PP Muhammadiyah Desak Presiden Hentikan Pembangunan Rempang Eco City: "Sangat Bermasalah'

Muhammadiyah heran pemerintah juga terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang. Bahkan, kata dia, jauh sebelum Indonesia didirikan.

Sep 14, 2023 - 20:10
PP Muhammadiyah Desak Presiden Hentikan Pembangunan Rempang Eco City: "Sangat Bermasalah'

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Polemik di tanah Rempang, Batam, Kepulauan Riau masih terus bergulir.

Warga yang disebut-sebut telah tinggal sebelum Indonesia dinyatakan merdeka terancam digusur demi proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City.

Proyek itu dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) dan ditargetkan bisa menarik investasi besar dengan menggunakan lahan seluas seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang 16.500 hektare.

Warga yang mendiami di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru tersebut harus direlokasi ke lahan yang sudah disiapkan.

Jumlah warga tersebut diperkirakan antara 7.000 sampai 10.000 jiwa.

Warga dari 16 kampung Melayu di Rempang itu masih menolak penggusuran itu hingga saat ini.

Pada 7 September lalu penolakan itu berujung bentrok dengan kepolisian. Sebanyak 43 warga ditangkap dianggap provokator.

Penangkapan dan tindakan represif itu mendapat banyak kecaman seperti dari Komnas HAM dan PP Muhammadiyah.

Status tanah di Rempang

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menyatakan peristiwa di kawasan Pulau Rempang bukan penggusuran. Ia mengatakan yang terjadi adalah pengosongan lahan oleh yang berhak.

"Supaya dipahami kasus itu bukan kasus penggusuran, tetapi memang pengosongan karena memang secara hak itu akan digunakan oleh pemegang haknya," ujar Mahfud saat ditemui di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Jumat (8/9).

Mahfud menyebut negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah entitas perusahaan pada 2001-2002 berupa Hak Guna Usaha (HGU) . Namun, tanah itu belum digarap investor dan tak pernah dikunjungi.

Selanjutnya, pada 2004, hak atas tanah itu diberikan kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, menurut Mahfud, Surat Keterangan (SK) terkait hak itu telah dikeluarkan secara sah pada 2001-2002. Ia pun menyinggung kekeliruan yang dilakukan KLHK.

"Nah, ketika kemarin pada tahun 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut, ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian LHK. Nah, lalu diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak karena investor akan masuk," kata Mahfud.

"Nah, proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan, bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya," lanjutnya.

Pernyataan Mahfud itu dibantah oleh Eks Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.

Dia menilai tak hanya Mahfud, melainkan Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia gagal mengonstruksikan persoalan dalam kasus Rempang ini.

"Mereka gagal mengkonstruksi masalah ini seolah izin investasi kepada perusahaan bisa mengeliminasi hak ulayat dan hak hidup warga. Atas dasar apa warga diusir dari tanahnya?" kata Taufan.

Dia menjelaskan sebagian warga sudah berada di Rempang sejak 1834. Taufan menyebut Rempang merupakan tanah leluhur mereka.

Taufan turut menanggapi penjelasan Mahfud mengenai negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah entitas perusahaan berupa hak guna usaha pada 2001-2002.

Mahfud menyebut tanah itu belum digarap dan tak pernah dikunjungi. Pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati.

Kendati demikian, pada 2022, pemegang hak kembali datang ke Rempang lantaran ada investor yang akan masuk.

"Tahun 2002 diberikan izin ke pengusaha untuk mengelola Pulau Rempang. Bagaimana bisa itu terjadi tanah ulayat orang Melayu?" tanya Taufan

Taufan menilai Mahfud gagal paham apabila menganggap pengusaha lah yang berhak atas pulau tersebut.

Menurutnya, pemerintah mestinya mengambil langkah dengan menghentikan upaya relokasi warga.

Ia menyarankan agar proyek Rempang dihentikan terlebih dahulu. Taufan menilai perkara ini mestinya diselesaikan secara musyawarah dengan warga untuk mencari solusi bersama.

"Kalau menurut saya, stop relokasi, tunda semua kegiatan. Presiden turunkan tim khusus untuk berdialog dengan warga. Cari solusi," kata dia.

Anggota DPRD Kepulauan Riau (Kepri) Taba Iskandar pun tak setuju terkait relokasi itu.

Dia sepakat dengan Taufan bahwa warga telah tinggal sebelum Indonesia merdeka pada 1945.

Taba menyebut warga yang terancam relokasi itu juga merupakan penduduk asli Rempang.

"Jauh sebelum diberikan ke BP Batam mereka udah tinggal di situ, beranak pinak, leluhurnya di sana," kata dia kepada CNNINdonesia.com, Rabu (13/9).

Dia juga menyatakan bukti kepemilikan warga terhadap sertifikat tidak seharusnya menjadi legitimasi relokasi. Pasalnya, ada bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa warga sudah tinggal sejak lama dan memiliki tanah tersebut.

"Menteri ATR/BPN bilang enggak punya sertifikat. Padahal mereka nenek moyang di sana ratusan tahun. Buktinya bisa dilihat dari catatan kependudukan. Sebelum masuk ke Batam, masyarakat Rempang itu dalam wilayah administrasi kepulauan riau. sudah eksis mereka," jelas dia.

"Bahkan jauh sebelum itu, masa kerajaan Riau Lingga, makamnya ada di Pulau Lintang," imbuhnya.

