Mahakarya Seni Santri: Interdiskursifitas Dan Kecerdasan Kompleks
Sudah menjadi hal yang lazim jika para santri ini menghabiskan banyak waktu di siang dan malam untuk belajar agama. Hafalan kosakata bahasa Arab, kitab suci, hadits dan kitab-kitab tafsir telah mewarnai hari-hari mereka. Lelah letih karena belajar dan berkegiatan di pesantren menjadi warna dari kehidupan para santri ini. Mengawali hari sebelum matahari terbit dengan ibadah sunah telah menjadi rutinitas. Mereka juga harus melatih kesabaran dan disiplin antri untuk sekedar cuci muka dan membersihkan diri sebelum belajar. Suara perut keroncongan sering menjadi musik alami pengiring belajar mereka.
Dr. Siti Asmiyah, M.TESOL
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya,Koordinator Kerjasama Luar Negeri PISHI
Lampu panggung warna-warni menyorot ke berbagai arah. Suara musik pembuka berdentum, menggunggah semangat penonton. Sejenak kemudian sepi, gelap. Seluruh lampu dan musik dimatikan. Tidak lama kemudian lampu membentuk cahaya bulat menyorot ke tengah panggung. Bersamaan dengannya muncul tiga remaja putri dengan baju panjang berkilau. Dihantarkan dengan suara keras “Kita sambut master of ceremony kita….” Seketika musik kembali berdentum dan hingar bingar sorak penonton bersorai. Malam itu, tepat pada peringatan Hari Pahlawan, sebuah pesantren menyelenggarakan pesta bagi para santri. Ya, malam itu adalah malam kebahagiaan mereka, para santri.
Sudah menjadi hal yang lazim jika para santri ini menghabiskan banyak waktu di siang dan malam untuk belajar agama. Hafalan kosakata bahasa Arab, kitab suci, hadits dan kitab-kitab tafsir telah mewarnai hari-hari mereka. Lelah letih karena belajar dan berkegiatan di pesantren menjadi warna dari kehidupan para santri ini. Mengawali hari sebelum matahari terbit dengan ibadah sunah telah menjadi rutinitas. Mereka juga harus melatih kesabaran dan disiplin antri untuk sekedar cuci muka dan membersihkan diri sebelum belajar. Suara perut keroncongan sering menjadi musik alami pengiring belajar mereka.
Malam ini, sungguh berbeda dari biasanya. Bukan lagi suara perut keroncongan yang dirasakan para santri, tetapi benar-benar menghadirkan musik besar mahakarya seni santri. Panggung didesain begitu megah dengan mengambil latar bernuansa arsitektur Jawa. Meskipun berlatar arsitektur lokal, namun penampilan malam itu mengambil tema dunia, dengan menekankan pada kebanggaan terhadap budaya lokal. Berbagai penampilan musik, drama kolosal, hingga peragaan busana dari berbagai negara silih berganti ditampilkan.
Hal yang menarik dari pagelaran mahakarya seni santri malam ini bukan sekedar gebyar dan meriahnya penampilan. Ada makna mendalam dari megahnya dan meriahnya euphoria santri. Setiap pernak-pernik yang menghias panggung, iringan musik, visual pengiring, gerak dan formasinya merupakan representasi dari interdiskursifitas dan kecerdasan kompleks santri. Orkestrasi dari seluruh elemen yang ada pada pementasan merupakan interkoneksi berbagai diskursus. Selain itu, kemampuan untuk mengatur mekanisme harmonisasi pagelaran seni memerlukan kolaborasi antar elemen dan kecerdasan kompleks.
Interdiskursifitas (interdiscursivity) atau keantarwacanaan merupakan kondisi ketika sebuah pesan atau makna terkait dengan pesan atau makna lain dengan berbagai bentuk simbolisnya. Bentuk ini dapat berupa ujaran, tulisan, gambar, atau simbol-simbol lain. Menurut Fairclough (2003), interdiskursifitas menunjukkan adalah hubungan antara berberapa discourse atau wacana. Interdiskursifitas juga mengaitkan wacana dari berbagai topik dan subtopik (Reisgl & Wodak, 2009). Ketika kaitan dan hubungan antar diskursus ini terejawantahkan dalam bentuk konfigurasi, terbentuklah intertektual konstitutif yang kemudian dikenal dengan interdiscursifitas (Wu, 2010, Lawrence, 2008 dan Fairclough, 1992). Dalam kerangka ini, interdiskursifitas berkaitan dengan siapa berpartisipasi dan berkontribusi apa dan kapan. Hal ini juga berkenaan dengan prosedur, mekanisme dari setiap kontribusi.
