Kurikulum Merdeka: Solusi Problematika Kurikulum di Indonesia

Dec 19, 2022 - 18:31
Kurikulum Merdeka: Solusi Problematika Kurikulum di Indonesia

GANTI  Menteri, ganti kurikulum. Pernyataan itu yang sering terdengar saat ada pergantian kurikulum seiring pergantian menteri, dan faktanya memang demikian. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia setidaknya sudah ada sepuluh kali perubahan atau pembaruan kurikulum. Sejarah panjang perubahan kurikulum membuat para pengajar harus pandai menyesuaikan diri terhadap perubahan kurikulum.

Di mulai saat jaman pra penjajahan, kurikulum di Nusantara saat itu ditandai dengan proses pendidikan yang sangat sederhana. Pada zaman kerajaan, proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh ajaran agama saat itu. Kurikulum masih belum terencana dengan baik tetapi bahan ajarnya tentu sudah dimiliki oleh para pemuka agama yang saat itu diberi kewenangan untuk mendidik. 

Setelah Belanda datang dan masa penjajahan dimulai, kurikulum pendidikan ditujukan untuk mendidik tenaga terampil yang dapat dipekerjakan di perusahaan milik penjajah. Namun tentu orientasi pengajaran yang diberikan bertujuan untuk kepentingan kaum pribumi. Sistem pendidikan saat itu berorientasi pada pemenuhan kebutuhan tenaga kerja untuk kepentingan penjajah.

Sejarah pengembangan kurikulum Indonesia dimulai pada tahun 1947 dengan istilah Rencana Pelajaran 1947. Kurikulum ini merupakan kurikulum awal setelah Indonesia merdeka. Ada perubahan kurikulum yang mendasar, dari orientasi pendidikan yang awalnya ditujukan untuk kepentingan penjajah diubah pada  kepentingan nasional. Namun kurikulum ini baru dapat dilaksanakan pada tahun 1950 karena masih adanya gejolak setelah proklamasi kemerdekaan.

Selanjutnya pada tahun 1952 kurikulum berubah menjadi Rencana Pelajaran Terurai 1952. Dasar perubahan adalah implementasi pendidikan nasional mulai dari pra-sekolah hingga perguruan tinggi. Target capaian yang diharapkan adalah lahirnya warga negara sosialis Indonesia yang susila dan bertanggung jawab. Pada kurikulum ini, sistem pendidikan mulai mengarah menjadi sistem pendidikan Indonesia. Hal ini terlihat dari pembelajaran yang dikoneksikan dengan kehidupan sehari-hari. Guru hanya mengajar sesuai dengan keahliannya pada satu mata pelajaran tertentu.

Kurikulum kembali diubah dan disempurnakan pada tahun 1964 dengan nama Rencana Pendidikan 1964. Ciri dari kurikulum ini adalah orientasi pembelajaran yang berpusat pada pengembangan moral, kecerdasan, emosional atau artistik, keterampilan dan juga jasmani.

Hanya berselang empat tahun, pada tahun 1968 kurikulum kembali diubah. Ini merupakan kurikulum pertama pada era Orde Baru. Perubahan kurikulum ini bersifat politis, kurikulum sebelumnya dikaitkan dengan Orde Lama. Tujuan kurikulum ini adalah membentuk manusia Pancasila, sebagai perwujudan dari pelaksanaan UUD 1945 secara murni. Pada Kurikulum 1968 ini, materi pelajaran lebih bersifat teoretis yang tidak menghubungkan dengan permasalahan nyata di lapangan. Orientasi kegiatan digunakan untuk mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik sehat dan kuat. 

Pemerintah Orde Baru kembali mengubah kurikulum pada tahun 1975. Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari Kurikulum tahun 1968. Kurikulum 1975 menitikberatkan pada efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan pendidikan. Pelaksanaan pembelajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Kurikulum ini mulai diterapkan pada tahun 1976 yang mengarah pada pembelajaran kontekstual dan integrasi materi bidang studi berdasarkan rumpun mata pelajaran. 

Pada tahun 1984, kurikulum kembali disempurnakan. Kurikulum ini menitikberatkan pada pendekatan proses. Siswa sebagai pebelajar dikondisikan pada proses kegiatan mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini dikenal dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa (student center).

Selanjutnya pada tahun 1994, kurikulum kembali diubah. Pemerintah berusaha memadukan antara Kurikulum 1984 dengan Kurikulum 1975. Namun dalam praktiknya, kurikulum ini terlalu membebani siswa. Materi pelajaran terlalu banyak, mulai dari muatan nasional sampai muatan lokal.

