Menyingkap Tabir Identitas Nasional Bangsa Indonesia

Kata “identitas” berarti ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain.

Apr 6, 2024 - 06:19
Menyingkap Tabir Identitas Nasional Bangsa Indonesia
Dr. Drs. Supriatnoko, M. Hum.

Oleh: Dr. Drs. Supriatnoko, M. Hum.

 Kata “identitas” berarti ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Dalam terminologi antropologi, identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri, komunitas sendiri, atau negara sendiri. Sedangkan kata “nasional” menunjukkan kata sifat, ruang lingkup, bentuk yang berasal dari kata nation, yang berarti bangsa yang telah mengidentikan diri dalam kehidupan bernegara dan menegara, atau secara singkat dapat dikatakan sebagai suatu bangsa yang telah menegara.

Dalam konteks keindonesiaan, identitas nasional merupakan manifestasi nilai-nilai dasar yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia, yang mempribadi dalam masyarakat, dan merupakan suatu living reality. Nilai-nilai dasar tersebut kemudian diformulasikan ke dalam prinsip dasar dan diberi nama Pancasila. Dengan demikian, membuka tabir identitas nasional bangsa Indonesia berarti kita membedah Pancasila.

Secara konsep, ada dua unsur yang harus dipahami ketika berbicara Pancasila, yaitu prinsip dasar dan nilai dasar. Di setiap prinsip dasar terkandung nilai-nilai dasar. Pancasila memiliki 5 sila yang menjadi prinsip dasar, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Prinsip dasar ketuhanan terkandung di dalamnya nilai keimanan dan ketakwaan, Di dalam prinsip dasar kemanusiaan terkandung nilai keadilan dan keberadaban, Di dalam prinsip dasar persatuan terkandung nilai persatuan dan kesatuan. Di dalam prinsip dasar kerakyatan terkandung nilai mufakat. Di dalam prinsip dasar keadilan sosial terkandung nilai kesejahteraan.

Di mana prinsip dasar dan nilai dasar tersebut hadir? Prinsip dasar dan nilai dasar hadir dan melekat pada diri setiap manusia Indonesia sebagai bangsa yang telah menegara. Bangsa Indonesia, secara kolektif, ingin mewujudkan cita-cita bersama, yaitu masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Pada pemahaman ini, Pancasila merupakan identitas fundamental yang nilai dasarnya berada di setiap batin, hati, kalbu setiap individu bangsa Indonesia.

The founding fathers kita menegaskan bahwa Pancasila merupakan falsafah bangsa, kepribadian bangsa, dan pandangan hidup bangsa. Pancasila digali dari bumi Indonesia, dibentuk dari perilaku suku bangsa yang mendasarkan pada nilai dasar agama dan nilai budaya. Nilai-nilai ini kemudian dititipkan kepada manusia yang menjadi bangsa Indonesia: generasi sekarang, dan masa depan.

Unsur pembentuk lainnya adalah wilayah geografi Indonesia dan bahasa Indonesia. Merujuk pada pemahaman Pancasila sebagai identitas fundamental bangsa yang dibentuk dari unsur suku bangsa, agama, budaya, wilayah geografi, dan bahasa Indonesia, maka suka tidak suka, mau tidak mau, manusia yang menjadi bangsa Indonesia adalah wujud dari identitas nasional bangsa Indonesia.

Pada diri setiap bangsa Indonesia mengemban misi untuk menunjukkan perilaku atau kepribadian yang dapat diamati. Di sini esensi pentingnya prinsip dasar dan nilai dasar ketuhanan berupa keimanan dan ketakwaan serta nilai budaya yang secara kolektif dimiliki bersama seperti toleransi, tenggang rasa, kekeluargaan, musyawarah, gotong royong dan berpikir kritis secara berkelanjutan ditunjukkan dan dipraktikkan di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, dan di lembaga pemerintahan.