Kerangka interdiskursifitas ini sangat relevan jika dibawa kedalam konteks mahakarya santri malam itu. Pagelaran yang ditampilkan para santri itu sesungguhnya merupakan rangkaian dari simbol dan pesan. Musik hingar bingar dengan dentuman keras digunakan untuk mengiringi datangnya MC. Demikian juga dengan lampu sorot sangat cerah menuju ke berbagai arah panggung. Letupan kembang api pun tidak lupa menambah meriah suasana malam. Keseluruhan rangkaian audio visual itu membawa pesan semangat untuk memulai pagelaran.
Ketika yang digelar adalah drama kolosal tentang pertumpahan darah pada perang Baratayuda, musik sendu mengiringi di akhir drama. Pilihan musik ini menggambarkan rasa sedih akan tumpahnya darah antarsaudara. Lampu pun menyala redup, menyatu dengan asap dari es kering yang disemburkan dari bawah. Hembusan asap itu beriring dengan nyala lampu merah dari lantai panggung. Semuanya menggambarkan kesedihan yang disebabkan oleh adanya peperangan. Fragmen ini kemudian disusul dengan gelaran lagu kasidah berjudul Perdamaian yang dulu pernah dipopulerkan oleh grup Nasidaria. Drama dan lagu ini secara keseluruhan menegaskan perlunya untuk menjaga perdamaian karena pertengkaran hanya akan membawa kerugian dan kesedihan.
Kemampuan para santri menyampaikan pesan melalui simbol-simbol baik audio visual maupun gerak secara utuh ini menunjukkan interdiskursifitas. Pengorkestrasian keseluruhan atribut dan simbol yang saling terkait itu memerlukan kecerdasan kompleks. Para santri harus menghitung dengan tepat kapan lampu harus redup dan pada saat apa musik hingar bingar diputar. Perhitungan yang meleset sedikit saja dapat memengaruhi penyampaian pesan dari setiap bagian pagelaran. Pilihan urutan gelaran juga perlu pemikiran yang matang. Demikian juga pemilihan musik dan bahasa tubuh dari setiap pemeran. Secara keseluruhan pagelaran pada mahakarya seni santri ini melibatkan kecerdasan bahasa, logis matematis, visual spasial dan musikal. Tentu, pada proses persiapan dan latihan, mereka juga melibatkan kecerdasan kinestetis, interpersonal, intrapersonal, dan natural.
Jika diulik lebih jauh, mahakarya seni santri ini sesungguhnya adalah representasi dari kecerdasan kompleks mereka dalam kehidupan santri. Dalam kehidupan kesantrian, setiap hari mereka belajar untuk mengatur waktu dengan disiplin, mulai dari saat bangun sebelum subuh hingga waktu tengah malam menjelang tidur. Padatnya kegiatan membuat mereka harus pandai mengelola waktu secara tepat. Demikian juga dengan pengelolaan uang saku kiriman dari orang tua. Ketika mereka harus berbagi ruang untuk tidur dengan puluhan santri yang lain, mereka juga perlu mengaktifkan kecerdasan spatial. Hal ini untuk memastikan bahwa ruangan muat untuk semua orang dan tetap rapi.
Selain hal di atas, ada pula tuntutan untuk murojaah (mengulang hafalan) dan penggunakan bahasa yang teratur dan santun saat berkomunikasi, terutama dengan Kyai dan para Ustadz. Di dalamnya tentu juga melibatkan kecerdasan bahasa dan interpersonal untuk memastikan bahwa mereka dapat bergaul dengan baik dengan seluruh masyarakat pondok. Kecerdasan lain yang harus dimiliki santri adalah kecerdasan intrapersonal. Tinggal jauh dari keluarga dengan berbagai masalah yang muncul di pondok, melatih mereka untuk menjaga emosi, menahan rindu, dan belajar mengatasi masalah. Sungguh, kehidupan pondok merupakan miniatur dan representasi dari kehidupan bermasyarakat secara luas. Di pondok santri bertemu dengan banyak orang dengan berbagai karakter. Mereka juga dihadapkan dengan berbagai aturan dan tuntutan. Di pondok mereka juga belajar untuk menikmati hidup dan memberikan reward akan kerja keras mereka. Salah satunya adalah dengan pagelaran mahakarya seni santri, sebuah miniatur dari interdiskursifitas dan kecerdasan kompleks yang diperlukan dalam kehidupan nyata di luar pondok.
*Penulis adalah.