Mewaspadai Virus COSPLAY dalam Medsos

Oleh M. Mudlofar

Aug 10, 2023 - 02:21
Mewaspadai Virus COSPLAY dalam Medsos

Medsos adalah wadah dalam dunia maya yang dapat menampung aktivitas manusia dalam berbagai versinya. Aktivitas itu tidak berbatas sehingga terkadang sulit dicerna dari mana asalnya, apa tujuannya, dan bagaimana peran serta fungsinya. Laksana pisau ia bermata dua, tajam ke atas dan tajam juga ke bawah. Karena itu, kita harus hati-hati dalam menggunakannya.

Kemajuan medsos tersebut ditunjang pula dengan kecanggihan teknologi internet. Dengan internet, medsos seolah-olah semakin tidak dapat dikendalikan keberadaannya. Bahkan medsos dan internet kemudian telah menjelma menjadi makhluk baru yang liar namun justru menjadi penanda mendongkraknya budaya manusia. Lahirlah aplikasi-aplikasi di medsos berbasis internet yang ditelorkan oleh kaum intelektual sebagai bukti intelektualitasnya. Pada gilirannya, seolah manusia tidak bisa hidup tanpa medsos dan internet.

Pada sisi lain, manusia tertakdir sebagai makhluk yang berbudaya. Siapa pun, di mana pun, dan kapan pun ia akan senantiasa berusaha untuk menciptakan sesuatu yang baru sebagai bukti eksistensinya. Kepemilikan hasrat akan cipta, karsa, dan rasa yang bersemayam pada dirinya terdorong untuk melahirkan produk-produk yang mesti dimunculkan. Tujuannya, terkesan mulia yaitu untuk lebih mempermudah, memperindah, dan bahkan menyempunakan aktivitas kehidupannya.

Salah satu bentuk budaya yang lahir karena kecanggihan medsos dan internet ialah budaya cosplayCosplay merupakan akronim kata “costum” dan “player yakni sebuah gaya atau trend berpakaian yang menirukan karakter fiksi pada film animasi yang berasal dari Jepang. Animasi itu tersebar luas melalui medsos yang menyasar pada pengemarnya, yaitu anak-anak dan kaum muda. Awalnya memang hanya tertarik pada animasinya, namun belakangan para penggemar itu terbius pula pada  pakaian dan aksesoris yang dikenakan oleh tokoh animasi itu.

Karena itu, muncullah cosplayer-cosplayer yang terdiri anak-anak dan kaum muda yang ditandai dengan  penggunaan kostum layaknya berbagai macam karakter yang ada dalam film animasi, game, atau komik Jepang itu. Cosplay pertama kali muncul di kota Harajuku, Jepang pada tahun 1964 bertepatan dengan kegiatan olimpiade musim panas. Awalnya, cosplay merupakan sebuah bentuk penyaluran hobi demi kesenangan pribadi semata untuk memamerkan kostum yang berkarakter unik. Hal itu dilakukan sebagai sebuah bentuk perlawanan anak-anak muda Jepang terhadap aturan berpakaian yang dirasa kaku dan kuno.

Dengan munculnya cosplayer- cosplayer itu maka menjamurlah trend cosplay pada anak muda di Jepang pada saat itu. Motivasinya ialah ekspresi diri sambil mencari identitas sesuai karakter animasi itu.  Kondisi itu semula memang hanya bertumbuh di Jepang, akan tetapi kemudian berkembang serta populer pula di berbagai negara; Amerika Serikat, Singapura, Korea Selatan, Thailand, dan tak terkecuali Indonesia. Secara spesifik di Indonesia cosplayer dan trend aksesoris cosplay itu menjamur di berbagai kota besar; Medan, Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, dan kota-kota besar lainnya.

Cosplayer-cosplayer umumnya mengidentifikasi diri meraka masing-masing dengan sebutan nama karakter-karakter fiksi animasi itu. Mereka berpenampilan dengan menggunakan pakaian dan aksesoris yang sama seperti tokoh atau karakter yang menjadi idolanya. Tidak hanya itu. Cosplayer juga berusaha meniru adegan adegan atau gerakan-gerakan karakter yang di perankan tokoh fiksi. Hal itu mereka lakukan guna memperoleh penampilan semirip-miripnya dengan tokoh fiksi demi mendapatkan pengakuan masyarakat luas atas eksistensinya. Seiring berjalannya waktu, keadaan tersebut mendorong munculnya komunitas cosplayer di mana-mana. Bermunculanlah generasi-genarasi yang pikiran dan perilakuknya terobsesi oleh makhluk fiktif buatan Jepang.

Dalam norma ketimuran fenomena demikian disebut dengan perilaku tasyabbuh yakni perbuatan meniru budaya atau tradisi milik bangsa lain yang bisa jadi tidak selaras dengan budaya bangsa sendiri. Secara konseptual, tasyabbuh itu boleh selama objek yang ditiru itu memiliki banyak nilai guna dan jauh dari dampak negatifnya. Akan tetapi, apabila objek yang ditiru itu, termasuk budaya cosplay, ditengarahi banyak mengandung unsur mudharat-nya maka semestinya kita mewaspadai dan bahkan harus menolaknya.

Sebenarnya, fenomena cosplay dengan cosplayer-nya itu boleh-boleh saja.  Sepanjang ada sistem filtering agar mereka tidak terjebak pada arus digital yang sangat dimungkinkan tersebarnya gaya hidup yang jauh dari norma dan etika. Sebagai bangsa Indonesia maka yang dibutuhkan adalah sebuah filter yang cocok untuk menjaga norma dan etika budaya ketimuran bangsa.

Filter itu telah kita punya yaitu Pancasila disertai nilai, norma, dan adat ketimurannya. Jangan lupakan ia agar kita memiliki jati diri sebagai bangsa. Bulan Agustus 2023 ini laik kita jadikan momentum untuk mengingat dan mengamalkan nilai-nilainya agar Pancasila tidak hanya sebagai jargon semata. Semoga! (****)

 

M. Mudlofar adalah dosen Universitas Qomaruddin Gresik dan anggota Dewan Penasihat Perkumpulan Sosial Humarniora Indonesia (PISHI).