Kyai Sableng, Kyai Abdullah SAM Sang Arsitek Sosial

Suara gamelan jawa mungkin sudah lumrah didengarkan, baik di acara pernikahan, peringatan, selamatan dan acara acara yang lain. Tetapi ada keunikan tersendiri di Sumberpucung, daerah perbatasan Kabupaten Malang dengan Kabupaten Blitar, tepatnya di Pesantren Rakyat. Di sini ada kegiatan “Jagong Maton” setiap malam minggungya.

Jan 19, 2024 - 06:14
Kyai Sableng, Kyai Abdullah SAM Sang Arsitek Sosial
Abdul Ghofur Yajalali

Oleh: Abdul Ghofur Yajalali

 

Suara gamelan jawa mungkin sudah lumrah didengarkan, baik di acara pernikahan, peringatan, selamatan dan acara acara yang lain. Tetapi ada keunikan tersendiri di Sumberpucung, daerah perbatasan Kabupaten Malang dengan Kabupaten Blitar, tepatnya di Pesantren Rakyat. Di sini ada kegiatan “Jagong Maton” setiap malam minggungya. Kegiatan Pesantren Rakyat yang sinergi dengan masyarakat ini rupanya menjadi waktu yang ditunggu oleh jama’ahnya. Tidak hanya santri yang notabenenya adalah Pesantren, tetapi kegiatan ini tidak terbatas, baik dari kalangan umum, ustad, penjaga porstitusi dan lain sebagainya sering kali mengikuti kegiatan jagongan yang ada gamelannya ini.

Jagong berasal dari kata jagongan (cangkruan) dan Maton artinya tetap atau terus menerus, Ternyata Jagong Maton ini adalah sebuah metode dakwah melalui pendekatan masyarakat dengan kegemaran masyarakat itu sendiri. Jagong Maton ini tidak seperti jagongan pada umumnya dan tidak juga bermain musik jawa saja, tetapi di setiap jagong maton ada nilai dan pesan tersendiri. Berawal dari kesenangan masyarakat dengan gamelan jawa, kemudian Kyai Abdullah pengasuh Pesantren Rakyat berinisiatif untuk membeli gamelan sederhana. Gamelan itu sengaja dibiarkan di depan rumah beliau yang saat itu masih bambu, beliau mengajak beberapa orang yang bisa dan suka bermain gamelan dengan bahasa candaan khas selatan setasiun. Ternyata menjadi kebiasaan dan hiburan bagi kepenatan para pemain gamelan setelah beraktivitas.

Kesan pesantren yang ada jarak dengan masyarakat ternya semakin memudar di Pesantren Rakyat. Hal ini terbukti dengan dirubahnya lirik lagu jawa menjadi syi’ir sholawat bahkan anak anak mereka di ikutkan pendidikan (Ngaji) di Pesantren Rakyat. Tidak adanya jarak antara Pesantren Rakyat dengan masyarakat, merupakan media yang sangat baik untuk berdakwah.

Seiring berjalannya waktu, jagongan itu menjadi komunitas Jagong Maton, tanpa meninggalkan kebiasaan lokal masyarakat dengan musik gamelan, tetapi jagongan itu ditambah dengan nilai-nilai ke-Islman. Nilai Ke-Islaman ini menjadi luas maknanya, tidak hanya sholat membaca Al-Qur’an, tetapi menjadi ngaji ala rakyat, yaitu sesuai dengan kebutuhan rakyat. Nilai sosial yang dibangun dijagong maton ini mampu mempererat jalinan silaturrahim masyarakat. Dengan guyonan (blak-blakan) apa adanya, di jagong maton ada forum usulan dan tukar pendapat antar jamaah. Seperti pembangunan rumah orang miskin, penanaman bibit, sampai membantu orang sakit, membangun jamban umum sudah pernah dilakukan.

Bahkan tidak jarang Jagong Maton tampil diberbagai acara baik itu mengikuti Kyai Abdullah ketika berceramah, acara nikahan, khitanan bahkan tampil di beberapa acara televisi, acara di kota dan lain lain. Dari forum jagong maton ini juga diketahui kebutuhan bersama didalam masyarakat, juga sebagai forum rembuk warga tanpa meninggalkan kebutuhan akan hiburan. Minimal dengan adanya jagong maton, mengurangi beberapa saat untuk tidak melakukan hal negatif. Semua kegiatan di Jagong Maton ada yang menulis yaitu khatib jagong maton.

Jagong maton ini tidak lepas dari Kyai Abdullah yang juga penggagas Pesantren Rakyat se-Indonesia. Metode yang luar biasa di dalam pendekatan masyarakat untuk membangun sumber daya dan meningkatkan fungsi positif dengan melibatkan masyarakat itu sendiri. Sehingga masyarakat tidak merasa belajar, tetapi sudah belajar dengan caranya sendiri.

Memang memerlukan waktu yang panjang di dalam merubah kebiasaan masyarakat. Tetapi itu merupakan hal yang harus dilakukan dalam menjalankan tugas dakwah. Setiap santri hendaknya mau dan mampu diletakkan di mana pun untuk ngaji dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakatnya. Ternyata metode dakwah yang semacam ini menjadi rujukan baik pondok pesantren, profesor, doktor, perguruan tinggi yang datang menjadi tamu di Pesantren Rakyat. Yaitu dakwah yang murah meriah, bisa diterima oleh semua kalangan tanpa meninggalkan kebiasaan lokal masyarakat. Ternyata masyarakat butuh wadah atau komunitas yang seide dan sepemikiran sehingga mudah untuk menyampaikan aspirasi mereka dengan berbagai bahasa.

Tidak harus menunggu dari pihak mana pun untuk membangun negeri ini dari krisis moral, krisis ilmu dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Maka dibutuhkan komunikasi dari berbagai arah dan berbagai bahasa untuk menyambungkan keadaan sehingga menjadi harmonisasi lingkungan masyarakat yang baik.

 

Ghofur Yajalali mahasiswa program pascasarjana IAI Al-Qolam Malang