Ketika Jokowi Ijinkan Ekspor Pasir Laut, Amien Rais: RI Kehilangan Kedaulatan

"Dengan membuka keran ekspor pasir laut, maka negara ini akan kehilangan kedaulatannya," ujar Amien Rais.

Jun 4, 2023 - 12:06
Ketika Jokowi Ijinkan Ekspor Pasir Laut, Amien Rais: RI Kehilangan Kedaulatan
Ilustrasi Pasir Laut

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Ketua Majelis Syuro Partai Ummat, Amien Rais, melalui unggahannya di media sosial Twitter, Selasa (30/5), mengecam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu.

Kebijakan tersebut mengizinkan sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dengan dalih mengendalikan hasil sedimentasi di laut.

"Dengan membuka keran ekspor pasir laut, maka negara ini akan kehilangan kedaulatannya," ujar Amien.

Menurut Amien, kerugian yang ditimbulkan dari kebijakan ekspor tersebut lebih besar ketimbang manfaat yang diperoleh.

"Stop Ekspor Pasir Laut! Batalkan PP Nomor 26 Tahun 2023 yang diteken oleh Presiden!" tegas Amien.

Unggahan tersebut juga memuat foto berlogo Partai Ummat dengan narasi yang sama.

Sebelumnya, Anggota Komisi IV Slamet menilai isi dari PP tersebut agak ganjil. Karena PP tersebut mestinya membahas pengelolaan hasil sedimentasi laut.

Slamet curiga pengaturan soal ekspor pasir laut ini ditunggangi pihak yang selama ini melakukan ekspor secara ilegal.

"Penyisipan Pasal mengenai pemanfaatan pasir laut, termasuk mengatur secara teknis mekanisme jual belinya, akan membuka prasangka publik bahwa adanya orang-orang yang mendesak pemerintah untuk menerbitkan peraturan ini agar melegalkan aktivitas mereka yang selama ini dilakukan secara ilegal," kata Slamet kepada CNNIndonesia.com, Senin (29/5).

Anggota Komisi IV Bambang Purwanto mengaku kaget Jokowi membuka kembali ekspor pasir laut di tengah upaya gencar Indonesia menjaga dan melestarikan lingkungan. Pada 2003, kebijakan itu dilarang karena ada satu pulau kecil di Bangka Belitung yang hilang akibat pasirnya diekspor.

"Pengalaman itu tentu perlu menjadi pembelajaran bagi kita karena cukup berbahaya dampak dari pengerukan pasir laut. Tentu akan berakibat merusak lingkungan seperti mengusik biota laut, menyebabkan abrasi, mengikis daratan dan lainnya," ucap Bambang.

Jokowi menerbitkan PP 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dalam beleid itu, Jokowi mengizinkan sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dengan dalih mengendalikan hasil sedimentasi di laut.

Pelaku usaha juga diizinkan untuk memanfaatkan pasir laut untuk beberapa keperluan, termasuk ekspor, sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal itu dimuat dalam Pasal 9 PP tersebut.

Bertalian dengan ekspor dan penjualan pasir laut, dalam Pasal 10, Jokowi mengatur bahwa perusahaan harus mendapatkan izin usaha pertambangan menteri ESDM atau gubernur. Pemanfaatan hasil sedimentasi di laut untuk ekspor juga wajib mendapatkan perizinan berusaha di bidang ekspor dari menteri perdagangan.

"Pelaku usaha yang memiliki izin pemanfaatan pasir laut wajib membayar PNBP," jelas Jokowi seperti dikutip dari beleid tersebut.

Selain membayar PNBP, Jokowi juga mewajibkan pelaku usaha itu membayar pungutan lainnya. Melalui peraturan tersebut, Jokowi juga mencabut aturan pengelolaan pasir laut yang diterbitkan oleh Presiden ke-5, Megawati Soekarnoputri.

Aturan yang dimaksud adalah Keppres Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang berisi beberapa ketentuan, antara lain;

(1) Ekspor pasir laut ditetapkan menjadi komoditi yang diawasi tata niaga ekspornya.

(2) Pasir laut yang ditetapkan sebagai komoditi yang diawasi tata niaga ekspornya dapat diubah menjadi komoditi yang dilarang ekspornya setelah mempertimbangkan usulan dari Tim Pengendali dan pengawas Pengusahaan Pasir Laut.

Greenpeace Kecam Ekspor Pasir Laut

Sedangkan Greenpeace Indonesia, menyebut pemerintah melakukan greenwashing lewat Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Dengan PP itu, pemerintah memperbolehkan ekspor pasir laut sebagaimana tertuang dalam Pasal 6. Pengerukan itu diperbolehkan dengan dalih pengendalian sedimentasi laut.

Adapun greenwashing merupakan suatu strategi yang biasanya dilakukan oleh perusahaan dengan kesan memberikan citra peduli lingkungan, tetapi sesungguhnya tidak berdampak bagi kelestarian lingkungan.

"Ini adalah greenwashing ala pemerintah," kata Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah dalam keterangan tertulisnya, Selasa (30/5).

"Pemerintah kembali bermain dengan narasi yang seakan mengedepankan semangat pemulihan lingkungan dan keberlanjutan, tetapi nyatanya malah menggelar karpet merah untuk kepentingan bisnis dan oligarki," imbuhnya.

Dia menjelaskan pemerintah Indonesia di era Megawati Soekarnoputri telah melarang ekspor pasir laut. Pada Februari 2003 juga terbit sebuah Surat Keputusan Bersama Menteri Industri dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Lingkungan Hidup yang mengatur tentang hal itu.

Dia mengingatkan SKB tersebut dibuat untuk mencegah kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil di wilayah Kepulauan Riau akibat penambangan pasir laut.

Meski SKB itu telah diterbitkan, aktivitas penambangan pasir laut masih terus terjadi di Indonesia, salah satunya di Sulawesi Selatan.

Demi proyek strategis nasional, kata Afdillah, berbagai kerusakan alam dan kerugian sosial-ekonomi terjadi di Pulau Kodingareng, Makassar.

Temuan tersebut terungkap dalam laporan berjudul Panraki Pa'boya-Boyangang: Oligarki Proyek Strategis Nasional dan Kerusakan Laut Spermonde tahun 2020.

Laporan tersebut disusun oleh Greenpeace Indonesia bersama dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil lain yang tergabung dalam Koalisi Save Spermonde.

Afdillah berpendapat PP 26/2023 itu menambah catatan buruk pemerintah dalam penanganan sektor kelautan.

Dengan dikeluarkannya beleid itu, dia juga memandang pemerintah tidak mampu mengelola sumber daya laut dengan cerdas.

"Sehingga kerap mengambil jalan pintas untuk meningkatkan pendapatan negara melalui cara-cara ekstraktif seperti ini. Lebih parah lagi, kebijakan semacam ini bisa jadi diambil tanpa kajian yang matang serta mengabaikan aspek ekologis dan hak asasi manusia," ucap Afdillah.(han)