Menurutnya, meski saat ini lahan warga itu diklaim sebagai tanah negara. Seharusnya, kata dia, pemerintah lebih berpihak dan mendahulukan pada warga asli.

"Masa orang tinggal di rumah sendiri harus diusir. Dia lebih dulu di sana dibanding otorita Batam," ujarnya.

Sementara itu Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto menegaskan bahwa lahan tinggal sebagai pemicu kericuhan di Pulau Rempang tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).

"Jadi, masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat karena memang dulu, semuanya ada di bawah otorita Batam," ujar Hadi dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI di Jakarta, Selasa.

Hadi menjelaskan, lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare ini merupakan kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektare merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Hadi mengatakan, sebelum terjadi konflik di Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat.

Menurutnya, hampir 50 persen dari warganya menerima usulan yang telah disampaikan.

Presiden Joko Widodo sendiri mengakui bentrok di Batam karena PSN kawasan Pulau Rempang merupakan bentuk komunikasi yang kurang baik.

Dia ingin ada diskusi sebelum pengalihan lahan. Jokowi memerintahkan anak buahnya untuk mendekati warga dan memberi solusi.

Dia berkata sebenarnya sudah ada kesepakatan untuk ganti rugi. Warga akan diberikan ganti laha. Seluas 500 meter dengan bangunan tipe 45.

Muhammadiyah Desak PSN Rempang Eco-City Dicabut

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendesak pemerintah agar proyek Rempang Eco-City di Batam dicabut sebagai proyek strategis nasional (PSN) karena dianggap sangat bermasalah.

Dalam keterangan tertulis yang ditandangani Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Hikmah, Busyro Muqoddas, disebutkan payung hukum Rempang Eco-City baru disahkan pada 28 Agustus 2023, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Daftar PSN.

Namun proyek tersebut tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak.

"Meminta Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Perkonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco-City sebagai PSN," demikian pernyataan dalam keterangan tertulis, Rabu (13/9).

LHKP dan Majelis Hukum & HAM PP Muhammadiyah mengecam pemerintah yang menggusur masyarakat Pulau Rempang, Kepulauan Riau demi kepentingan industri swasta.

Apalagi, kata Muhammadiyah, dalam proses penggusuran itu dikerahkan kepolisian dan TNI menggunakan kekuatan secara berlebihan. Hal tersebut seperti yang terjadi pada 7 September lalu.

Menurutnya, sikap represif dari aparat untuk memaksa warga pindah sangat brutal dan memalukan.

"Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau untuk segera membebaskan sejumlah warga yang sedang ditahan serta menarik seluruh aparat bersenjata dari lokasi konflik".

Muhammadiyah heran pemerintah juga terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang. Bahkan, kata dia, jauh sebelum Indonesia didirikan.

"Melalui penggusuran paksa itu, negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka berupa Proyek Eco-city seluas 17.000 hektar".

LHKP dan MHH PP Muhammadiyah menilai pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyatakan bahwa 'tanah di Pulau Rempang itu belum pernah digarap' sangat keliru. Faktanya masyarakat di sana telah ada sejak tahun 1834.

"Menko Polhukam nampak jelas posisinya membela kepentingan investor swasta dan menutup mata pada kepentingan publik, termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat yang telah lama dan hidup di pulau tersebut".

LHKP dan MHH juga menilai penggusuran di Pulau Rempang ini menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Indonesia.

Padahal dalam UUD 1945 disebutkan tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Selain itu, negara gagal menjalankan Pasal 33 yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Presiden Sebut Komunikasi Kurang Baik

Sementara, Presiden Joko Widodo mengakui bentrok di Batam karena proyek strategis nasional (PSN) kawasan Pulau Rempang merupakan bentuk komunikasi yang kurang baik.

Dia ingin ada diskusi sebelum pengalihan lahan. Jokowi memerintahkan anak buahnya untuk mendekati warga dan memberi solusi.

"Ya itu bentuk komunikasi yang kurang baik. Kalau warga diajak bicara, diberikan solusi. Karena di sana sebenarnya sudah ada kesepatan," kata Jokowi di Pasar Kranggot, Cilegon, Selasa (12/9).

Dia berkata sebenarnya sudah ada kesepakatan untuk ganti rugi. Warga akan diberikan ganti laha. Seluas 500 meter dengan bangunan tipe 45.

Meski demikian, kebijakan itu tak tersampaikan dengan baik. Jokowi mengutus Menteri Investasi Bahlil Lahadalia untuk membereskannya.

"Menurut saya nanti mungkin besok atau lusa Menteri Bahlil akan ke sana untuk memberikan penjelasan mengenai itu," ujarnya.

Terpisah, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengklaim pelbagai upaya seperti musyawarah dengan warga setempat juga sudah dilaksanakan terhadap masyarakat.

Selain itu, ia menyebut BP Batam juga telah menyiapkan relokasi dan ganti rugi terhadap lahan yang akan dilakukan pembebasan.

Hanya saja, kata dia, terdapat beberapa masyarakat yang tetap berusaha untuk mempertahankan lahan tempat tinggalnya.

Kondisi itulah yang menurutnya memaksa kepolisian untuk bergerak dan melakukan penertiban.

Listyo mengaku akan tetap mengedepankan upaya komunikasi antara warga dan pihak BP Batam dalam menyelesaikan masalah ini.

"Tentunya upaya musyawarah, upaya sosialisasi penyelesaian dengan musyawarah mufakat menjadi prioritas sehingga kemudian masalah di Batam di Pulau Rempang itu bisa diselesaikan," ujar Listyo, Kamis (7/9).(han)