Bisnis Kopi Begitu Mendunianya Kopi Indonesia Menjadi Gabus Pelampung Ekonomi Belanda

Begitu mendunianya kopi Indonesia saat itu dan telah menjadi gabus pelampung ekonomi Belanda. Sehingga Belanda menjadi salah satu negara termakmur di Eropa

Feb 3, 2023 - 19:20
Bisnis Kopi Begitu Mendunianya Kopi Indonesia Menjadi Gabus Pelampung Ekonomi Belanda
Melihat lebih dekat panen kopi (Foto ilustrasi: Grandyos Zafna/detikcom)

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Pada tahun 1721, sekitar 90% kopi yang didagangkan di Amsterdam berasal dari Mocha, Yaman. Namun lima tahun kemudian, Jawa telah menjadi produsen utama kopi bagi Belanda. Sebanyak 90% kopi yang didagangkan VOC berasal dari Jawa. Begitu terkenalnya kopi dari Jawa sehingga "jawa" menjadi istilah pengganti kata kopi (Steven Topik, 2004) --a cup of java.

Begitu mendunianya kopi Indonesia saat itu dan telah menjadi gabus pelampung ekonomi Belanda. Sehingga Belanda menjadi salah satu negara termakmur di Eropa. Adalah VOC sebagai kongsi dagang belanda yang bertugas sebagai motor penggerak dalam memobilisasi penanaman kopi di Indonesia dan Pulau Jawa pada khususnya. VOC tumbuh menjadi kongsi dagang paling bergengsi dengan keuntungan selangit. Hal ini karena VOC melakukan transaksi perdagangan kopi secara tidak beradab dengan mengorbankan dan menindas kehidupan para petani kopi di Indonesia.

BACA JUGA : Waduh! 7 Anggota DPRD Jatim dan 1 Pegawai Bank BNI Diperiksa...

Dahulu, VOC selaku pembeli tunggal menggunakan beragam taktik pemerasan dan intimidasi. Model penguasaan aset kopi saat ini tentu sudah berubah dengan cara yang kelihatannya lebih beradab. Modus saat ini yang dilakukan para pembeli kopi besar (TNC) adalah dengan menyebar para "pemberi utangan" dengan dalih memberikan uang muka alias down payment (DP). Tujuan akhirnya adalah agar kepemilikan kopi pada saat panen menjadi milik para pemberi utang tersebut.

Sekilas tampak banyak menolong para petani kopi yang memang saat transaksi pemberian uang DP tersebut sedang memerlukan uang untuk beragam keperluan. Namun yang perlu kita cermati bersama adalah penetapan harga saat panen kopi berlangsung. Kehilangan harapan nilai uang ketika petani menerima harga pembelian cherry kopi (biji petik merah) saat panen berlangsung. Praktik ijon sejatinya sudah seharusnya ditinggalkan. Karena unsur ketidakpastian quantity dan quality saat transaksi pembelian kopi yang mengandung unsur ketidakpastian tinggi.

Untuk menghindari hal tersebut sebenarnya sangat sederhana, yaitu dengan memasukkan aspek teknologi pertanian berupa mesin huller (pengupas kulit). Sehingga produk yang didapat sudah berupa gabah basah atau bahkan idealnya produk olahan kopi setengah jadi dalam bentuk beras kopi (greenbean). Sehingga perdagangan kopi yang dilakukan petani menjadi jelas produknya dan pembeli mendapatkan kepastian jumlah dan kualitas kopi yang diperdagangkan.

BACA JUGA : Jelang Harlah 1 Abad NU, Gus Yahya Ngopi Bareng Pemred...

Kalau model transaksi dalam bentuk greeanbean yang dilakukan petani, maka proses pemberian DP bisa dilakukan oleh lembaga pembiayaan yang memang sudah tersedia banyak dan secara legalitas formal resmi berdiri. Kalau ini terjadi, maka petani kopi akan banyak memiliki pilihan untuk melakukan transaksi penjualan hasil panen kopi. Dan, pihak lembaga pembiayaan akan lebih aman karena produk kopi yang diperdagangkan memiliki jaminan kualitas yang stabil serta jaminan pasar dari pihak pembeli.
Nilai Tambah

Keanggotaan petani kopi dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) atau bahkan lebih ideal tergabung dalam Koperasi Agroforestry Kopi misalnya akan memudahkan perolehan nilai tambah yang adil bagi para petani kopi. Melalui kelembagaan KTH, ragam kebutuhan anggota dapat difasilitasi oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang bekerja sama dengan KTH. LKM akan merasa tenang dan nyaman bertransaksi dengan KTH. Hal ini karena KTH memiliki jaminan aset yang laku jual yaitu kopi greeanbean dan adanya jaminan kontrak pembelian kopi dari pihak pembeli.

Supaya kualitas kopi bisa terjaga dengan baik dalam jangka panjang, setiap KTH harus memiliki standar gudang yang memadai. Idealnya memasukkan skema resi gudang (SRG), tapi dalam skala kecil ditingkat KTH. Karenanya peran pemerintah harus masuk dengan melakukan peningkatan standar Unit Pengolahan Hasil (UPH) yang sudah mulai dimiliki oleh KTH.

Penerapan skema SRG versi UPH akan menjamin kelancaran kerja sama KTH dengan LKM. Lembaga pembiayaan pasti akan menilai kelaikan gudang sehingga kualitas produk akan diterima pasar. Pihak pembeli dalam hal ini pabrik pengolahan kopi atau BUMN Perdagangan akan merasa yakin dengan kualitas greenbean yang dimiliki KTH karena disimpan dalam gudang yang standar. Sehingga hubungan tiga pihak antara petani kopi yang memerlukan uang (KTH), LKM pemberi pembiayaan/pinjaman, dan pembeli (BUMN Perdagangan/swasta) akan tumbuh rasa saling percaya (mutual trust) secara jangka panjang.

