Perdebatan Apakah Yesus Kulit Putih atau Bukan Kian Panas

Perdebatan mengenai warna kulit Yesus adalah salah satu perdebatan tertua dalam agama. Film-film Hollywood juga banyak menggambarkan Yesus sebagai orang berkulit putih.

Apr 2, 2024 - 17:35
Perdebatan Apakah Yesus Kulit Putih atau Bukan Kian Panas

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Berbagai lukisan kuno dengan sosok kulit berwarna dan kerasnya perbedaan politik menghidupkan kembali perdebatan soal citra lawas Yesus Kristus sebagai pria berkulit putih.

Salah satu penggambaran klasik soal sosok Yesus ada di lukisan karya maestro Leonardo Da Vinci bertajuk The Last Supper atau Perjamuan Terakhir. Dalam lukisan itu, Yesus digambarkan sebagai seorang pria berkulit putih, berjanggut dan berambut panjang sebahu.

Perdebatan mengenai warna kulit Yesus adalah salah satu perdebatan tertua dalam agama. Film-film Hollywood juga banyak menggambarkan Yesus sebagai orang berkulit putih.

Namun, gambaran berbeda tampil di banyak lukisan kuno dan gerakan politik keagamaan.

Christena Cleveland, teolog dan psikolog sosial dan juga penulis buku 'God Is a Black Woman', yang menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di sebuah gereja evangelis, mengaku pernah terkesiap saat melihat lukisan Yesus Kristus.

Dalam lukisan itu, Yesus yang bangkit dikelilingi oleh murid-muridnya yang terpesona, termasuk 'Tomas yang Meragukan' yang menyentuh luka di tubuh Kristus.

Lukisan itu tampak seperti peninggalan kuno yang ditemukan di biara gurun yang telah lama terlupakan di Tanah Suci, sebuah lukisan dinding bergaya Bizantium yang dipenuhi sosok-sosok berkontur tajam, penuh dengan warna biru tua dan oranye darah.

Tapi ada warna lain dalam gambar itu yang menarik perhatiannya. Yesus digambarkan sebagai pria kulit berwarna, antara coklat dan hitam, dan begitu pula murid-muridnya.

Cleveland menyadari bahwa dia selalu membayangkan Yesus berpenampilan Nordik yang mirip Thor. Kini, dia menyadari bahwa dia lebih mirip dengannya, seorang wanita kulit hitam.

Bagi Cleveland, perubahan warna kulit Yesus mengubah cara dia memandang makna Paskah.

"Ketika saya melihat kisah Paskah, saya melihat Yesus menjadi korban kekerasan yang direstui negara. Saya melihat Yesus dikelilingi oleh orang-orang berkulit hitam dan coklat yang berharap mereka dapat melakukan sesuatu, namun tidak memiliki kekuatan pada saat itu," kata Cleveland, melansir CNN.

"Dan saya melihat orang-orang menjadi korban dari sistem yang tidak bisa melihat sisi kemanusiaan mereka secara utuh dan menganggap sisi terburuk dari mereka. Namun pada akhirnya masih ada harapan," katanya.

"Alam semesta memang condong ke arah keadilan, meskipun alurnya panjang," ucap Cleveland.

Banyak ilmuwan dan arkeolog kini sepakat bahwa Yesus kemungkinan besar adalah seorang pria berkulit coklat dan bermata coklat, lebih mirip dengan Yahudi Timur Tengah atau pria Arab.

Teolog kulit hitam seperti Pendeta Albert Cleage menggambarkan Yesus sebagai orang kulit berwarna dan seorang revolusioner.

Selama peristiwa rasial George Floyd pada tahun 2020, beberapa aktivis menyerukan agar patung-patung yang menggambarkan Yesus Kulit Putih dirobohkan bersama dengan monumen-monumen Konfederasi.

Pendeta Dante Stewart mengatakan, dalam sebuah esai yang berjudul, 'How I Learned that Jesus is Black', pemikiran soal Yesus berkulit hitam ini merupakan gambaran penentangan terhadap kaum kulit hitam di puncak hierarki sosial. 

"Saya melihat mengapa mereka bersikeras mengatakan bahwa Yesus berkulit hitam," kata dia.

"Mereka tidak berbicara tentang warna kulit-Nya selama pelayanan-Nya di dunia, meskipun jelas bukan kulit putih," kata Stewart.

"Mereka berbicara tentang pengalamannya, tentang bagaimana Yesus tahu apa artinya hidup di wilayah yang dijajah, tahu apa artinya menjadi bagian dari orang-orang yang tertindas."

Christena Cleveland menyadari risiko mempertanyakan citra Yesus berkulit putih.

Dia mengaku mendapat banyak ancaman pembunuhan setelah menulis di kolomnya mengenai warna kulit Yesus. Dia mengatakan bahwa pengalaman tersebut mengajarkannya betapa nasionalisme Kristen kulit putih dan Yesus kulit putih telah menyatu.

"Mengapa penting bagi Anda bahwa Yesus tidak berkulit putih - kecuali jika Anda membutuhkan Yesus berkulit putih?" katanya.

Motif perdebatan

Pertanyaan mengenai warna kulit Yesus memang menjadi pertanyaan serius pada Paskah ini setidaknya karena dua alasan.

