Buntut KPK Minta Maaf soal Status Tersangka Kabasarnas, Begini Saran Pakar Hukum UB

Aan menegaskan KPK sudah tepat menggunakan Pasal 42 Undang-Undang (UU) dalam perkara ini. UU tersebut dinilai lebih baru ketimbang UU tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Jul 29, 2023 - 17:44
Buntut KPK Minta Maaf soal Status Tersangka Kabasarnas, Begini Saran Pakar Hukum UB

NUSADAILY.COM – MALANG - Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya menyoroti pernyataan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat penetapan tersangka Henri dan Afri pada Rabu (26/7).

Diketahui, berselang dua hari, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyatakan khilaf dan meminta maaf kepada rombongan petinggi TNI karena ada kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka.

"Antar pimpinan KPK tidak kompak. Pak Alex dan Pak Tanak beda. Ini yang disesalkan," ujar Aan, dikutip Nusadaily.com dari CNNIndonesia.com, Jumat (28/7).

Pakar Ilmu Perundang-undangan Aan Eko Widiarto menilai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak kompak karena minta maaf setelah menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Basarnas Letkol Adm Afri Budi sebagai tersangka kasus suap.

Kendati demikian, Aan menegaskan KPK sudah tepat menggunakan Pasal 42 Undang-Undang (UU) dalam perkara ini. UU tersebut dinilai lebih baru ketimbang UU tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Selain itu, Aan juga menyoroti titik berat kerugian yang diatur dalam Pasal 91 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dia menilai kerugian di kasus yang melibatkan Kabasarnas sebagai TNI aktif lebih kepada kepentingan umum, sehingga mestinya diproses di pengadilan umum.

"Bila yang dirugikan oleh anggota TNI adalah kepentingan umum maka seharusnya diadili di peradilan umum, dan sebaliknya. Dalam perkara ini Basarnas lembaga non organik TNI dan perkaranya soal pengadaan barang bukan alutsista tapi deteksi korban," jelas Aan.

Namun demikian, Aan menyebut dasar hukum yang digunakan Tanak masih sumir lantaran hanya menyebutkan empat lingkungan peradilan dan langsung disimpulkan bila peradilan militer mengadili militer.

Menurut Aan, Tanak tidak melihat ketentuan koneksitas sebagaimana diatur KUHAP.

Lebih lanjut, Aan mendorong lembaga antirasuah untuk berkomunikasi dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto jika bersinggungan dengan kasus yang melibatkan anggota TNI aktif.

Hal itu merujuk pada Pasal 89 ayat 1 KUHAP, yang berbunyi:

1. Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk Iingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam Iingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

"Agar masyarakat tidak bingung dalam hal ini, perlu ada komunikasi antara KPK dan Panglima. Kalau dalam bahasanya KUHAP itu bahkan Menteri Pertahanan yang seharusnya berkomunikasi, Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman," katanya.

"Ini karena Undang-Undang masa lalu, kalau sekarang Menteri Kehakiman sudah tidak ada. Kalau sekarang ya seharusnya Menhan karena atasan dari Panglima dengan KPK sebagai lembaga negara," tambah dia.

Diserahkan ke TNI

Aan turut menyinggung status tersangka Henri dan Afri usai KPK mengaku khilaf. Menuruti dia, lembaga pimpinan Firli Bahuri itu mesti mencabut status tersangka yang telah disematkan sebelumnya.

"Kalau mengakui khilaf karena tidak berwenang maka KPK harus mencabut status yang sudah ditetapkan. Kemudian seharusnya POM segera memproses hukum sesuai hukum militer. Kalau KPK mau koneksitas maka seperti yang saya sarankan tadi adalah bertemu dengan Menhan," katanya.

KPK sebelumnya menyatakan khilaf dan meminta maaf kepada rombongan petinggi TNI karena ada kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka Henri dan Afri dalam perkara ini. Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK.

Rombongan petinggi TNI yang dipimpin Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko menyambangi Gedung Merah Putih KPK, Jumat (28/7) untuk mengkoordinasikan terkait kasus dugaan tindak pidana di lingkungan Basarnas tersebut.

