Statistik dan Diskursus Piknik

Dec 19, 2022 - 18:36
Statistik dan Diskursus Piknik

Beberapa hari yang lalu saya tergelitik dengan status WA seorang kawan. Kami memang terbiasa saling mengomentari status WA. Selain karena kami suka bergurau juga karena status WA kami sering kali mengandung gurauan, sarkasme terhadap diri sendiri ataupun metafora. Bahkan status seriuspun bisa menjadi bahan gurauan. Mungkin agar kami tidak terbawa terlalu jauh pada keseriusan itu atau sekedar ingin sedikit melepas penat dari hal-hal yang serius dengan bergurau.

Status kawan tersebut adalah sebuah tangkapan layar dari berita pada sebuah media daring. Dituliskan dalam berita tersebut bahwa banyak orang Indonesia yang kurang piknik. Ditampilkan data statistik bahwa secara rata-rata orang Indonesia frekuensi piknik orang Indonesia hanya setengah dari frekuensi piknik orang China. Bahkan frekuensi piknik orang Indonesia hanya seperempat dari orang Malaysia. Dari empat negara negara Asia yang disebutkan Indonesia menduduki peringkat frekuensi piknik terendah dengan 2,6 kali dalam setahun, disusul Jepang 4,7, China 5,6 dan Malaysia 10,3 kali dalam setahun.  

Saya kirim pesan singkat ke kawan tersebut. “Jika piknik kita artikan dengan makan bersama diluar rumah seperti bagaimana orang bule berpiknik, maka orang Indonesialah yang paling sering berpiknik. Bagaimana tidak? Setiap bulan ibu-ibu PKK menggelar tikar di jalan blok perumahan untuk bertemu dan makan bersama. Kan sudah piknik itu,” tulis saya. Kawan saya membalas dengan emoticon tertawa ngakak yang berderet-deret, mengartikan bahwa kami tergelak bersama.

Sayapun penasaran dengan data statistik tersebut dan mencoba mencari tautan berita aslinya. Ternyata topik ini cukup trending di bahas di beberapa media online. Muncul pula beberapa nama pejabat tinggi yang mengulik tentang angka-angka statistik ini.  Rata-rata merespon dengan saran agar orang Indonesia lebih sering lagi berpiknik. Ada satu komentar dari seorang pemimpin propinsi yang menarik menurut saya. Beliau menyampaikan, “Pikniklah, biar Bahagia.”

Mungkin ada banyak orang yang mengaminkan pendapat di atas. Bahkan mungkin beberapa orang akan ‘baper’ dan merasa kurang beruntung karena tidak banyak berpiknik seperti orang lain. Bahkan ada satu pernyataan yang menurut saya dapat membuat ‘insecure.’ Indonesia kalah dengan Malaysia. Tentu yang dimaksud kalah disini adalah kalah secara statistik dalam hal piknik. Mengapa pernyataan sederhana ini dapat membuat insecure? Sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan kedua negara ini sering menghangat karena beberapa hal. Sehingga kata ‘kalah’ bisa saja memantik rasa bahwa kita memang kalah kelas, meskipun itu dalam hal piknik.

Namun yang menggelitik saya sebenarnya bukan sekadar angka statistik, komentar pejabat publik dan pernyataan kekalahan Indonesia dari Malaysia dan beberapa negara Asia lain dalam hal piknik. Yang menarik bagi saya sebenarnya pertanyaan mendasar, bagaimana orang memaknai piknik. Diskursus apa yang digunakan dalam kata piknik sehingga seolah-olah memang benar kurang piknik, kalah, dan tidak bahagia.

Saya sengaja menggunakan kata seolah-olah meskipun ada angka statistik yang digunakan untuk membawa argumen ‘kekurangan’ piknik kita. Hal ini karena statistik hanyalah angka. Bagaimana angka itu diperoleh dan bagaimana angka itu dimaknai, sangat tergantung dari variabel yang digunakan untuk memahami konsep ‘piknik.’ Karenanya, menjadi menarik bagi saya untu membahas piknik dari aspek diskursus.

Menurut KBBI, piknik merupakan ‘kegiatan pergi ke suatu tempat diluar kota untuk besenang-senang dengan membawa bekal.’ Piknik disebut juga bertamasya. Bertamasya sendiri menurut KBBI berarti ‘pergi menikmati perjalanan yang menyenangkan; pergi bersenang-senang hati (melihat-lihat) keindahan alam dan sebagainya.’

Dari dua definisi ini ada beberapa kata kunci yaitu pergi, luar kota, bersenang-senang, keindahan alam, membawa bekal. Kata kunci inilah membangun diskursus piknik. Maka tentu tidak salah jika ada pejabat publik yang menyampaikan, “Pikniklah, biar Bahagia.”

Namun, piknik adalah sebuah kata serapan dari kata picnic (bahasa Inggris). Dalam Bahasa Inggris, menurut kamus Merriam Webster, piknik berarti perjalanan atau kegiatan keluar dengan membawa bekal atau makan di luar (ruang terbuka). Sementara menurut kamus Collin Cobuild, orang dikatakan berpiknik ketika mereka makan di ruang terbuka, di hutan, sawah atau pantai. 

