Kampanye 'Joget Gemmoy' Ala Prabowo, Salahnya Dimana?

"Setiap capres-cawapres punya kekhasan, kita enggak bisa maksain Prabowo-Gibran harus ngomong gagasan, sama halnya enggak maksain Anies supaya joget gemoy, karena memang perubahan enggak bisa dengan joget-joget," katanya.

Dec 1, 2023 - 19:15
Kampanye 'Joget Gemmoy' Ala Prabowo, Salahnya Dimana?

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Ketua Umum Partai Gerindra yang juga calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto belakangan kerap berjoget di hadapan khalayak ramai.

Joget ala Prabowo itu viral disebut sebagai 'joget gemoy'.

Bermula Ketika Prabowo memperagakan ‘joget gemmoy’ saat pengambilan nomor urut pasangan capres-cawapres untuk Pilpres 2024 di KPU pertengahan November lalu.

Video Prabowo joget saat itu tersebar luas dan menjadi perbincangan netizen di media sosial.

Dalam momen lain di KPU, Prabowo juga berjoget ketika mendapat pertanyaan dari wartawan. Prabowo pun mendapat predikat gemoy dari masyarakat atas aksinya itu.

Gemoy sebenarnya merujuk pada ungkapan akan sesuatu yang lucu dan menggemaskan. Gemoy merupakan hasil plesetan dari gemas.

Juru Bicara Tim Nasional (Timnas) Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Surya Tjandra mengkritik kampanye menggunakan gimik gemoy itu.

Ia menyebut kampanye gimik Prabowo mirip dengan yang diterapkan Ferdinand Romualdez Marcos atau Bongbong Marcos saat mengikuti pertarungan Pilpres di Filipina.

Bongbong Marcos adalah anak dari diktator Filipina, Ferdinand Marcos. Ferdinand berkuasa selama 21 tahun dan dianggap otoriter.

"Berbahaya sekali ya. Model-model kampanye yang mirip-mirip sama kasusnya di Filipina kan. Bongbong Marcos yang anaknya Ferdinand Marcos, otoritarian semacam orde baru dulu, bisa come back karena memanipulasi," kata Surya dalam Political Show CNN Indonesia TV, Senin (27/11) malam.

Bongbong diyakini menang menjadi Presiden Filipina karena massif kampanye di media sosial dan menggaet suara muda. Saat ini, kata Surya, sasaran kampanye gimik pasangan Prabowo-Gibran juga adalah anak muda.

Surya menilai kampanye gimik semacam itu sangat berbahaya lantaran memanipulasi kondisi yang sebenarnya. Menurutnya, banyak anak muda yang masih melihat citra dipermukaan.

"Model-model masyarakat yang masih enggak ngerti, tidak mengalami proses otoritarianisme zaman dulu. Jadi macam-macam. Seperti tadi, ada gimik-gimik," ujarnya.

Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani merespons kritik yang muncul. Menurutnya, 'joget gemoy' tak melanggar prinsip demokrasi.

"Gemoy atau gimik bukan sesuatu yang melanggar prinsip demokrasi. Karena rakyat pada akhirnya akan menentukan pilihannya di kotak suara," kata Muzani dalam keterangan tertulis, Rabu (29/11).

Ia mengatakan Gerindra dan partai koalisi tak ambil pusing dengan kritik yang ada. Muzani menyebut gimik politik tak lantas menghilangkan substansi dan gagasan.

"Jangan serang kami ketika kreativitas dan inovasi yang kita lakukan dengan santuy, dengan gemoy dianggap menghilangkan substansi demokrasi," ujarnya.

Direktur Eksekutif Indostrategic Ahmad Khoirul Umam mengatakan berdasar sejumlah data survei, informasi tentang politik paling banyak didapatkan masyarakat dari televisi. Di nomor dua, dari media sosial.

Berangkat dari data itu, menurutnya, bisa dipahami materi-materi konten kampanye kreatif lewat media, memang jauh relatif lebih efektif untuk menjangkau masyarakat yang tidak berhubungan langsung dengan aktivitas politik.

"Dengan melakukan itu, dengan menyebar secara sporadis atau melakukan iklan di media sosial...kalau memang itu dilakukan, diakui atau tidak emang cukup efektif," kata Umam saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (30/11).

Ia mengatakan di media sosial, materi yang mudah diterima masyarakat dari segmen kelas menengah ke bawah secara pendidikan dan literasi politik, adalah materi yang sifatnya receh, bukan materi yang mengandung substansi.

Menurutnya, tidak ada yang salah secara aturan dengan langkah tim Prabowo memanfaatkan media sosial dengan konten-konten receh.

