Demo Bela Palestina Kian Meluas di Negara Barat

Demonstrasi mendukung Palestina nyatanya dilarang di sejumlah negara seperti Prancis, Jerman, hingga Inggris.

Oct 29, 2023 - 05:02
Demo Bela Palestina Kian Meluas di Negara Barat

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Demontrasi mendukung negara Palestina Merdeka, semakin membludak di London, Inggris; Paris, Prancis; Dublin, Republik Irlandia; Dusseldorf, Jerman; Roma, Italia; Barcelona, Spanyol; Sydney, Australia; hingga Los Angeles dan New York, Amerika Serikat.

Demonstrasi itu dilakukan oleh puluhan hingga ratusan ribu orang.

Umumnya, mereka menyuarakan tuntutan serupa yakni gencatan senjata, penghentian serangan oleh Israel, hingga kemerdekaan Palestina.

Aksi semacam ini padahal dilarang di beberapa negara seperti Prancis dan Inggris.

Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin pada 12 Oktober lalu memberlakukan larangan nasional terhadap demo pro-Palestina. Ia beralasan tak ingin ada kekacauan publik.

Menteri Dalam Negeri Inggris Suella Braverman juga melarang warganya mengibarkan bendera Palestina atau meneriakkan slogan kemerdekaan bagi Palestina. Warga yang melakukannya dianggap mendukung teroris.

Jerman, Belanda, hingga Ukraina juga turut melarang demonstrasi pro-Palestina. Jerman, salah satunya, beralasan punya tanggung jawab terhadap Holocaust sehingga harus menjaga keberadaan dan keamanan Israel.

Di tengah larangan ini, kenapa semakin banyak demo pro-Palestina di negara-negara Barat?

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menilai pemerintah Amerika Serikat selaku pimpinan sekutu Barat tanpa sadar telah menempatkan fokus utamanya kepada China untuk setiap kebijakan internasional Washington.

Karena penitikberatan ini, posisi tradisional AS sebagai pemimpin sekutu Barat pun telantar, terutama dalam aspek-aspek demokrasi, pembangunan, dan hak asasi manusia (HAM).

"Sebagai akibatnya, terjadi kekosongan psikologis di kalangan sekutu global AS dan rakyat mereka yang serba majemuk tersebut, di mana mereka mulai memiliki fleksibilitas dan kemandirian dalam menafsirkan perkembangan internasional," kata Rezasyah.

Rezasyah juga berpandangan kelompok negara Barat mulai semakin kritis menilai perilaku Israel yang "semakin arogan dalam menangani masalah Palestina".

Sikap Israel ini, kata Rezasyah, menimbulkan potensi pembinasaan peradaban Palestina dan perluasan konflik Israel melawan negara-negara Arab.

Potensi tersebut jelas ditentang komunitas global karena bisa memperparah konflik di Timur Tengah. Jika itu terjadi, dunia akan menjadi semakin tidak stabil.

Sejak pecah pada 7 Oktober lalu, perang antara milisi Hamas Palestina dengan Israel sendiri memang telah meluas ke beberapa negara Arab, seperti Suriah dan Lebanon.

Di Suriah, rentetan jet tempur Israel menyerang infrastruktur militer Damaskus sebagai respons atas peluncuran roket-roket Suriah ke Negeri Zionis.

Menurut kantor berita pemerintah Suriah, SANA, setidaknya delapan tentara tewas dan tujuh lainnya luka-luka dalam serangan pada Rabu (25/10) tersebut.

Sementara itu di Lebanon, Israel juga terus-menerus saling gempur dengan milisi Hizbullah. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melaporkan pihaknya telah menyerang lebih dari 30 markas teror di Lebanon selatan.

Setidaknya enam tentara Israel, 35 anggota Hizbullah, dan sejumlah warga sipil tewas dalam konflik ini.

Menurut Rezasyah, selain takut konflik meluas ke negara-negara Arab, masyarakat Barat juga menggelar demo pro-Palestina lantaran citizen journalism atau jurnalisme warga yang kian merebak "sehingga membuat masyarakat di berbagai belahan bumi mendapatkan alternatif informasi secara lebih adil dan berimbang."

Lebih dari itu, ia menilai kesadaran "batiniah" dan HAM juga menurutnya jadi salah satu penyebab warga Barat menyuarakan dukungan ke Palestina.

"Masyarakat Eropa yang kesadaran batiniah dan HAM secara mulai meninggi tersebut akhirnya sadar, jika mereka hendaknya menjadi bagian dari penyelesaian masalah, dan tak lagi mengikuti Amerika Serikat dan Israel, yang selama ini merupakan bagian dari masalah," tuturnya.

Senada, pakar kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Sya'roni Rofii, juga mengatakan demonstrasi mendukung Palestina di Barat merupakan potret solidaritas yang kian nyata terhadap Palestina.

Sya'roni menilai isu Palestina saat ini tak lagi dilihat sebagai persoalan agama. Sebaliknya, masalah ini sudah dipandang sebagai isu kemanusiaan.

"Saya kira itu memang menjadi salah satu potret solidaritas terhadap Palestina karena belakangan isu penyerangan Israel terhadap Palestina itu sudah mengundang simpati banyak kalangan tidak hanya kelompok Muslim tapi juga kelompok pro kemanusiaan seperti [Gretta] Thunberg salah satu gadis asal Swedia yang pro terhadap lingkungan. Dia juga ikut demonstrasi menyampaikan pandangan terkait isu Palestina," kata Sya'roni.

Sya'roni juga menuturkan budaya kebebasan berekspresi di Amerika dan Eropa juga menjadi salah satu alasan demonstrasi menjadi "tradisi" di sana.

"Sehingga yang ada di negara-negara Barat adalah diberikan ruang untuk berbeda, diberikan ruang untuk berekspresi dan menyatakan pendapat sehingga ada kebijakan bahwa kalau komunitas tidak setuju, mereka mengekspresikannya dengan demonstrasi," ucap Sya'roni.

Di Barat, aksi demonstrasi memang diizinkan untuk melontarkan kritik atau sekadar memberikan pandangan yang berbeda. Namun, tidak semua jenis demonstrasi dibolehkan.

Demonstrasi mendukung Palestina nyatanya dilarang di sejumlah negara seperti Prancis, Jerman, hingga Inggris.

Prancis melarang karena tak mau ada kekacauan publik. Kemudian Jerman karena ada tanggung jawab peristiwa Holocaust terhadap kaum Yahudi.

Sementara itu, Inggris karena menganggapnya sebagai dukungan terhadap terorisme. Pada 2021, Inggris sepakat menetapkan Hamas sebagai organisasi teroris.

Meski dilarang, masyarakat di negara-negara tersebut masih ada yang berunjuk rasa mendukung perjuangan Palestina. Di Jerman, misalnya, demonstran bahkan sempat bentrok dengan aparat kepolisian kala beraksi.

Terkait hal ini, Sya'roni percaya bahwa masyarakat di negara-negara itu punya pandangan politiknya masing-masing. Komunitas Muslim di Eropa pun, kata Sya'roni, diisi warga negara setempat sehingga memiliki posisi strategis dan hak yang sah untuk menyatakan pendapat.

"Mereka memiliki pandangan politiknya. Kalau pemerintah punya pandangan politik berbeda, itu urusan pemerintah. Tapi masyarakat memiliki pandangannya sendiri," ucap Sya'roni.(han)