Ada beberapa perbedaan diskursus piknik berdasar KBBI dan dua kamus dari negara dimana kata piknik diserap. Kata ‘piknik’ dan ‘picnic’ sama-sama mengisyaratkan tujuan untuk bersenang-senang, membawa bekal dan alam. Akan tetapi, ada satu kata yang tidak muncul di definisi ‘picnic’ namun muncul di ‘piknik’. Kata itu adalah ‘luar kota.’ Sehingga, wajar jika secara statistik orang Indonesia jarang piknik, karena kita memang jarang ke luar kota. Namun justru yang menarik adalah mengapa orang Indonesia jarang keluar kota.

Jika kita melihat tiga kata yang lain yang sama-sama ada di kata piknik, maka kita akan dapat menemukan jawabannya. Senang-senang, bekal, alam, semuanya telah dapat kita peroleh tanpa harus keluar kota. Menurut majalah Forbes, majalah bisnis dari Amerika, pada tahun 2022, Indonesia ditasbihkan menjadi negara paling indah di dunia.

Hal ini karena ribuan pulau dan banyaknya pantai di negara ini banyak yang memiliki keindahan alam yang luar biasa. Artinya, kita tinggal di negara yang indah dan cantik. Dan keindahan serta kecantikan itu bisa jadi dapat kita nikmati ‘tanpa harus pergi keluar kota.’

Saya terlahir dari keluarga yang tinggal di pedesaan. Sebagaimana layaknya orang desa, tentu saya sangat sering ‘menikmati keindahan alam’, ‘bersenang-senang’, ‘makan di alam terbuka’ meskipun saya tidak keluar kota. Bagaimana tidak? Sawah menghijau terhampar luas, sangat menyejukkan mata. Pohon-pohon rindang membawa angina sepoi-sepoi. Sehingga kalau duduk di bawah pohon di pinggir sungai yang ada di desa saya, rasa damai, sejuk dan bahkan kantuk dapat menghampiri.

Sesekali kita dapat memancing sambil membawa ‘bekal makan’. Meskipun sederhana seperti singkong kukus atau pisang rebus, sudah sangat nikmat ketika dimakan di alam terbuka. Para petani dan pekebun kitapun sudah ‘bersenang-senang’ dan ‘menikmati alam’ ketika mereka makan bekal bersama di pematang sawah.

Tentu hal yang sama bisa saja dialami oleh para keluarga nelayan, yang menikmati ikan bakar segar di tepi pantai. Atau mereka yang mencari penghidupan dengan mengolah lahan produktif di hutan. Di alam yang indahlah mereka bekerja. Di alam juga mereka makan. Dan mereka tidak perlu keluar kota untuk mendapatkan kesenangan itu.

Konstruksi sosial kita adalah masyarakat komunal. Kita suka berkumpul bersama. Sebagian besar penduduk kita mungkin tinggal bersama atau berdekatan dengan saudara yang lain. Hal ini membawa rasa aman dan nyaman, meskipun kita tidak menegasikan bahwa riak-riak kecil pasti ada. Namun, opini yang ingin saya sampaikan adalah bahwa ‘masyarakat kita bahagia, dapat menikmati alam, dapat bersenang-senang’ tanpa harus keluar kota.

Hal ini tentu berbeda dengan konstruksi sosial di negara lain. Cina, misalnya, memiliki keluarga yang kecil. Di Singapura, misalnya, orang banyak tinggal di apartemen atau kondominium. Sehingga, sangat wajar jika mereka perlu mencari alam terbuka untuk ‘bersenang-senang’.

Mereka perlu bertemu dengan teman-teman di luar rumah atau mungkin di luar kota karena mereka memilih tidak menikah atau memiliki keluarga kecil. Tentu, fitrah sebagai makhluk sosial dan fitrah bahwa manusia terikat dengan alam menggerakkan mereka untuk ‘keluar.’ Tentu, hal ini tidak dapat ‘dibanding-bandingne’ dengan Indonesia secara ‘apple to apple.’  

Membawa opini ini kembali kepada variabel dari definisi piknik dan picnic, dari empat variabel  ‘keluar kota’, ‘menikmati keindahan alam’, ‘bersenang-senang’, ‘makan di alam terbuka’, tiga diantaranya sudah terpenuhi. Hanya ‘keluar kota’ saja yang mungkin jarang dilakukan. Jika demikian, benarkah bahwa kita kurang piknik?

Saya jadi tergelitik ingin menelurus lebih jauh variabel dan instrumen yang digunakan untuk memeroleh angaka-angka statistik piknik diatas. Tapi sudahlah, hari ini hari Minggu. Nampaknya saya akan lebih memilih untuk berpiknik, membakar jagung di halaman belakang rumah. Bercengkerama dan bercerita tentang keindahan dalam Indonesia dan keramahan orang-orangnya. (****) 

      

Oleh: Siti Asmiyah.

Penulis adalah dosen dan Sekretaris Foreign Language Service Learning Center pada Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya dan Koordinator Kerjasama Internasional Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).