Pergeseran Fungsi Nama Masyarakat Indonesia

Ketika seorang bayi lahir, salah satu yang dipikirkan orang tua adalah memberikan nama bagi anaknya. Bahkan bagi keluarga muda atau keluarga yang baru pertama kali

Jul 26, 2023 - 16:34
Pergeseran Fungsi Nama Masyarakat Indonesia
Hadi Wardoyo

Oleh: Hadi Wardoyo

            

Ketika seorang bayi lahir, salah satu yang dipikirkan orang tua adalah memberikan nama bagi anaknya. Bahkan bagi keluarga muda atau keluarga yang baru pertama kali punya anak, nama bayi sudah dipersiapkan jauh sebelum kelahiran anaknya. Biasanya mereka menyiapkan dua nama sebagai alternatif, yakni nama untuk laki-laki dan perempuan. 

Untuk merancang nama yang tepat untuk anak yang akan lahir, orang tua bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan. Suami istri akan berdiskusi lama saat menentukan kesepakatan nama yang tepat untuk anaknya. Bila perlu mereka harus berkonsultasi kepada para kyai, tokoh adat, ketua suku, atau mencari referensi buku kumpulan nama beserta artinya. 

Melihat kesibukan orang tua ketika menyiapkan nama untuk anaknya tersebut menjadi indikasi bahwa betapa pentingnya persepsi nama diri bagi masyarakat Indonesia. 

Bagi masyarakat Indonesia nama diri tidak hanya berfungsi sebagai identitas utama keberadaan seseorang dalam komunitas sosial (Darminto, 1986) namun memiliki fungsi lain yang juga tidak kalah penting dalam kehidupan sosial. Fungsi lain nama diri itu mengalami pergeseran seiring dengan dinamika sosial dan budaya masyarakat. Untuk melihat pergeseran fungsi itu, kita cermati terlebih dahulu fungsi-fungsi nama diri menurut para ahli.  

Fungsi utama nama diri adalah  sebagai penanda identitas. Dalam fungsi ini, pemberian nama hanyalah untuk penanda keberadaan diri seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Pemberian nama bisa dilakukan tanpa pertimbangan motivasi tertentu. Biasanya, nama-nama dalam fungsi tersebut tidak memiliki arti  dipakai hanyalah sekadar nama yang menempel pada diri seseorang untuk membedakan dengan orang lain. 

Nama diri sebagai penanda identitas yang tidak bermotivasi itu, misalnya Sukimin, Sujilan, Paijan, Jikan, Jimin, dan Sagiman (untuk pria), serta Maijem, Satem, Sutini, Warini, Jilah dan Tinah (untuk wanita). Di samping itu, ada nama diri yang sulit dirunut motivasinya yang diambilkan dari nama binatang, misalnya Gembluk nama babi hutan’ dan Genjik ‘anak babi’ (untuk pria) serta Prenjak, Kedasih ‘nama jenis burung, (untuk wanita). 

Ada pula nama diri yang diambil dari nama bunga dan nama buah untuk wanita, misalnya Menik ‘nama bunga lombok’ dan Ranti ‘nama jenis buah’. Oleh karena nama Gembluk dan Genjik kemudian dianggap bernilai rendah oleh penyandangnya, maka anak itu meminta orang tuanya untuk mengganti nama tersebut sehingga muncul nama baru, yakni Arifin sebagai pengganti Genjik dan Tirtana sebagai pengganti Gembluk.

Selain sebagai penanda identitas, ada beberapa fungsi berkaitan dengan nama diri. Nama diri dapat berfungsi sebagai penanda yang berkenaan dengan harapan dan cita-cita serta makna dan tujuan baik. Misalnya, Sigit ‘tampan’, Santosa ‘sentosa’, Raharja ‘bahagia’, Basuki  ‘selamat’, Hadi Atmaja ‘anak yang baik’, dan Siswa Utama ‘murid utama’ (untuk pria), serta Sri Wulan ‘bulan yang indah’, Sulistyawati ‘cantik’, Nur Rahmah ‘cahaya kasih’, dan Nuraini ‘cahaya dua mata’ (untuk wanita). Nama diri yang mengandung makna harapan dan tujuan yang baik itu kadang-kadang diambil dari nama tokoh idola, tokoh idaman, tokoh terkemuka, dan tokoh wayang untuk diteladani sehingga muncul nama Sukarno, Sudirman, Muhammad Yamin, Abu Bakar, kartini, Herawati, Wisnu Wardana, Bambang Irawan, Sena Aji, Gatot Susetyo, Sukesi, dan Utari.

Nama diri juga berfungsi sebagai penanda kewibawaan. Untuk itu, kata-kata yang dipilih adalah kata-kata yang benilai rasa hormat, tinggi, misalnya Surya ‘matahari’, Baskara ‘matahari’, Chandra ‘bulan’, Sasangka ‘bulan’, Praba ‘cahaya’, Prabawa ‘kesaktian’, Purnama ‘purnama’, Kusuma ‘bunga’, Wibawa ‘wibawa’, dan Jaya ‘menang’, sehingga muncul nama Praba Kusuma, Iwan Purnamasidhi, Ari Sasangka, Aji Wibawa, dan sebagainya.

