Pejabat Pengembangan Senjata Nuklir China Diganti! Ada Apa?
Dilansir South China Morning Post (SCMP), seorang analis pertahanan China menyebut militer Beijing tengah memfokuskan program nuklirnya pada kualitas daripada kuantitas dalam hal hulu ledak.
NUSADAILY.COM – BEIJING – Presiden China Xi Jinping menunjuk Wang Houbin sebagai Kepala Pasukan Roket PLA, yang bertugas mengawasi pengembangan nuklir dan rudal konvensional Beijing.
Wang menggantikan Li Yuchao, yang tidak disebutkan dipindahkan ke mana maupun di mana keberadaannya. Muncul spekulasi bahwa pencopotan Li diduga karena dirinya tengah diselidiki terkait masalah politik.
Dilansir South China Morning Post (SCMP), seorang analis pertahanan China menyebut militer Beijing tengah memfokuskan program nuklirnya pada kualitas daripada kuantitas dalam hal hulu ledak.
Penilaian tersebut berdasarkan rilis buku putih Kementerian Pertahanan Jepang yang dirilis pekan lalu. Laporan itu menyebut China dapat melipatgandakan persenjataannya menjadi 1.500 hulu ledak pada 2035.
Ini senada dengan prediksi Kementerian Pertahan Amerika Serikat alias Pentagon pada Oktober lalu.
"China secara ekstensif dan cepat meningkatkan kemampuan militernya secara kualitatif dan kuantitatif, dengan fokus kepada angkatan laut dan udaranya serta kekuatan nuklir dan misilnya," demikian tertulis dalam buku putih Kemhan Jepang.
Tokyo memperkirakan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) memiliki 350 hulu ledak nuklir pada tahun lalu.
Sementara laporan Federasi Proyek Informasi Nuklir Ilmuwan Amerika memperkirakan Beijing punya sekitar 410 hulu ledak nuklir, bahkan lebih banyak lagi dalam hal produksi.
Kendati begitu, Zhou Chenming, peneliti di think tank sains dan teknologi Yuan Wang di Beijing, menilai China sedang "memaksimalkan pencegahan nuklir", jika mempertimbangkan kebijakan nasional mereka.
Pencegahan nuklir ini mengacu pada persiapan untuk menggunakan senjata nuklir sebagai cara mencegah musuh meluncurkan serangan nuklir terlebih dahulu.
Zhou mengatakan sejak 1950-an, Beijing sudah menginvestasikan "sumber daya yang luar biasa" dalam memaksimalkan pencegahan nuklir ini, salah satunya dalam hal teknologi serangan yang tepat, kemampuan penetrasi, serta kemampuan penghancuran.
Dia menambahkan China sudah berjanji untuk mempertahankan kebijakan "tidak menggunakan lebih dulu" dari yang lain, dan bahwa hulu ledak nuklirnya yang ada cukup untuk mencapai 90 persen pusat-pusat industri pertahanan utama dan perusahaan utama di barat daya AS.
Zhou mengatakan prediksi Jepang tentang 350 hulu ledak Beijing mengacu pada senjata nuklir siap pakai yang dapat dipasang pada badan rudal balistik antarbenua (ICBM). Ini memberi China kemampuan menyerang jarak jauh untuk melancarkannya di mana saja di AS.
Song Zhongping, mantan instruktur PLA, mengatakan strategi Tiongkok sama sekali berbeda dengan Barat. Barat, kata dia, memandang bahwa Barat punya banyak hulu ledak sebagai kekuatan, sementara China fokus pada kualitas selain kuantitas.
Presiden China Xi Jinping, dalam laporan kerjanya selama kongres nasional Partai Komunis tahun lalu, sudah mencanangkan tujuan Beijing yakni "membangun sistem pencegahan strategis yang kuat" selama lima tahun ke depan.
Rencananya ini banyak dianggap sebagai rujukan untuk meningkatkan persenjataan dan teknologi nuklir Beijing.
Seiring dengan ini, Song menuturkan peningkatan pengembangan nuklir China tak akan sama dengan yang dilakukan negara-negara seperti AS dan Rusia selama Perang Dingin.
"Tidak berarti China bakal mengikuti rekan-rekan AS dan Rusia untuk meningkatkan hulu ledak nuklirnya seperti yang dibayangkan dunia luar," ucap Song.
"Apa yang dikhawatirkan Jepang dan AS adalah apakah China bakal mengikuti Washington untuk mengembangkan senjata nuklir berkekuatan rendah sebagai tindakan balasan untuk menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh Amerika," ujarnya.
Menurut perkiraan Stockholm International Peace Research Institute, Rusia memiliki 5.977 hulu ledak nuklir sementara AS punya 5.428 senjata yang sama.
Sementara itu, hulu ledak nuklir berkekuatan rendah adalah senjata yang biasa digunakan untuk serangan presisi, bukan bertujuan menyebabkan banyak korban.
Pada 2021, Kantor Anggaran Kongres AS memperkirakan Washington bakal menghabiskan USD634 miliar (setara Rp9,5 kuadriliun) selama 10 tahun berikutnya demi meningkatkan persenjataan nuklir. Jumlah ini naik 28 persen dari proyeksi 10 tahun sebelumnya.
Dana ini termasuk untuk pengembangan hulu ledak nuklir berkekuatan rendah W76-2 baru untuk rudal balistik yang diluncurkan kapal selam serta pengembangan rudal jelajah nuklir yang diluncurkan kapal selam.
Sementara itu, laporan Pentagon menyebut PLA kemungkinan bakal mengembangkan rudal balistik menengah DF-26 untuk menerjunkan hulu ledak berkekuatan rendah dalam waktu dekat.
Rudal DF-26 punya jangkauan 4.000 kilometer dan dapat digunakan dalam serangan nuklir maupun konvensional terhadap target darat dan laut, seperti misalnya pangkalan angkatan laut AS di Guam.
Zhou dan Song sepakat ada kemungkinan PLA menggunakan rudal DF-26 sebagai platform untuk senjata nuklir taktis. Namun mereka menekankan bahwa Beijing hanya akan melakukan itu jika diserang lebih dahulu.
"China masih berpegang teguh pada kebijakan 'tidak menggunakan lebih dahulu' senjata nuklir termasuk bom nuklir taktis," kata Song.
Ia melanjutkan, "Namun, PLA pasti akan menyerang balik sebagai pembalasan jika AS berani menggunakannya untuk melawan militer China."(han)