Namun, kata Umam, tindakan itu seperti 'merecehkan demokrasi' karena tidak meletakkan materi substansi pada level utama percakapan publik.

"Kalau dilihat dari sisi legal formal, artinya kan enggak ada yang melanggar aturan, tapi di sisi lain, tentu apa yang tadi saya sebut merecehkan demokrasi," kata dia.

"Jangan sampai kemudian membuat ruang demokrasi yang seharusnya bisa memberikan impact terhadap kebijakan, sesuatu isu substantif, justru menjadi teredukasi oleh hal yang sifatnya remeh-temeh," imbuh Umam.

Sementara itu, Umam mengatakan kritik soal gimik gemoy yang dilancarkan tim pasangan lain adalah sesuatu yang bagus.

Namun, dalam konteks elektoral, menurutnya baik tim Ganjar-Mahfud maupun Anies-Muhaimin harus mampu mengantisipasi strategi tim Prabowo-Gibran itu.

Ia mengatakan dua tim pasangan calon itu juga harus membuat materi atau konten yang mereka miliki, mampu diterima oleh publik.

"Apa yang mereka anggap sebagai materi yang lebih mendidik secara politik, secara demokrasi, tapi pastikan materi itu bisa menarik untuk diterima oleh publik, menarik untuk dijangkau oleh masyarakat, dan tidak membuatnya menjadi sesuatu yang lebih mengawang-awang," katanya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro mengatakan Gen Z maupun milenial yang menjadi mayoritas pemilih di Pemilu 2024, lebih nyaman dengan sesuatu yang kesannya santai, menghibur, kreatif, lucu, namun bermakna.

Dalam konteks ini, meski Prabowo mungkin tidak tahu dengan apa itu gemoy, namun, menurut Agung, tim Prabowo-Gibran berhasil mengoptimalkan atau mengkapitalisasi joget gemoy itu sehingga menarik perhatian di media sosial.

"Sah-sah saja silakan, tapi jangan terlalu berlebihan, karena memang ada segmen pemilih lain yang perlu digarap dan harus dieksplore agar mereka paham Prabowo-Gibran siap untuk semua kalangan, semua generasi," kata Agung.

Ia berpendapat langkah tim Prabowo-Gibran yang mengemas konten kampanye dengan lebih ringan, sejalan dengan isu keberlanjutan yang dibawa. Di sisi lain, pasangan Anies-Muhaimin, kata dia, memang cocok kampanye gagasan karena membawa isu perubahan.

"Setiap capres-cawapres punya kekhasan, kita enggak bisa maksain Prabowo-Gibran harus ngomong gagasan, sama halnya enggak maksain Anies supaya joget gemoy, karena memang perubahan enggak bisa dengan joget-joget," katanya.

Sementara untuk kritik soal strategi gemoy dari kubu lawan terutama dari pasangan AMIN, Agung berpendapat alih-alih kritik, kubu AMIN lebih baik mencari cara untuk membendung strategi tim Prabowo-Gibran itu.

Ia menekankan gen Z dan Milenial memang suka hal yang menghibur, namun mereka juga bukan kelompok yang gampang terpengaruh.

"Alangkah lebih baik dan bijak untuk cari inovasi strategi atas goyang gemoy, kira-kira mereka punya strategi tandingan enggak untuk menetralisir gemoy ini. Akan lebih produktif, ketimbang dia mengkritik gemoy ini tidak substantif. Biarkan aja gemoy, cuma milenial, gen Z, bukan orang serampangan juga mudah terpengaruh," kata Agung.

Berbeda dengan strategi Bongbong Marcos

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan jika cara Bongbong Marcos berhasil di Filipina, maka memang layak ditiru.

Namun, menurutnya, secara teknis dan politis, gimik politik gemoy Prabowo berbeda dengan strategi Bongbong Marcos.

"Gimik itu hanya menarik keriuhan dan tren popularitas, belum tentu berimbas elektabilitas. Jika pun ada, tidak signifikan," kata Dedi.

Perbedaanya, kata dia, di Pemilu Filipina, Bongbong Marcos 'menjual' sisi baik dari ayahnya melalui media sosial. Lalu strateginya, mengubah persepsi publik dari realitas diktator menjadi tokoh berjasa bagi Filipina. Sementara gemoy Prabowo, menurutnya adalah originalitas gimik.

"Prabowo tidak membawa nama Soeharto atau mengulang kejayaan Soeharto dalam kampanyenya, Bongbong Marcos justru bisa saja mereplikasi cara kampanye partai Tomi Soeharto pada Pemilu lalu, semisal propaganda jika Soeharto membawa keamanan, kemakmuran," ujar Dedi.(han)