Pudarnya Mutiara Bangsa

Dulu orang tua sering bercerita bahwa Indonesia merupakan negara yang subur dan makmur. Apa pun yang ditanam dapat tumbuh subur. Begitu suburnya negeri ini sampai diibaratkan tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.

Feb 17, 2024 - 19:40
Pudarnya Mutiara Bangsa
Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum.

 Oleh: Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum.

  Dulu orang tua sering bercerita bahwa Indonesia merupakan negara yang subur dan makmur. Apa pun yang ditanam dapat tumbuh subur. Begitu suburnya negeri ini sampai diibaratkan tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Selain tanahnya yang subur, masyarakatnya pun dikenal sangat ramah, sopan, santun, dan saling menghormati. Gotong royong merupakan salah satu budaya bangsa Indonesia pada bentuk kerjasama dalam melaksanakan pekerjaan baik untuk kepentingan bersama maupun individu tanpa imbalan.

Indonesia terkenal dengan bangsa yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, dan norma yang berlaku di masyarakat.  Bangsa ini juga dikenal dengan tutur sapanya yang lemah lembut dan penuh penghormatan. Mereka tak segan-segannya untuk mengatakan kata “maaf”, meskipun tidak melakukan kesalahan. Mereka juga selalu mengucapkan kata “terima kasih” apabila diberi, meskipun itu merupakan haknya.  Mereka pula selalu mengucapkan kata “tolong” apabila mereka meminta suatu bantuan. Itu dulu…, sekarang? 

Hilangnya kata maaf, terima kasih, dan tolong.

Tiga kata, maaf, terima kasih, dan tolong, lambat laun memudar dan nyaris sirna. Banyak orang tidak segan-segannya untuk mengumpat pada orang lain hanya karena hal sepele. Banyak kita saksikan di media sosial perilaku orang yang melakukan suatu kesalahan. Misalnya seseorang melaju melawan arah, bila ditegur bukannya meminta maaf, tetapi malah sebaliknya. Dia marah-marah pada orang yang menegurnya, bahkan tak jarang melemparkan makian sampai bermain fisik. Begitu juga dengan kasus orang yang memunyai hutang ketika ditagih bukannya membayar, tetapi malah marah-marah dan lebih galak dari penagihnya. Ini dapat dikatakan betapa mahalnya kata “maaf” dari seseorang apa lagi bila diikuti dengan rasa penyesalan. 

Peribahasa “Hutang emas dapat dibayar,  hutang budi dibawa mati” yang artinya lebih baik berhutang barang daripada berhutang budi karena hutang budi pada seseorang sulit sekali untuk membayarnya. Ini menunjukkan bahwa makna ucapan “terima kasih” sangatlah dalam, terutama bila sudah menyangkut dengan budi atau perlakuan baik orang lain kepada kita. Namun, tidak sedikit orang yang sudah ditolong malah memanfaatkan orang yang menolongnya, dengan slogan konyolnya “kapan lagi bisa memanfaatkan”.  Tidak sedikit pula orang yang ditolong malah membalas dengan perlakuan atau perkataan yang menyakitkan bagi si penolong, parahnya malah fitnah yang didapatkan.

Hal ini juga terjadi pada kata “tolong” saat seseorang memerintah atau meminta pertolongan dari orang lain. Acapkali orang yang meminta pertolongan dengan entengnya memerintah orang lain untuk menolongnya, terutama dari seorang atasan kepada bawahan. Lebih parah lagi, sudah memerintah dengan seenaknya, setelah ditolong bukannya mengucapkan terima kasih, malah mengumpat atau memarahinya. Makanya banyak kasus kekerasan bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh bawahan pada atasannya, atau pekerja pada majikannya. Sungguh miris sekali. 

Etika, nilai, moral,  dan norma

Belakangan viral ucapan seorang tokoh nasional dengan ucapan “ndasmu etika”. Ucapan itu dilontarkan sebagai umpatan untuk lawan politiknya di acara kampanye pilpres sehari setelah acara debat capres. Lalu, apa sebenarnya etika itu?

Menurut Aristoteles, seorang filsuf Yunani, pengertian etika adalah kebaikan, yakni semua aktivitas yang memiliki tujuan untuk mengejar kebaikan. Aristoteles membagi etika menjadi dua macam, yaitu terminius technicus dan manner and custom. terminius technicus, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang memelajari problema tingkah laku atau perbuatan manusia sedangkan manner and custom merupakan pengajian etika yang berkaitan dengan tata cara dan adat yang melekat dalam kodrat manusia (inherent in human nature) serta terkait dengan baik dan buruknya tingkah laku atau perbuatan manusia.  

