Menlu Retno Kutip Netanyahu saat Pidato ICJ, Gambarkan Kebrutalan Israel di Gaza
Pernyataan itu diutarakan Retno saat menyampaikan pandangan lisan Indonesia terkait konsekuensi kebijakan ilegal Israel terhadap Palestina dalam sesi sidang Advisory Opinion di markas Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ), di Den Haag pada Jumat (23/2).
NUSADAILY.COM – JAKARTA - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mendesak dunia tidak boleh membiarkan Israel "bebas" mempermainkan hukum internasional dengan terus menindas Palestina.
Retno mengutip pernyataan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menggambarkan kebrutalan Israel yang masih terus menggempur habis-habisan Jalur Gaza Palestina melalui agresi militernya sejak 7 Oktober lalu.
Pernyataan itu diutarakan Retno saat menyampaikan pandangan lisan Indonesia terkait konsekuensi kebijakan ilegal Israel terhadap Palestina dalam sesi sidang Advisory Opinion di markas Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ), di Den Haag pada Jumat (23/2).
"Sangat jelas bahwa Israel tidak memiliki niat menghormati dan taat pada kewajiban hukum internasional. PM Benjamin Netanyahu bahkan pernah berkata yang saya kutip 'tidak ada yang bisa menghentikan kami (Israel), tidak Den Haag (ICJ), tidak siapa pun'," kata Retno di depan para hakim ICJ dan delegasi negara lain.
Menurut Retno, pernyataan Netanyahu itu bukti kuat kebrutalan Israel terhadap Palestina. Ia menuturkan, kebrutalan itu juga terlihat dari tindakan Israel yang masih terus melakukan "pemusnahan tanpa pandang bulu" terhadap warga sipil di Gaza.
"Rupanya, kematian hampir 30.000 jiwa tidaklah cukup bagi Israel karena mereka hampir melancarkan serangan lagi terhadap Rafah, yang sekarang menjadi satu-satunya pintu gerbang bantuan kemanusiaan yang menyelamatkan jiwa ke Gaza," ujar Retno.
"Tidak ada negara yang boleh diberi kebebasan untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan terhadap negara yang lebih lemah. Inilah sebabnya kita mempunyai hukum internasional. Oleh karena itu kita perlu menjunjungnya. Peran ICJ sangat penting dalam menjaga apa yang disebut sebagai 'tatanan internasional berbasis aturan'."
Menurut Retno, Israel selama ini hanya membual omong kosong ketika berbicara soal upaya perdamaian dengan Palestina.
Hal itu, papar Retno, terlihat dari kebijakan Israel yang banyak melanggar hukum internasional dan status quo terkait konfliknya dengan Palestina. Salah satu kebijakan ilegal Israel yakni memperluas pendudukan di wilayah Palestina hingga agresi militer.
Selain itu, Retno mengatakan Israel selama ini hanya menyinggung solusi perdamaian sepihak tanpa turut melibatkan dan memenuhi kepentingan dari sisi warga Palestina.
"Terlepas dari retorika perdamaian ini selama ini, pemerintahan Israel secara terbuka telah menyatakan pengabaian mereka terhadap proses perdamaian termasuk dengan menyatakan Perjanjian Oslo "batal demi hukum'," ujar Retno.
"November lalu, PM Benjamin Netanyahu bahkan menyombongkan hal tersebut dan saya kutip: 'Saya bangga telah mencegah berdirinya negara Palestina'. Indonesia menyampaikan bahwa hal ini menegaskan bahwa Israel tidak pernah tertarik pada proses perdamaian apa pun," paparnya menambahkan.
Retno pun menegaskan Indonesia lantang mendukung ICJ agar mengeluarkan fatwa hukum (Advisory Opinion) terkait konsekuensi hukum atas kebrutalan Israel terhadap Palestina ini.
Menurut Retno, tidak ada alasan bagi ICJ menolak mengeluarkan fatwa hukum bagi Israel, meski beberapa negara sekutu Tel Aviv seperti Inggris menentang rencana ini.
Dalam sesi yang sama, Inggris menilai fatwa hukum ICJ terhadap Israel hanya akan merusak upaya perdamaian dan kerangka keamanan yang sudah dibangun Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait konflik ini.
"Permintaan Advisory Opinion tidak dimaksudkan memutuskan solusi akhir konflik. Fatwa hukum justru dapat dengan positif berkontribusi dalam upaya perdamaian dengan menunjukkan elemen tambahan dalam hukum," ucap Retno.
"Oleh karena itu, Indonesia menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk menolak fatwa hukum (ICJ) ini karena akan berisiko mendelegitimasi prospek proses perdamaian di masa depan," paparnya menambahkan.(han)