"Di sini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI," terang Johanis Tanak usai pertemuan dengan petinggi TNI itu di kantornya, Jakarta Selatan.

"Atas kekhilafan ini kami mohon dimaafkan," tambah dia.

Johanis membeberkan dalam pelaksanaan OTT pada awal pekan ini, tim penyidik KPK menemukan dan mengetahui dugaan keterlibatan anggota TNI yang berdinas di lingkungan Basarnas.

"Dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya manakala ada keterlibatan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani," katanya.

Johanis mengatakan hal itu merujuk pada Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman ada 4 peradilan yakni umum, militer, tata usaha negara (TUN), dan agama. Dia juga memastikan penanganan kasus tersebut tetap dilanjutkan secara koneksitas antara KPK dan POM TNI.

Buntut Polemik OTT Basarnas

Diberitakan sebelumnya, Brigjen Asep Guntur Rahayu dikabarkan mengundurkan diri dari jabatan Direktur Penyidikan sekaligus Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK usai polemik Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat Basarnas RI.

Dikutip Nusadaily.com dari sumber CNNIndonesia.com, pengunduran diri Asep disampaikan melalui aplikasi pesan singkat. Surat resmi disebut menyusul pada Senin (31/7).

"Sehubungan dengan polemik terkait OTT di Basarnas dan hasil pertemuan dengan jajaran Pom TNI beserta PJU Mabes TNI di mana kesimpulannya dalam pelaksanaan OTT dan penetapan tersangka penyidik melakukan kekhilafan dan sudah dipublikasikan di media," demikian bunyi pesan dari Asep diperlihatkan sumber internal KPK, Jumat (28/7) petang.

"Sebagai pertanggungjawaban saya selaku Direktur Penyidikan dan Plt. Deputi Penindakan, dengan ini saya mengajukan pengunduran diri karena tidak mampu mengemban amanah sebagai Direktur Penyidikan dan Plt. Deputi Penindakan. Surat resmi akan saya sampaikan hari Senin," sambungnya.

Sumber internal KPK lainnya turut mengonfirmasi isi pesan tersebut.

Dalam pesan tertulis itu, Asep menegaskan apa yang telah dilakukan dirinya serta rekan penyelidik, penyidik dan penuntut umum semata-mata dalam rangka memberantas korupsi.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri yang belum memberikan keterangan, demikian juga dengan Asep.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak meminta maaf kepada rombongan Puspom TNI atas polemik penanganan kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas RI.

Johanis menyatakan terdapat kekhilafan dari tim penyelidik saat melakukan OTT.

Mengacu kepada Undang-undang, Johanis menjelaskan lembaga peradilan terdiri dari empat yakni militer, umum, agama dan Tata Usaha Negara (TUN).

Ia mengatakan peradilan militer khusus untuk anggota militer, sedangkan peradilan umum untuk sipil.

"Ketika ada melibatkan militer, maka sipil harus menyerahkan kepada militer," ujar Johanis setelah pertemuan dengan jajaran Puspom TNI di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (28/7) petang.

"Di sini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI, atas kekhilafan ini kami mohon dimaafkan," tandasnya.

KPK sebelumnya menetapkan dan mengumumkan total lima tersangka terkait kasus dugaan korupsi suap menyuap pada pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan Tahun Anggaran 2023 di Basarnas RI.

Mereka ialah Kabasarnas RI periode 2021-2023 Henri Alfiandi; Anggota TNI AU sekaligus Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto; Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil.

Henri bersama dan melalui Afri Budi diduga menerima suap dari beberapa proyek di Basarnas tahun 2021 hingga 2023 sejumlah sekitar Rp88,3 miliar dari berbagai vendor pemenang proyek.

Penentuan tersangka tersebut diperoleh KPK setelah melakukan gelar perkara atau ekspose menindaklanjuti Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat Basarnas di Cilangkap, Jakarta Timur dan Jatisampurna, Bekasi, Selasa (25/7).(han)