Menurut Wibowo, etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap serta pola perilaku hidup manusia sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Tampak jelas bahwa ketika kita bicara etika mau tidak mau juga bicara tentang nilai, norma, dan moral.

Menurut Koentjaraningrat, nilai adalah pedoman hidup manusia yang berfungsi untuk dikembangkan dalam menjaga kesetabilan lingkungan sosial yang ada di dalam dirinya dan kelompok masyarakat. Secara umum nilai ada dua jenis, yaitu nilai baik dan nilai buruk. Ada beberapa macam nilai, antara lain dalam masyarakat, nilai moral, nilai sosial, nilai hikum, dan nilai agama.

Menurut Al-Ghazali, moral atau akhlak adalah watak atau tabiat yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya. Oleh karena itu, moral dapat dikatakan sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup manusia berdasarkan pada aturan dalam masyarakat, pandangan hidup atau agama tertentu, dan kesadaran untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.

Widjaja mengungkapkan bahwa norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam hidup sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu dengan disertai sanksi. Sanksi adalah ancaman/akibat yang akan diterima apabila norma tidak dilakukan. Secara garis besar, norma dibedakan menjadi norma umum dan norma khusus. Norma umum meliputi norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, norma hukum, dan lain-lain sedangkan norma khusus seperti aturan permainan, tata tertib sekolah, tata tertib pengunjung tempat bersejarah dan sebagainya.  

Societal Normative Systems

Societal normative systems merupakan sistem nilai normatif yang berlaku dalam masyarakat. Sistem nilai normatif ini meliputi nilai etika, moral, dan hukum. Ketiga nilai dalam sistem ini sangat berkaitan satu sama lainnya, contoh pelanggaran. Pelanggaran adalah perbuatan yang melawan hukum yang hanya dapat ditentukan setelah ada hukum undang-undang yang mengaturnya. Misalnya, dalam suatu rapat RT ada salah satu warga yang hadir tidak memakai baju. Secara hukum, dia tidak melanggar karena belum ada undang-undang yang mengatur tentang memakai baju dalam rapat RT tersebut. Namun, secara etika dia telah melanggar etika dan moral. Sementara di lain tempat, ada orang yang berkendara secara ugal-ugalan dan melawan arus yang akhirnya menabrak pengendara yang lain. Orang tersebut telah melanggar undang-undang dan etika dalam berlalu lintas.

Dengan kata lain, orang yang melakukan pelanggaran etika  belum tentu melanggar hukum, tetapi orang yang melanggar hukum pasti melanggar etika. Hukum  yang baik adalah hukum yang tidak mengabaikan etika dan moral.  Pepatah lama Romawi menyatakan quid leges sine moribus?, yang artinya kurang lebih Apa artinya undang-undang  jika tidak disertai dengan moralitas?”

 

Ini menunjukkan betapa pentingnya nilai moral dalam menegakkan hukum. Oleh karena itu, seyogyanya kita tidak hitam putih dalam memandang hukum. Kita harus  bijak dalam bertindak, jangan karena belum ada undang-undang yang mengaturnya itu sah dalam hukum (tidak melanggar hukum). Kita harus pikirkan pula apakah tindakan kita itu melanggar etika atau moral. Jangan hanya karena tidak melanggar undang-undang terus tidak mengindahkan nilai etika dan moral yang ada. Mungkin ini terjadi karena kurangnya sanksi yang tegas, kesadaran       masyarakat yang belum terbentuk, dan lingkungan yang tidak etis. Dapat dikatakan bahwa kerusakan moral dan etika seseorang akan mengganggu keamanan dan ketentraman orang lain, seperti kasus Mahkamah Konstitusi yang ramai belakangan ini.

Akhir kata, penulis mengajak kepada kita semua untuk menjaga agar bangsa Indonesia yang terkenal sebagai bangsa yang sangat ramah, sopan, santun, dan saling menghormati tidak hanya menjadi cerita pengantar tidur atau dongeng. Marilah kita rawat dan poles kembali mutiara bangsa yang mulai memudar ini. Kita tanamkan pada generasi selanjutnya untuk tidak segan mengucapkan kata maaf, terima kasih, dan tolong sebagai ciri bangsa kita. Kita suburkan kembali nilai etika, norma, moral, dan hukum dalam kehidupan kita secara ril. Jangan kita hancurkan nilai, etika , norma dan moral ini hanya untuk kepentingan sesaat tanpa memerhatikan dampak negatif pada generasi selanjutnya. Semoga…

 

Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum., adalah dosen Universitas PGRI Madiun dan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

Tulisan ini sudah disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd., dosen Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).