Tahun 2004, kurikulum kembali diubah menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Ciri khas dari kurikulum ini adalah penekanan pada capaian kompetensi siswa. Program pendidikan harus mengandung unsur-unsur pokok, yaitu kompetensi, indikator capaian serta pengembangan pembelajaran. Pembelajaran berorientasi pada output. Keberhasilan pembelajaran dilihat dari capaian hasil belajar siswa. 

Kurikulum kembali berubah pada tahun 2006 menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari kurikulum KBK. Perbedaan yang terlihat adalah pada kewenangan dalam penyusunannya. Saat itu terjadi desentralisasi sistem pendidikan di Indonesia. 

Pemerintah pusat berwenang menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sekolah diberi kewenangan untuk mengatur dalam pelaksanaannya. Guru diberikan keleluasaan untuk mengembangkan silabus dan standar penilaian sesuai kondisi masing-masing daerah. Pengembangan mata pelajaran ini dihimpun menjadi sebuah perangkat pembelajaran. 

Kurikulum kembali berubah pada tahun 2013. Kurikulum ini memiliki tiga aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, dan aspek sikap. Pada kurikulum ini, materi pembelajaran ada yang dirampingkan dan ditambahkan. 

Pada tahun 2022, terjadi lagi perubahan kurikulum di Indonesia. Kurikulum yang berlaku tidak hanya Kurikulum 2013 saja, ada tambahan Kurikulum Merdeka dan Kurikulum Darurat. Satuan pendidikan diperbolehkan menggunakan salah satu dari tiga kurikulum tersebut.  

Melihat begitu panjang sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan kurikulum disesuaikan dengan kondisi saat kurikulum itu digunakan. Pertimbangan sosial, politis dan ekonomi saat itu sangat berpengaruh pada kebijakan kurikulum. Keadaan sosial, politik dan ekonomi saat dan setelah pandemi menjadi pertimbangan utama dalam memilih kurikulum bagi satuan pendidikan. 

 

Salah satu opsi dari kurikulum tahun ini adalah Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka dikembangkan sebagai kerangka kurikulum yang lebih fleksibel, berfokus pada pengembangan karakter dan kompetensi peserta didik. Ciri khas kurikulum ini adalah pembelajaran berbasis proyek, pengembangan soft skills, pembelajaran yang mendalam dan fleksibilitas melakukan pembelajaran berdiferensiasi. 

Pembelajaran berdifferensiasi sangat diperlukan saat ini. Capaian setiap pebelajar dalam satu kelas tentu tidak sama baik sebelum maupun setelah pandemi. Kondisi ini diperparah saat pandemi. Capaian Pembelajaran tidak terlaksana secara ideal dan maksimal. Oleh karena itu, capaian belajar siswa sangat mungkin berbeda. Dengan pembelajaran berdiferensisasi, setiap pebelajar diberi kesempatan untuk mendapatkan capaian belajar yang sama. 

Dalam upaya mengurangi ketertinggalan dan juga kehilangan pembelajaran pada masa pandemi. Maka sangat tepat bila Kemendikbudristek mengeluarkan kebijakan terkait opsi kurikulum saat ini. Sekolah diberikan kebebasan untuk memilih tiga kurikulum yang ada, yaitu Kurikulum 2013, Kurikulum Merdeka dan Kurikulum Darurat. Satuan pendidikan diperbolehkan menggunakan salah satu dari tiga kurikulum tersebut.  

Sekolah yang belum siap menggunakan Kurikulum Merdeka, masih diberi kesempatan menggunakan Kurikulum 2013. Untuk mereduksi ketertinggalan karena pandemi, sekolah dapat menggunakan Kurikulum Darurat yang merupakan modifikasi dari Kurikulum 2013. Kurikulum Merdeka dapat diterapkan bagi sekolah yang sudah siap. Dengan demikian, setiap sekolah dapat menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kemampuannya. Kerangka kurikulum yang fleksibel memberikan ruang kepada pebelajar dan pembelajar untuk lebih dapat berkreasi. (****)

Oleh: Ahsan Muafa ST, M.Pd

Penulis adalah Dosen Universitas Maarif Hasyim Latif dan Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya serta anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI)

Tulisan ini disunting olehDr. Aris Wuryantoro, M.Hum, Dosen di Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).