Di Era Jokowi, Industri Tekstil Bertumbangan, Bagaimana Zaman Soekarno dan Soeharto?

Bagi Presiden Soekarno, pengembangan industri tekstil dalam negeri menjadi salah satu cara mewujudkan ekonomi berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri.

Jul 1, 2024 - 07:22
Di Era Jokowi, Industri Tekstil Bertumbangan, Bagaimana Zaman Soekarno dan Soeharto?

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Iklim industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) bertumbangan hingga maraknya pemutusan hubungan kerja pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Namun pada saat Presiden Soekarno dan Soekarno menjabat, cenderung berjaya dan mendapat tempat spesial di mata pemerintah.

Dinamika industri tekstil pada era pemerintahan Soekarno cukup bergeliat.

Bagi Presiden Soekarno, pengembangan industri tekstil dalam negeri menjadi salah satu cara mewujudkan ekonomi berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri.

Soekarno pernah merasa kesal atas maraknya tekstil impor yang masuk ke Indonesia.

Pada 1933, atau zaman penjajahan, dia menulis fenomena masifnya tekstil murah asal Jepang di Indonesia yang membuat usaha tekstil milik orang Indonesia bangkrut.

Baginya, kedatangan barang murah asal Jepang bisa menyebabkan malapetaka. Sebab, hadirnya barang tersebut bisa menghasilkan ketergantungan.

Jika terus berlarut, maka suatu saat ia perkirakan rakyat tak bisa lagi memakai tekstil karena harganya dinaikkan perusahaan asing. Dan, saat bersamaan tak mampu memproduksi sendiri.

Menteri Tekstil Pertama & Terakhir Era Soekarno

Ketika Indonesia merdeka, Soekarno memberi leluasa atas bisnis tekstil milik pribumi. Pengusaha-pengusaha besar di masa depan, seperti Sudono Salim dan Eka Tjipta, tercatat pernah berbisnis tekstil imbas positifnya industri tersebut.

Selain itu, di era Soekarno pula ada menteri yang fokus mengurusi tekstil, meski keberadaannya baru ada di penghujung kekuasaan. Namanya, Menteri Perindustrian Tekstil dan Rakyat yang dipimpin Muhammad Sanusi. Posisi menteri ini menjadi yang pertama dan terakhir sepanjang sejarah.

Pada 1961, Soekarno juga membentuk PN Industri Sandang sebagai perusahaan negara yang memproduksi tekstil. Kemudian berubah nama menjadi PT Industri Sandang Nusantara (Persero).

Namun, pada 17 Maret 2023, Presiden Jokowi membubarkan PT Industri Sandang Nusantara melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2023 tentang Pembubaran Perusahaan Perseroan (Persero) PT Industri Sandang Nusantara.

Soeharto: Sukses Buat Indonesia 'Raja Tekstil'

Pada saat Soeharto mengambil alih kursi Kepresidenan, Industri TPT masih mendapat perhatian khusus, meskipun pemerintah Orde Baru awalnya tak berfokus pada perkembangan industri tekstil dan memilih fokus pada sektor pertambangan dan migas.

Ini terjadi karena cerahnya industri migas usai meningkatnya harga minyak global tahun 1970-an imbas perang. Dalam periode yang dikenal sebagai oil boom, Indonesia mendapat dana melimpah ruah dari ekspor minyak ke berbagai negara di dunia. Dana-dana tersebut kemudian dipakai pemerintah untuk penambahan subsidi dan memulai pembangunan.

Akan tetapi, di sisi lain pemerintah menyadari bahwa tak selamanya bisa bergantung pada sektor migas. Alhasil, memasuki dekade 1980-an, pemerintah mulai menitikberatkan pada program penggalakan ekspor non-migas.

Riset Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012: 388) menjelaskan, pelaksanaan program tersebut makin tak terbendung ketika harga minyak dunia jatuh yang membuat pendapatan Indonesia juga menurun.

Dengan kondisi demikian, tak ada alasan lagi bagi pemerintah menunda program tersebut. Setelahnya Soeharto lantas melakukan deregulasi untuk proteksi yang bisa menghambat pengembangan industri manufaktur.

"Langkah-langkah deregulasi ini mencakup pengurangan dalam tarif dan hambatan tarif, liberalisasi peraturan-peraturan asing, reformasi sektor finansial dan upaya-upaya untuk mengurangi kekuatan monopoli dari bisnis besar," tulis Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks.

Atas kebijakan ini, industri tekstil Indonesia bisa mendapat angin segar. Terlebih, industri tekstil bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Dia sudah ada sejak lama, sehingga kebijakan Soeharto membuatnya makin tumbuh bergeliat.

Setelah kebijakan tersebut, mulai bermunculan perusahaan-perusahaan tekstil swasta. Dalam pewartaan Tempo (10 Januari 1981), sejak 1978 sampai Agustus 1980 sudah muncul 120 proyek tekstil baru dengan rata-rata penanaman modal per tahun mencapai Rp80 miliar.

Dari keberadaan industri baru tersebut, ekspor tekstil melonjak 250%. Pasca dukungan pemerintah, total ekspor tekstil mencapai US$34 juta di awal tahun 1980 dan diprediksi bisa mencapai US$50 juta di akhir tahun. Bahkan, diprediksi angkanya semakin besar pada tahun-tahun mendatang.

Proteksi yang diberikan pemerintah tak hanya terjadi di pasar dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Masih mengutip pewartaan Tempo (10 Januari 1981), pemerintah berani menggertak negara-negara yang membatasi masuknya produk asal Indonesia. Kepada Inggris, misalnya.

Saat Inggris melakukan pembatasan kuota atas tekstil dalam negeri, pemerintah Indonesia melakukan aksi balasan.

Menteri Koordinator Ekonomi dan Investasi, Widjojo Nitisastro, langsung melakukan pembatalan pembelian dua pesawat dan proyek Inggris di Indonesia. Berkat ini, PM Margaret Thatcher mengaku rugi ratusan juta poundsterling dan mendorongnya mengatur lagi kuota tekstil asal Indonesia di Inggris.

Selain itu, keberhasilan industri tekstil di Indonesia semasa Orde Baru didasari juga oleh masifnya investasi berorientasi ekspor dari empat negara industri baru di Asia, yakni Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura, dan Jepang.

Dalam catatan Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks semasa kekuasaan Soeharto, liberalisasi membuat industri dari negara-negara tersebut melakukan relokasi ke Indonesia. Mereka membuat pabrik tekstil dan garmen di Indonesia. Tenaga kerja pun diserap dan bisa memantik pertumbuhan ekonomi.

Pada akhirnya, kebijakan tersebut membuahkan hasil dan Soeharto boleh bangga atas pencapaian ini. Sebab, pemerintah mencatat setiap tahunnya, industri tekstil jadi penopang utama pertumbuhan ekonomi dan katalisator percepatan industrialisasi.

Sembilan tahun pasca perubahan fokus tersebut, pemerintah sukses mendapat uang US$ 1,65 miliar pada 1989. Angka ini kemudian makin meningkat mencapai hampir US$2 miliar di penghujung kekuasaan Soeharto.(han)