 

Apabila dicermati lebih jauh perihal rasa kebangsaan, rasa cinta tanah air dan rasa bela bangsa dari generasi pejuang kemerdekaan sampai generasi sekarang (gen zet) tampak mengalami penurunan yang tajam. Perasaan bangga sebagai bangsa Indonesia pun tampak semu. Tentu banyak faktor pemicunya. Gencarnya sekulerisme yang masuk di bidang sosial budaya, kapitalisme yang masuk di bidang ekonomi, liberalisme yang masuk di bidang ideologi dan politik merontokkan eksistensi diri sebagai bangsa Indonesia yang beridentitas Pancasila.

Keadaan ini diperburuk oleh pengkondisian dalam negeri di bidang Pendidikan. Materi Pancasila diajarkan sebatas pengetahuan, teladan pada interaksi dan komunikasi interpersonal tidak menjadi petunjuk. Mata pelajaran sejarah kebangsaan lenyap dari kurikulum dan mata pelajaran agama cenderung kognitif mengajarkan pengetahuan. Semua ini terjadi karena manusia Indonesia merasa bangga atas nilai dasar Pancasila dalam dirinya tetapi lupa bahwa dirinya. Bangsa Indonesia adalah subjek yang mengemban misi melanjutkan amanat untuk mengamalkan nilai dasar Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan secara kolektif untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya.

Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya adalah konsep yang menekankan pada pengembangan seluruh aspek kehidupan manusia di Indonesia, baik fisik, intelektual, spiritual, emosional, dan sosial. Konsep ini tidak hanya upaya untuk menyejahterahkan manusianya, tetapi juga membangun kepribadian manusianya berdasarkan Pancasila. Pada tataran ini kita lalai untuk membangun kepribadian manusianya.

Apabila kita membuka lembaran sejarah kebangsaan maka akan ditemukan amanat membangun manusia Indonesia seutuhnya pada Kongres Pemuda ke-2 yang diselenggarakan pada 28 Oktober 1928. Temuan itu bukan pada Ikrar Sumpah Pemuda tetapi tertulis pada lagu “Indonesia Raya”. Lagu ini pertama kali dikumandangkan di kongres tersebut dan disebarluaskan oleh koran Sin Po pada edisi bulan November 1928.

Syair pada lagu tersebut dengan jelas menegaskan “Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”. Inilah sumber amanat yang dilahirkan oleh para tokoh pergerakan kemerdekaan. Setelah bangsa Indonesia menegara, pemerintah menetapkan lagu tersebut sebagai “Lagu Kebangsaan Indonesia Raya”, melalui PP No. 44 Tahun 1958 sehingga Lagu kebangsaan Indonesia Raya berkekuatan hukum.

Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya merupakan tujuan dari Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, pada pernyataan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Merujuk pada alinea 4 pembukaan itu, ditegaskan pada Batang Tubuh UUD 1945 Pasal 31 menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Sebagai perintah konstitusi, lahirlah Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Pasal 1). Jelaslah bahwa pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berprinsip dasar ketuhanan dan bernilai keimanan dan ketakwaan harus lebih dahulu dilaksanakan melalui jalur Pendidikan fomal, informal dan nonformal.

Oleh karena itu, selama Pancasila menjadi falsafah bangsa, kepribadian bangsa, pandangan hidup bangsa, dasar negara dan ideologi bangsa, berpegang pada prinsip dasar ketuhanan, tidak ada alasan Pendidikan Agama harus dikurangi porsi jam pelajarannya atau bahkan dihapuskan dari kurikulum sekolah dan kemudian bersandar hanya pada kebudayaan. Jika ini dipaksakan, kebudayaan mana yang menjadi sandarannya? Apakah kebudayaan etnis tertentu atau kebudayaan milik bangsa asing? Mari kita renungkan dan berpikir untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya guna kelangsungan hidup bangsa yang berkepribadian Indonesia beridentitas Pancasila.

 

 

*Dr. Drs. Supriatnoko, M. Hum., adalah dosen Politeknik Negeri Jakarta dan anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

Artikel ini telah disunting oleh Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum., dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).