Kritik Sastra pada Era Sastra Tanpa Media

Kita sedikit menoleh agak jauh ke belakang, pada era 66, sambil membaca persoalan sastra hari-hari ini. Banyak persoalan yang berubah, namun cukup banyak yang tetap. Selepas Orde Lama, para seniman umumnya mengalami trauma dengan persoalan politik. Sastra dengan tema sosial-politik cenderung ditinggalkan. Fajar Orde Baru, sebagaimana fajar kemerdekaan awal proklamasi, memberi janji kenyamanan.

Dec 28, 2022 - 00:30
Kritik Sastra pada Era Sastra Tanpa Media
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Oleh: Dr. Akhmad Tabrani, M.Pd.

Dosen Universitas Islam Malang

 

Kita sedikit menoleh agak jauh ke belakang, pada era 66, sambil membaca persoalan sastra hari-hari ini. Banyak persoalan yang berubah, namun cukup banyak yang tetap. Selepas Orde Lama, para seniman umumnya mengalami trauma dengan persoalan politik. Sastra dengan tema sosial-politik cenderung ditinggalkan. Fajar Orde Baru, sebagaimana fajar kemerdekaan awal proklamasi, memberi janji kenyamanan.

Janji itu, bagi para seniman, terlihat benihnya dengan dibangunnya Taman Ismail Marzuki (TIM) lengkap segala sarana dan prasarana yang dapat menjadi surga para seniman. Di sana semangat untuk mengolah dan menggali persoalan manusia sebagai entitas yang tidak semata-mata politis mulai dilakukan dengan intensif, sebagaimana terlihat pada karya Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, Budi Darma dan lain-lain.

Pada era 80-an, Orde Baru sedang intensif melakukan pembangunan dengan ekonomi sebagai panglima. Bersama pembangunan yang sangat berorientasi pada ekonomi, tidak bisa lain, semua hal segera dijadikan komoditas ekonomi. Bahkan setiap kebijakan nasional selalu berbasis pada perhitungan ekonomi. Segala sesuatu yang tidak memberi nilai ekonomis segera dipinggirkan.

Kita semua seperti dipaksa untuk menjadi hedonis, orang dinilai bukan pada keunggulan pribadi, tapi pada tetek bengek hartawinya. Saya kira itu juga sebabnya mengapa pada era 80-an sastra sufistik merajalela. Penyair menulis sajak-sajak sufi dalam upaya “berhijrah" membangun wilayah baru yang lebih spiritual dibanding material. Sebuah upaya memberi harga pada yang rohani di tengah gejala pelecehan rohani di sana-sini.

Pada era 90-an ini, tiba-tiba kecenderungan kritik sosial dalam sastra Indonesia mulai menguat. Gejala apakah ini? Sastra, vokal atau tidak, selalu menjadi bagian dari persoalan masyarakat di sekitarnya. Dominannya kritik sosial dalam sastra identik pula dengan dominannya masalah sosial dalam kehidupan di luar sastra.

Pembangunan yang berorientasi pada ekonomi, sekarang ini ternyata menjadi jelas tidak bertumpu pada sistem dan logika ekonomi melainkan pada logika politik. Meraksasanya konglomerasi terbukti kemudian bukan semata-mata hasil kerja para konglomerat dalam berekonomi, melainkan bergelimang dengan sentuhan politik.

Persoalan sosial sekarang benar-benar gawat dan pelik dinamikanya. Semua persoalan sosial tersebut tidak dapat lagi dihadapi dengan sekadar "hijrah rohani” para penyair. Penyair yang menulis dari keheningan meditasi sufistis akan merasa bahwa pilihannya tidak lagi mencukupi. Kesufian menjadi mandul dan kehilangan peran sosial Nabi Muhammad setelah Mi’raj tidak berdiam di keheningan dan kenyamanan sufistik. Beliau turun kembali ke bumi mengubah masyarakat dengan basis kesempurnaan rohaninya. Beliau menjadikan pencapaian rohani punya relevansi pada perubahan sosial.

Saya kira, penyair yang menulis sajak sufistik di era 80-an mulai menyadari itu, dan mulai berhadapan langsung dengan persoalan sosial di masyarakatnya. Soni Farid Maulana misalnya, setelah berjumpa dengan persoalan sosial dan kebrengsekan pengadilan yang dihadapinya langsung sebagai wartawan kriminal, sekarang sepenuhnya menulis sajak bertema sosial. Demikian juga dengan Sutardji yang meninggalkan puisi magis spiritualnya dan merambah wilayah sosial.

Bersama menguatnya tema sosial dalam sastra, mulailah dihembuskan kecurigaan akan hidup kembalinya estetika Lekra (Neo-Lekra alias newlek) dalam sastra Indonesia. Kecurigaan semacam itu justru melebih-lebihkan Lekra, seolah-olah hanya Lekralah kelompok seniman yang memiliki kepedulian sosial. Sastrawan partai tidak bisa lain adalah sastrawan partisan, dan karya sastra yang mereka lahirkan pun sastra partisan. Di belakang kerja sastra mereka terdapat ideologi tertentu yang menjadi tolok ukur kerja sastrawinya.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan pengolahan sosial dalam sastra pasca-Lekra. Banyak sastrawan besar kita akan terbukti bukan sastrawan partisan. Mereka tidak mengacu pada sebuah ideologi tertutup tertentu. Sajak Rendra dan/atau Emha yang paling keras dan vokal pun tidak lahir dari semangat partisan sajak mereka merupakan pengejawantahan upaya mewujudkan sila kemanusiaan dan keadilan sosial dalam kehidupan kita.

