How Far Can You Go?

“Horeee...andalan negeri sebelah kalah sama anak kecil. Malu-maluin! Rasaiiin! Ha ha ha…”

Aug 18, 2023 - 19:04
How Far Can You Go?

Penulis:

1  Dr. Teguh Sulistyo, M.Pd*

2. Dr. Saiful, S.Pd., M.Pd., M. Tesol**

“Horeee...andalan negeri sebelah kalah sama anak kecil. Malu-maluin! Rasaiiin! Ha ha ha…”

“Waduuuhhh...MD No 1 kita kalah mulu. Mending gak usah tanding. Habisin dana saja! Nyesel lihatnya!”

Netizen "badminton lovers", seperti biasanya, memberikan komentar positif dan negatif di medsos dan video live score. Dua komentar di atas hanyalah beberapa contoh kecil komentar negatif yang terasa pedas. Sepedas semangkuk mie  kocok dengan satu ons lombok. Kedua komen tersebut terasa pedas, namun masing-masing memberikan perspektif yang berbeda tentang kekalahan. Sehingga komentarnyapun sangat berbeda.

Komentar pertama jelas menunjukkan kegembiraan karena pesaing berat atlet kita telah menelan kekalahan. Mereka lebih bahagia karena ‘pahlawan hebat’ itu dikalahkan oleh atlet muda - periode transisi dari atlet yunior menuju kompetisi di tingkat senior.

Komentar kedua jelas menunjukkan kegusaran, kekecewaan, atau keputusasaan karena jagoan mereka kalah. Mereka sangat menuntut sang juara akan selalu menang. Sudah jelas, menurut mereka, bahwa MD (ganda putra) nomor satu dunia seharusnya menang. Mereka tidak mau tahu bagaimana sang jagoan bersimbah keringat di lapangan dan mengeluarkan segala kemampuan. Selain itu, sang jagoan yang kalah pasti sangat kecewa, tapi mereka berusaha tetap tegar.

Mereka mungkin menjadi frustasi atau tidak percaya diri karena kekecewaan. Namun sebagai atlet, mereka harus segera introspeksi diri dan berlatih lebih keras lagi. Mereka harus bangkit karena ada tugas lain yang harus mereka selesaikan di turnamen-turnamen berikutnya. Tetap saja, netizen tidak perduli. Kemenangan adalah harga mati. Seperti semboyan mereka “NKRI harga mati”.

Jika kita melihat komentar kedua, jelas ada banyak tuntutan dari netizen. "How far can you go?" adalah pertanyaan yang sering diajukan. Berprestasi disanjung, tetapi kalah dibuli. Karena netizen sering melihat "from zero to hero" atau "from hero to zero", ini mungkin hanya sementara. Baikan perputaran roda pedati-kadang di atas dan di lain waktu berada di bawah. Hal itu bergantung pada prestasi jagoan tepok bulu andalan mereka. 

Masih teringat dengan jelas ketika pasangan baru Indonesia menyeruak dan mengobrak abrik peta persaingan, pujian mengalir deras. Netizen merasa mendapat jagoan baru, apalagi ketika sang jagoan baru mampu mengalahkan beberapa pemain top ten dan menjadi juara di suatu turnamen berkategori kelas tinggi. Namun begitu akhir-akhir ini prestasinya merosot, mereka dengan gencar memberikan komentar yang negatif. Tapi itulah realita yang dilakukan netizen dan beban mental yang ditanggung atlet.

Sebenarnya, komentar pedas yang disebutkan di atas didasarkan pada rasa memiliki. Perasaan mencintai negara ini membuat kita berharap pebulutangkis kita terus berprestasi. Mengharumkan negeri ini di kancah internasional. Rasa bangga karena cabang olahraga bulutangkis selama ini menjadi pendulang keping-keping emas medali di turanamen-turnamen di tingkat internasional. Namun begitu kering prestasi, mereka terbawa dalam alam bawah sadar kekecewaan yang begitu mendalam. Hingga muncul komentar-komentar yang negatif. Bahkan cenderung sangat pedas!

Komentar negatif bernuansa pedas sudah lazim di media sosial atau media lainnya. Saat ini, di era internet, netizen dapat menulis, memuji, atau bahkan mencaci maki seseorang. Bagi mereka, etika kadang tidak mampu mengebiri kebebasan mereka untuk berbicara. Tidak peduli apa yang disampaikan, itu bisa positif atau negatif. Ada beberapa individu yang menikmati ‘blind spot’ nurani dengan komentar mereka.

Sebuah kritik harusnya dilakukan secara elegan dan bersifat konstruktif. Tapi apabila sudah mengarah pada perundungan atau menyakiti perasaan, maka bukan ide yang disampaikan, tetapi persekusi. Persekusi mengarah pada tindakan merendahkan orang lain dan ini berpeluang menimbulkan rasa ketidaknyamanan obyek yang dimaksud.

Tidak ada niat dalam tulisan ini untuk meminta pihak berwenang mengambil tindakan, terutama dalam ranah hukum. Sebagai pendidik, penulis merasa kondisi ini harus diperbaiki. Kita harus ikut mencegah, atau setidaknya meminimalisasi kritik yang pedas dan cenderung negatif. Sekarang sudah saatnya untuk memasukkan elemen etika ke dalam penggunaan media sosial di institusi pendidikan. Materi ini tidak perlu dibuatkan mata pelajaran khusus yang ujung-ujungnya akan menambah beban belajar siswa yang sudah dianggap gemuk. Tetapi disisipkan pada beberapa mata pelajaran yang sudah ada, misal pembelajaran bahasa, seni, sastra ataupun agama dan pancasila atau yang lainnya.

Sebagai orang tua, kita juga perlu membimbing anak-anak kita untuk menggunakan medsos dengan bijak. Tanamkan pada mereka arti etika dalam berekpresi di manapun juga, termasuk di medsos yang saat ini memberi netizen ruang kebebasan berbicara.

Secara jujur, penulis juga mengamati banyak komentar bijak dan positif di medsos. Namun tulisan singkat ini tidak bermaksud membandingkan keduanya. Kami hanya mengajak kita semua untuk membuat refleksi diri terkait hal-hal negatif yang bertebaran di medsos. Seharusnya “how far can you go?” tidak menjadi dasar utama memberikan komentar. Kita juga harus menghargai proses dan perjuangan orang lain, termasuk atlet bulutangkis mereka. 

Dalam jangka waktu dekat, kejuaraan dunia bulutangkis akan segera dimulai di Denmark. Tepatnya tanggal 21 sampai dengan 27 Agustus 2023. Mari kita dukung atlet-atlet kita yang berjuang demi kejayaan merah putih. Saya yakin mereka akan berjuang keras untuk memberikan bingkisan kado kemerdekaan Indonesia ke 78. Kado kemenangan dan medali juara. Aamiin ya robbal alamiin. Terima kasih.

*Penulis adalah Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial dan Humaniora Indonesia (PISHI).

** Penulis adalah dosen Bahasa Inggris Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Tulisan ini telah disunting oleh Dr. Mu’minin,M.A. Dosen Pascasarjana Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia STKIP PGRI Jombang dan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia.