosio kognitif (Bhatia, 2014) seluruh unsur yang ada di fakultas.

Ketika kami diminta untuk mengubah dari tarbiyah ke education dengan pertimbangan agar orang luar negeri yang membaca borang kami memahami istilah. Di situlah kemudian mulai muncul negosiasi identitas. Di satu sisi, kami perlu menyesuaikan dengan tuntutan asesor luar negeri, di sisi lain kami perlu memertahankan esensi utama identitas kami. Dengan pertimbangan itulah, kata tarbiyah dipertahankan dan frase teacher training menjadi wakil dari education.

Jika dikaitkan dengan terjemahan yang sama pada perguruan tinggi keagamaan lain, pemertahanan kata tarbiyah tidak saja menjadi keputusan dan pilihan internal di universitas kami. Disadari atau tidak, itu telah menjadi keputusan dan collective social goal dari fakultas yang sama di seluruh PTKIN. Jika kemudian ada tuntutan untuk menuliskan istilah tersebut dalam bahasa lain, keputusan kami pada saat itu adalah menambahkan keterangan.

Menerjemahkan memang dapat dilakukan dengan mudah melalui aplikasi penerjemahan seperti google translate. Akan tetapi, hasil terjemahan harus menjadi representasi dan cermin dari dokumen asli sehingga menerjemahkan menjadi proses yang dialogis. Hal ini karena dalam penerjemahan boleh jadi ada unsur-unsur identitas yang perlu dipertahankan sehingga memunculkan adanya negosiasi identitas baik dalam proses maupun dalam hasil penerjemahannya. Proses inilah yang oleh Bhatia (2014) disebut sebagai proses negosiasi identitas yang membentuk keantarwacanaan (interdiscursivity) dalam teks. (***)

  

Dr. Siti Asmiyah, M. TESOL. adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sunan Ampel Surabaya dan pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd.,  Prodi PBI, FISH, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan pengurus PISHI.