Ada kesan pemerintah memusuhi dan antipati pada karya-karya Rendra atau Emha, atau umumnya sastra protes social. Hal ini lebih disebabkan salah paham belaka. Dan apa yang disebut dengan "pemerintah" jelas penyederhanaan saja, sebab yang terjadi sebenarnya adalah sikap antipati dan kesalahpahaman sebagian pejabat yang makin ke bawah makin besar. Di Indonesia, pribadi-pribadi yang berkuasa sering diidentikkan dan mengidentikkan diri sebagai state secara keseluruhan, sehingga kritik yang dianggap tidak nyaman bagi seseorang kemudian diklaim sebagai kritik pada negara.

Pada dasarnya, tingkat apresiasi para pejabat masa kini terhadap sastra sangatlah buruk. Ini ada hubungannya juga dengan pengajaran sastra di sekolah. Pengajaran sastra di sekolah membunuh potensi manusia sebagai makhluk sastrawi. Tidak mengherankan jika lulusan sekolah yang menjadi petinggi itu kemudian memusuhi sastra, sebab pengalaman belajar sastra di sekolah bukan tidak mungkin dianggap sebagai pengalaman traumatis.

Sajak adalah sesuatu yang says one thing, means another, untuk meminjam istilah Riffaterre dalam Semiotic of Poetry. Sistem dan konvensi sastrawi yang membangun says one thing and means another itulah yang sama sekali tidak dikenal dengan baik oleh para petinggi. Sastra dianggap says one thing and means itself.  Tidak hanya pejabat, para ilmuwan pun ternyata buruk sekali apresiasinya terhadap sastra.

Mungkin itu juga sebabnya mengapa dunia ilmu murni di Indonesia tidak berkembang, karena para ilmuwan yang tingkat apresiasinya terhadap sastra dan budaya (pendeknya, kerja imajinatif) lemah, tidak lain hanya akan tinggal sebagai para perajin ilmu yang menjauh dari gerak kesibukan peradaban. Kita bisa bayar tinggi para ilmuwan jenis begini dan ia akan mengerjakan apa saja perintah kita tanpa peduli dampaknya bagi masyarakat, lingkungan, dan peradaban kita bersama.

Hasil-hasil sastra yang bermunculan selama penghujung 80-an dan sepanjang era 90-an menunjukkan kecenderungan untuk kembali mengolah tema-tema sosial politik. Beberapa dari karya yang berurusan dengan persoalan sosial politik itu menunjukkan dan estetika yang tidak jauh berbeda dengan estetika generasi 60-an. Namun, cukup banyak yang berhasil melahirkan estetika yangberbeda dalam mengolah tema-tema dan persoalan sosial zaman ini.

Kenyataan ini membuat bagian sastrawan menganggap sudah waktunya ditahbiskan sebuah angkatan baru dalam sastra Indonesia. Sebab, segala hasil sastra sepanjang 90-an ini belum lagi memiliki gaung yang patut, sebagaimana angkatan-angkatan sebelumnya. Ada anggapan bahwa Angkatan 45, 66, dan 70, menjadi isu besar dan memiliki gaung karena ada juru bicaranya. Tapi, sebenarnya sudah lahirkah sastra generasi sekarang (90-an)? Sebagian orang beranggapan bahwa jangan-jangan generasi sastra 90-an telah lahir namun dianggap tidak ada karena tidak ada juru bicaranya.

Setiap generasi sastra modern Indonesia, selain memiliki perbedaan-perbedaan, saya kira selalu memiliki benang merah-betapapun tipisnya dengan generasi sastra sebelumnya. Sastra era 90-an sekarang ini pun memiliki benang merah dengan generasi sastra sebelumnya. Namun, jika kita perhatikan akan terlihat cukup jauh dan banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya secara objektif. Sebenarnya angkatan 90-an itu boleh dibilang sudah lahir, namun tidak mengemuka dan dikenal seperti Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66 atau bahkan Angkatan 70-an.

Salah satu sebab kurang dikenalnya karya-karya sastra era 90-an karena demikian beragam dan tersebar di banyak tempat. Ini berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru yang lahir dari majalah Pujangga Baru, Angkatan 45 yang bertumpu pada lembaran “Gelanggang", dan Angkatan70-an yang berbasis pada Horison dan TIM. Generasi sekarang tidak memiliki media. Maka, sebenarnya sastra generasi sekarang bukan tidak punya juru bicara, melainkan tidak mempunyai media.

Sebuah generasi tidak bisa menumpang pada media generasi sebelumnya untuk mengumumkan lahirnya "generasi baru". Dalam pada itu, media massa umum tidak punya urusan dengan generasi-generasian. Media umum cenderung berpihak pada tokoh-tokoh dan bukan pokok-pokok. Untuk menjadi juru bicara suatu generasi, sebuah generasi harus memiliki media sendiri. Jika media sudah berhasil dibuat, sanggupkah para sastrawan dan peminat sastra untuk menghidupinya? Tambahan lagi, mampukah pengelola media itu mencintai sastra lebih dari dirinya: tidak menjadi otoriter dan arogan di hadapan generasi lain dan bahkan generasinya sendiri?

 

Dr. Akhmad Tabrani, M.Pd adalah dosen Universitas Islam Malang dan anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

Tulisan ini disunting oleh Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum, dosen Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).