Melihat Untung dan Buntung Izin Keruk dan Ekspor Pasir Laut

Dalam pasal 1 ayat 7 beleid tersebut dijelaskan bahwa izin pemanfaatan pasir laut adalah izin yang diterbitkan oleh menteri untuk melakukan kegiatan pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut. Menteri terkait yang berhak memberi izin dicantumkan dalam pasal 1 ayat 9.

Jun 4, 2023 - 12:24
Melihat Untung dan Buntung Izin Keruk dan Ekspor Pasir Laut
Ilustrasi Pulau Kecil

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Restu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam penambangan hingga ekspor pasir laut tertuang di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Beleid tersebut resmi diundangkan pada 15 Mei 2023.

Namun demikian, izin tiga menteri diperlukan untuk memuluskan izin pengerukan dan ekspor pasir laut.

Dalam pasal 1 ayat 7 beleid tersebut dijelaskan bahwa izin pemanfaatan pasir laut adalah izin yang diterbitkan oleh menteri untuk melakukan kegiatan pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut. Menteri terkait yang berhak memberi izin dicantumkan dalam pasal 1 ayat 9.

"Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan," tulis pasal 1 ayat 9 beleid tersebut, dikutip Selasa (30/5).

Hal itu dipertegas di pasal 1 ayat 10 yang menyebut kementerian adalah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan.

Dengan kata lain, izin pemanfaatan pasir laut harus diterbitkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono.

Lalu, pasal 10 mengatur soal pelaku usaha yang boleh terlibat dalam urusan pembersihan hasil sedimentasi di laut. Di pasal 10 ayat 2 dijelaskan pelaku usaha boleh melakukan pengambilan, pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan/atau penjualan hasil sedimentasi di laut.

Namun, penjualan pasir laut baru boleh dilakukan setelah perusahaan mendapatkan izin usaha pertambangan untuk penjualan. Dengan begitu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif berperan untuk memuluskan hal ini.

"Izin usaha pertambangan untuk penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dijamin penerbitannya oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang mineral dan batu bara atau gubernur sesuai dengan kewenangannya setelah melalui kajian oleh tim kajian dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi pasal 10 ayat 4.

Sementara itu, izin ekspor pasir laut dijelaskan dalam pasal 15 ayat 3. Pasal ini menjabarkan apa yang sudah disinggung soal ekspor pasir laut di pasal 9 ayat 2.

"Pemanfaatan hasil sedimentasi di laut untuk ekspor sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) huruf d wajib mendapatkan perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha di bidang ekspor dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan," tulis beleid tersebut.

Kemudian, pada pasal 15 ayat 5 disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut soal ekspor pasir laut bakal diatur dalam bentuk peraturan menteri.

Dengan kata lain, akan ada peraturan menteri perdagangan (permendag) yang diterbitkan Mendag Zulkifli Hasan untuk memuluskan izin ekspor tersebut.

Terlepas dari keterlibatan 3 menteri untuk memuluskan penambangan hingga ekspor pasir laut, sikap Jokowi ini berlawanan dengan pelarangan 20 tahun lamanya.

Sebelum terbit beleid ini, pasir laut dilarang diekspor sejak masa pemerintahan Presiden ke-5 Megawati Soekarno Putri.

Kala itu, Megawati melarang ekspor pasir laut yang diatur oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno melalui Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Laut.

Ekspor pasir laut dihentikan sementara demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, yakni tenggelamnya pulau kecil.

Ekspor Dibuka Kembali

Melalui PP nomor 26 tahun 2023 itu, Jokowi mencabut aturan pengelolaan pasir laut yang diterbitkan oleh Presiden ke-5, Megawati Soekarno Putri.

Aturan itu adalah Keppres Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang berisi beberapa ketentuan, antara lain;

(1) Ekspor pasir laut ditetapkan menjadi komoditi yang diawasi tata niaga ekspornya.

(2) Pasir laut yang ditetapkan sebagai komoditi yang diawasi tata niaga ekspornya dapat diubah menjadi komoditi yang dilarang ekspornya setelah mempertimbangkan usulan dari Tim Pengendali dan pengawas Pengusahaan Pasir Laut.

Pembukaan kembali keran ekspor pasir laut oleh Jokowi lewat PP Nomor 26 Tahun 2023 tadi pun menuai banyak kritik.

Salah satu pihak yang berkomentar adalah Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Ia berharap Jokowi membatalkan keputusannya mengizinkan ekspor pasir laut. Menurut Susi, hal tersebut bakal memberikan kerugian besar pada lingkungan.

"Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut," tulis Susi dalam akun resmi Twitternya.

Kekhawatiran Susi ini bukan omong kosong. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengakui pengambilan pasir laut pada masa lalu memang merusak lingkungan. Hal ini yang menjadi alasan ekspor dilarang pada 2003.

Staf Khusus Bidang Komunikasi Publik KKP Wahyu Muryadi mengatakan pengambilan pasir pada masa itu tidak teratur dan menggunakan alat yang tak ramah lingkungan.

Berkaca pada pengalaman buruk tersebut, Wahyu mengklaim saat ini pengambilan pasir laut akan dilakukan secara tertata tanpa merusak lingkungan.

Menurutnya, untuk detail pengaturan bakal dimuat dalam Peraturan Menteri (Permen) KKP yang diharapkan bisa segera dirilis. Saat ini, aturan teknis turunan PP 26 Tahun 2023 tersebut masih dalam pembahasan.

"Hal-hal yang lebih detail dan teknis akan diatur dalam Peraturan Menteri KP. Saat ini masih sedang dibahas secara internal di KKP," jelas Wahyu kepada CNNIndonesia.com.

Ia pun memastikan ekspor pasir laut bukan tujuan utama dibuatnya beleid tersebut. Selain itu, berbagai pertimbangan sudah dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga kelestarian alam laut.

Meski begitu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menilai PP Nomor 26 tahun 2023 tadi sangat jelas dilatarbelakangi oleh pertimbangan eksploitatif dan berorientasi bisnis.

Pernyataan itu bukan tanpa alasan. Menurut Abdi, kegiatan penambangan pasir selama ini sudah berlangsung untuk kepentingan dalam negeri.

"Patut diduga PP ini untuk melegalisasi ekspor pasir laut. Ini bertolak belakang dengan komitmen MKP (menteri kelautan dan perikanan) untuk menjadikan ekologi dan lingkungan sebagai panglima," ucapnya.

Ia juga mengatakan ada semacam 'kamuflase' dalam PP tersebut yang mengedepankan pengelolaan sedimentasi laut. Padahal ada indikasi-indikasi yang akan ditambang justru pasir laut.

Abdi menjelaskan pengendalian hasil sedimentasi di laut merupakan upaya untuk mengurangi dampak proses sedimentasi itu sendiri.

Adapun pengendalian yang ia maksud dilakukan agar proses sedimentasi di laut tidak menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut.

Alam, kata dia, pada dasarnya sudah mengatur siklus secara berimbang. Manusialah yang menyebabkan perubahan dan berdampak negatif.

Oleh karena itu, ia menilai justru yang harus dikendalikan adalah bukan hasil sedimentasinya, tapi yang menyebabkan sedimentasi tersebut.

"Yakni aktivitas dari hulu terutama kegiatan pembukaan lahan untuk tambang dan perkebunan," tegas Abdi.

Ia juga menambahkan saat ini isu yang terbesar terhadap wilayah pesisir dan pulau kecil adalah justru abrasi buntut perubahan iklim. Abrasi telah berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat maupun kerusakan sarana dan prasarana.

Abidi menyebut biaya untuk menanggulangi hal tersebut saja tidak mampu ditutupi oleh pemerintah daerah dan negara.

"Dengan regulasi ini (PP Nomor 26 tahun 2023) maka dapat dipastikan abrasi akan semakin besar dan masif terjadi," katanya.

Ekspor Pasir Laut Bisa Rusak Lingkungan

Segendang sepenarian, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda berpendapat sebaiknya PP 26 tahun 2023 dibatalkan saja.

Ia melihat pengerukan dan ekspor pasir laut perlu dikritisi karena bisa berdampak ke lingkungan. Di sisi lain, ia tak menampik kalau kebijakan itu memang bisa menguntungkan secara ekonomi.

Namun, keuntungan ekonomi tersebut hanya dalam jangka pendek saja.

"Tapi dalam jangka panjang bisa merugikan dan jadi bumerang bagi ekonomi kita," imbuh Nailul.

Dengan kata lain, keuntungan ekonomi yang tak seberapa itu tidak bisa menutupi kerusakan yang ditimbulkan. Apalagi, kata Nailul, keuntungan jangka pendek hanya menguntungkan pemerintahan sekarang.

"Tapi ke depan akan merugi karena biaya lingkungannya cukup besar," tandasnya.(han)