Harus Berkoperasi

Permasalahan petani --tidak hanya kopi-- terkait kebutuhan hidup sehari-hari adalah pemenuhan kebutuhan hidup jangka pendek atau disebut cost of living atau biaya hidup. Konsep yang paling ideal adalah petani harus berkoperasi. Koperasi yang akan memberikan pelayanan sembako dan kebutuhan-kebutuhan penting dan mendadak yang sering membuat petani terjebak dalam pola rentenir/bank emok.

Mencermati fenomena tersebut, peran KTH/koperasi harus tampil dalam memberikan solusi perihal pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk menguatkan permodalan KTH/koperasi, peran BLU Keuangan dalam hal ini LPDB Kementerian Koperasi atau BLU BPDLH Kementerian Keuangan wajib hukumnya berkolaborasi dengan KTH/koperasi para anggota petani kopi.

Khusus untuk BLU BPDLH petani kopi sangat tepat dibiayai untuk cost of living yang proses penyalurannya bekerja sama dengan LKM (chanelling agent) atau langsung ke KTH/koperasi Para petani kopi (agroforestry kopi). Hal ini karena produk kopi merupakan luaran dari produk agroforestry hutan.

Jika mekanisme ini berjalan dengan baik dan adanya keberpihakan BLU Pembiayaan, maka jebakan para tengkulak yang memberikan DP kepada petani saat menjelang panen kopi bisa diatasi. Sehingga para petani kopi akan mendapatkan peluang harga yang baik sekaligus terpenuhinya kebutuhan biaya hidup ketika musim panen kopi belum terlaksana.

Kolaborasi

Intinya adalah kolaborasi dan tercipta proses perdagangan yang adil (fair trade) antara produsen, buyer, dan para pihak yang masuk dalam ekosistem perdagangan kopi. Peran para pihak harus ditempatkan secara proporsional dan profesional. Pemerintah fokus dalam meng-up grade UPH dan menyediakan gudang kopi di tingkat KTH yang memenuhi standar SRG.

LKM fokus dalam mem-back up kebutuhan pembiayaan petani dengan jaminan greenbean di gudang KPH. Sementara pihak pembeli (buyer) baik swasta maupun BUMN hadir dengan memberikan kepastian harga yang adil (fair price). Ujung dari skema kerja sama yang saling menguntungkan ini adalah tumbuhnya ekosistem perdagangan kopi yang berkeadilan.

Semua subsistem yang tergabung dalam ekosistem agribisnis kopi akan fokus kepada yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Petani akan fokus dalam meningkatkan produktivitas kebun kopi. Industri penangkaran bibit kopi akan berkembang di tingkat koperasi KTH, inovasi pupuk organik maupun anorganik akan tumbuh seiring dengan spirit petani untuk menghasilkan buah cherry yang merah serempak dengan produktivitas yang tinggi.

KTH/koperasi akan fokus dalam menjalin kerja sama dengan pasar dan lembaga pembiayaan. Manajemen koperasi akan tumbuh dan berkembang lebih lincah (agile) dan penuh perhitungan (calculated risk). Teknologi gudang SRG akan menjadi model bisnis pergudangan yang efisien dengan teknologi yang modern berbasis penerapan sistem informasi (IT based). Sehingga KTH/koperasi akan semakin percaya diri dalam melakukan transaksi dengan mitra buyer.

Orientasi Semua Pihak

Ketika ekosistem kopi sudah terbangun dengan landasan mutual trust di antara para pihak, maka pengembangan kelembagaan ke depan adalah mendorong BUMN Pemasaran maupun swasta untuk membentuk Trading Company antara Koperasi Petani Kopi dengan BUMN/swasta tersebut. Lokasi gudang kopi KTH yang tersebar di sentra-sentra produksi kebun kopi akan memiliki gudang induk yang dikelola perusahaan trading yang notabene saham perusahaan tersebut dimiliki bersama antara para petani kopi (koperasi) dengan pihak swasta dan atau BUMN.

Sementara BUMN/swasta harus masuk ke rantai produksi yang lebih hilir lagi misalnya dengan membuat industri pengolahan kopi baik dalam bentuk roasting, kopi bubuk, dan olahan produk berbasis kopi lainnya (pangan, farmasi, dan kosmetik). Dengan masuknya BUMN/swasta ke sektor produk yang lebih hilir (hilirisasi produk) pada gilirannya akan meningkatkan nilai tambah dari kopi sendiri. Pada akhirnya para petani kopi juga akan mendapatkan margin/harga yang lebih stabil dan proporsional.

Oleh karena itu, transformasi kelembagaan bisnis kopi dengan menempatkan petani kopi sebagai tuan di negerinya sendiri harus menjadi orientasi semua pihak. Jangan pola-pola VOC diulangi kembali dengan menerapkan gaya baru. Proses jebakan utang dalam bentuk pemberian uang muka yang dilakukan para tengkulak jelas sudah menjadikan para petani kopi hidup tidak berdaulat, tidak punya harapan dan menjadi pihak yang terzalimi. Proses perdagangan yang berkeadilan dengan menempatkan fungsi dan peran para pihak (pemerintah, BUMN, dan swasta) secara proporsional adalah kunci tumbuhnya harapan kesejahteraan para petani kopi.

Ali Rahman pencinta kopi, tinggal di Bandung.(ris)