Pertama, walau citra Yesus Nordik klasik tetap menjadi gambar populer saat ini di beberapa gereja, gerakan untuk menggantikan Yesus putih ini telah lama mengakar di Amerika.

Di banyak kalangan Kristen, yakni gereja-gereja arus utama yang progresif, gereja-gereja kulit berwarna yang dibentuk oleh teologi pembebasan, dan di kalangan sarjana Alkitab, pertunjukan Yesus putih yang mencolok dianggap ketinggalan jaman, dan bagi sebagian orang, menyinggung.

Di Amerika yang multikultural dan terdiversifikasi dengan cepat, semakin banyak orang Kristen yang ingin melihat Yesus yang serupa dengan mereka.

Sebaliknya, di beberapa negara bagian, penyebaran nasionalisme Kristen kulit putih telah membanjiri media sosial dengan gambar Yesus kulit putih tradisional, terkadang dihiasi dengan topi kampanye mantan Presiden AS Donald Trump 'Make America Great Again' (MAGA) merah.

Mantan Presiden Trump menjual 'God Bless the USA Bible' yang memuat ayat-ayat dari Konstitusi dan Bill of Rights (Deklarasi Hak Asasi Manusia) - yang menghubungkan patriotisme dengan agama Kristen yang memperkuat citra Yesus berkulit putih yang merupakan inti dari nasionalisme Kristen.

Kedua, ada perdebatan baru tentang identitas Yesus dalam sejarah. Beberapa pengkritik perang Israel-Hamas menyatakan bahwa Yesus adalah seorang 'Yahudi Palestina'.

Beberapa orang Kristen tak risau setiap kali mereka ditanyai tentang penampakan Yesus. Mereka mengatakan kisah Paskah tidak ada hubungannya dengan warna dan pesan Yesus.

Mereka mengutip kitab suci seperti Galatia 3:28, 29: ("Tidak ada orang Yahudi atau orang bukan Yahudi, tidak ada budak atau orang merdeka, tidak ada laki-laki dan perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.")

"Apakah Yesus digambarkan dalam karya seni kontemporer dan ikon sebagai orang kulit putih, hitam, coklat, Hispanik atau Timur Tengah, seharusnya tidak menjadi masalah, karena fisik Yesus hanyalah sebuah wadah yang digunakan untuk membawa sesuatu yang jauh lebih penting, yaitu roh ayahnya; Tuhan," tulis Antony Pinol dalam sebuah kolom yang berjudul, 'Why Jesus' Skin Color Doesn't Matter'.

Menurutnya, ketika orang menjadi terlalu fokus pada karakteristik fisik Yesus, mereka menjadi lebih sulit untuk mengembangkan hubungan yang lebih dalam dengan Tuhan. Baginya, warna kulit Yesus tidak membuat perbedaan.

"Hal itu tidak secara fundamental mengubah apa yang dia perjuangkan dan jenis pesan yang menjadi inti dari kekristenan dan apa yang Yesus perjuangkan dalam hidup dan tindakannya," kata Pinol.

"Dia bisa menjadi warna apa pun dan itu tidak akan mengubah pesannya."

Christina L. Barr, pendeta dan penulis yang pernah bekerja di bidang politik Partai Republik, mengatakan semua orang berdosa dan Yesus mati untuk mereka semua, tanpa memandang warna kulit mereka.

"Surga tidak eksklusif untuk orang kaya atau berkulit putih. Tangan Tuhan terulur untuk semua orang," ujar dia, mengutip CNN, Senin (1/4).

Dalam sebuah kolom di Black Tea News, ia membayangkan jika Yesus kembali ke Amerika kontemporer sebagai seorang pria kulit hitam.

Akan ada kegembiraan awal di antara beberapa orang sampai Yesus mulai berkhotbah tentang meninggalkan amoralitas seksual dan keserakahan, katanya.

"Pada saat dia menyinggung para penyedia layanan aborsi dengan mengatakan bahwa Tuhan membenci tangan-tangan yang menumpahkan darah orang tak berdosa dan menegur orang Amerika atas ketamakan kita, dia akan disebut sebagai orang yang fanatik dan dibatalkan," urai dia, menyindir kebijakan pro-aborsi Partai Demokrat AS.

Masih misteri

Terlepas dari perdebatan itu, kitab suci sendiri tak menjelaskan mengenai warna kulit Yesus.

Salah satu elemen yang menarik dari Perjanjian Baru adalah bahwa bahkan para murid Yesus pun tidak tahu seperti apa rupa Yesus dalam kisah-kisah Paskah.

Seorang murid mengira Yesus seorang tukang kebun, dua murid lainnya berjalan di sampingnya di jalan tanpa mengenalinya, dan murid-murid yang lain tidak mengenalinya pada awalnya ketika mereka bertemu dengannya di pantai.

Penulis Frederick Buechner pernah mencobanya, dengan penuh kenangan menggambarkan mereka bertemu dengan "suatu versi yang baru dan mengerikan" dari Yesus, "yang cacat akibat mutilasi Salib" sambil berdiri dan bergerak ke arah mereka dengan "kekuatan yang tak terkatakan."(han)