Berkanaan dengan penggunaan kata-kata yang bernilai rasa hormat, nama diri juga berfungsi sebagai penanda kehormatan. Untuk itu, nama diri kadang-kadang ditambah dengan gelar, jabatan, naam baru pemberian dari raja atau penguasa, atau sebutan lain (seperti ndara, rama, ki, kyai, nyi, dan nyai ). Misalnya, Jendral Sudirman, Profesor Sartono, Dokter Dewi, Hajah Nur Janah, Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T) Sastrahadiningrat (nama aslinya Subardi ), Rama Widya, Ndara Wisnu, Ki Hadiwijana, Kyai Sujak, dan Nyi Supeni. Bahkan, kadang-kadang dalam percakapan yang digunakan sebagai nama (panggilan) adalah gelar, gelar yang diikuti jabatan, atau sebutan lain yang diikuti jabatan. Misalnya, Ndara Kanjeng (untuk orang yang bergelar K.R.T.), Ndara Dana (untuk orang yang bergelar atau menjabat sebagai wedana ), dan Bapak Gubernur  (untuk orang yang menjabat sebagai gubernur.

Ada pula nama diri yang berfungsi menunjukkan profesi atau pekerjaan. Untuk mempertegas jati diri penyandangnya, kadang-kadang jenis profesi atau pekerjaan itu disertakan pada nama diri tersebut. Misalnya, Darmadiharja menjadi atau dipanggil Darma Kunci karena dia berprofesi sebagai pembuat kunci duplikat, Atmadiharja dipanggil Atma Krupuk karena dia berprofesi sebagai juragan krupuk atau penjual krupuk, dan Sumaryati yang dipanggil Yanti Pijet karena dia berprofesi sebagai tukang pijat.

Nama diri ada yang berfungsi sebagai penanda urutan. Misalnya, Eka Pracaya. Diberi nama eka karena  dia sebagai anak pertama yang ditandai dengan kata eka yang berarti ‘satu’ ). Begitu pula dengan nama  Edi Pratama, Dwi Yuliani, dan Sulastri. Diberi nama Edi Pratama karena dia anak pertama yang ditandai dengan pratama yang berarti ‘pertama’, Dwi Yuliani karena dia adalah anak kedua yang ditandai dengan dwi  ‘dua’, dan Sulastri karena dia adalah anak ketiga yang ditandai dengan tri ‘tiga’.

Nama diri juga mempunyai fungsi historis karena mengacu pada peristiwa atau keadaan tertentu. Misalnya, yang berkaitan dengan waktu kelahiran ada anak yang diberi nama Senen ‘Senin’karena dia lahir pada hari Senin, Anggara ‘Selasa’ karena dia lahir pada hari Selasa, Nur Ahadiyah karena dia lahir pada hari Ahad atau Minggu, Alipar karena dia lahir pada bulan Alip (nama bulan dalam keperjayaan Jawa) atau bulan Sapar, Leginah karena dia lahir pada hari pasaran Legi. Legi merupakan salah satu nama hari pasaran dalam masyarakat Jawa yang terdeiri atas pon, wage, kliwon, legi, dan pahing. Begitu juga dengan nama Ika Yulianti karena lahir pada bulan Juli, dan Novita Maduratna karena lahir pada bulan November ketika diajak ayahnya berwisata ke Pulau Madura. 

Nama diri ada yang mempunyai fungsi ideologis tertentu, baik yang menyangkut agama, paham, maupun politik. Misalnya, Dian Islamiati, Kristiono, Kristina Wulandari, Sri Marhaeni. Nama Dian Islamiati  mengacu pada agama Islam atau mengindikasikan bahwa orang tuanya beragama Islam, Kristiono dan Kristiani Wulandari  mengacu pada agama Kristen atau terlahir dari keluarga yang beragama Kristen, dan Sri Marhaeni yang mengacu pada ideologi politik Marhaen, yaitu paham yang dikembangkan oleh Soekarno.  

Nama diri ada pula yang berfungsi sebagai penanda atau penegas jenis kelamin, misalnya dengan menggunakan kata lanang atau priya  untuk laki-laki, serta putri, niken, dan siti (dari bahasa Arab) untuk perempuan. Contohnya, Lanang Supriyadi, Priyo Susanto, Galih Priyo Jati, Putri Apsari, Niken Larasati, dan Siti Sundari. 

Nama diri dapat pula berfungsi sebagai kekerabatan. Misalnya, Heru Atmojo Borgessa yang berarti anak Heru merupakan keluarga Borgessa, Fadil Hadi Atmojo yang berarti Fadil adalah anak Hadi Wardoyo,  Marsudi Eka Pracaya yang berarti bahwa Marsudi adalah  anak pertama Suparma Pracaya, Jaldan Baldawi yang berarti bahwa Jaldan adalah anak Achmad Badawi, Prihartiwi Suharno berarti Prihartiwi adalah anak Suharno, dan Sri Widati Prodopo yang berarti Sri Widati  adalah istri Rachmat Djoko Prodopo. Begitu pula dengan Ani Yudoyono yang berarti Ani adalah istri Susilo Bambang Yudoyono (Presiden RI). 

Ada pula fungsi nama diri yang berkenaan dengan nilai rasa humor, olok-olok, dan akrab. Nama diri itu biasanya dipakai oleh pelawak. Misalnya, Jayasudarma memakai nama Jaya Geol, Sugiya memakai nama Joni Gudel, Fredi memakai nama Gepeng, dan Yati memakai nama Yati Pesek. Penambahan atau penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk menambah nilai humor karena yang bersangkutan berprofesi sebagai lawak. Dengan penambahan nama itu diharapkan penampilan orang yang bersangkutan menjadi lebih humoris atau menimbulkan kesan lucu.

Nama diri ada yang mempunyai fungsi kerahasiaan. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi bahan pertimbangan sehingga nama asli orang tersebut dirahasiakan. Misalnya, di kalangan pengarang ada kiat untuk menarik konsumen dengan cara memajang nama samaran dalam karangannya. 

Penyamaran itu juga untuk memperlancar komunikasi dan menghindari kejenuhan sehingga ditemukan nama Any Asmara (aslinya Achmad Ngubaini Ranusastra Asmara), S. Miet atau Esmiet (aslinya Sasmita), Atnirah (aslinya Harinta), Liamsi (aslinya Ismail), Muryolelono (aslinya Doyosantoso) dan Any (aslinya Utomo D.S). Penyamaran dapat dilakukan pula dalam kalangan orang-orang yang mempunyai pekerjaan yang rendah, hina, misalnya sebagai pembantu rumah tangga (PRT), wanita tuna susila (WTS), dan penjahat. Orang-orang yang melakukan pekerjaan itu biasanya menggunakan nama samaran untuk menutupi jati dirinya. Misalnya, Tinem dan Kasiyem yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga mengganti namanya menjadi Titin dan Susi.  

Sementara itu Sumini dan Wariyati yang bekerja sebagai wanita tuna susila  memilih nama yang lain sama sekali, yakni Neti dan Fifi, sedangkan Supri dan Muji yang berprofesi sebagai pencopet, misalnya, mengganti namanya menjadi Gaplek dan Peyek. Penyamaran nama tersebut dimaksudkan untuk menyembunyikan diri karena malu terhadap profesi yang dijalaninya.

Ada pula nama diri yang berfungsi teknonimi, yakni penggunaan nama anak sulung oleh kedua orang tuanya (Kridalaksana, 1982). Dalam praktik komunikasi lisan, penggunaan nama anak itu kadang-kadang didahului dengan nama bapake ‘ayahnya’ atau ibune ‘ibunya’, misalnya Vani (nama ayah Ivan dan nama ibu Sujiani) dan Wita Jikan (nama ayah Witautama dan nama ibu Wijiati); serta nama anak yang langsung menggantikan nama orang tuanya, meskipun sudah amat jarang, misalnya Kamta (nama ayah Martasudira dan nama panggilannya Kamta) dan Tini (nama ayah Sugiya, nama ibu Prihatin yang dipanggil Tini).

Pada era modern sekarang, fungsi nama diri tersebut bergeser makin meluas. Fungsi sebagai identitas bergeser dari kata-kata bahasa daerah ke kata-kata bahasa asing, seperti Orchid ‘bunga anggrek’, Pricesa (dari Princes ‘putri’, Jasmine ‘bunga melati’, Angela ‘malaikat’, Hero ‘pahlawan’, Graceiella ‘anggun’, Admiral ‘komandan pasukan tempur’. Fungsi harapan yang diambil dari nama tokoh pahlawan nasional dan tokoh wayang atau cerita legenda ke pemain film, penyanyi, pemain olahraga, pemain sinetron, dan tokoh publik lainnya baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Tidak heran jika saat ini banyak orang Indonesia yang bernama seperti orang asing, misalnya Ronaldo, Ibrahim Movic, Rafsanjani, Zinedine Zidan, Messi, Maradona, Crivile. 

Perluasan fungsi nama tersebut memunculkan pandangan yang berbeda di masyarakat. Sebagian masyarakat memandang penggunaan nama asing itu sebagai sesuatu yang biasa dan membanggakan. Terutama masyarakat yang tinggal di perkotaan. Sementara masyarakat lainnya memandang sebaliknya bahwa penggunaan nama-nama asing itu terkesan unik, asing, sulit dilafalkan,  dan tidak mencerminkan karakter budaya nasional. Perbedaan pandangan tersebut merupakan suatu hal yang wajar dalam menyikapi perkembangan dan perubahan kehidupan sosial budaya di masyarakat.

Dr. Hadi Wardoyo, M.Pd. adalah dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Editor: Wadji.