Kampung Ambon Riwayatmu Kini, dari Warung Narkoba ke Kampung Antinarkotika

"Kalau dulu sebelum pembersihan, kalau dibilang lapak-lapak, sebenarnya ya, kalau kita ngeliat warteg hampir sama sih. Jadi ada satu rumah, mereka bisa beli di situ, makan di situ, selesai di situ keluar, ibarat kata kayak orang makan di warteg," kata Amirul kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Feb 6, 2024 - 09:02
Kampung Ambon Riwayatmu Kini, dari Warung Narkoba ke Kampung Antinarkotika

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Saleh (33), bukan nama sebenarnya, bersama kawan-kawannya hampir setiap minggu bolak-balik ke Kampung Ambon, Jakarta Barat, pada medio 2011 lalu.

Ia datang saat malam jelang dini hari. Menurutnya, kawasan Kampung Ambon seperti perumahan pada umumnya. Rumah-rumah warga saling berhadapan di pisahkan jalan utama.

Saleh dan kawan-kawan menjajal beberapa rumah untuk mengonsumsi narkoba jenis sabu. Saat itu ia selalu memakai barang tersebut di tempat alias 'dine in'.

Menurut Saleh, di dalam rumah tersebut terdapat seorang kasir. Setiap pembeli harus menuju meja kasir terlebih dahulu, sebelum mendapat paket sabu yang diinginkan beserta alat isapnya.

Setelah mendapat paket dan bong, pembeli tinggal memilih ruangan yang telah disediakan. Ruangannya berukuran sekitar 2x3 disekat dengan papan kayu.

Saleh tak pernah khawatir akan digerebek. Menurutnya, setiap malam selalu ada mobil patroli di depan kompleks perumahan itu. Namun, tak pernah ada penggerebekan.

Sampai akhirnya Saleh dan kawan-kawannya memiliki langganan di Kampung Ambon. Langganannya ini bukan orang biasa, melainkan seorang Ketua Rukun Tetangga (RT).

Selain sabu, ganja juga dijual di sana. Sekitar tahun 1999-an, ganja mulai masuk ke Kampung Ambon. Obat-obatan terlarang itu menjadi komoditi utama para pengedar dan bandar.

Seiring waktu, sabu menarik perhatian para pasien atau Ps (sebutan pembeli narkoba di Kampung Ambon) dan mencapai puncak keemasannya pada 2009.

Kbo Sat Narkoba Polres Jakarta Barat AKP Amirul Aminin mengatakan saat itu orang bebas berdagang dan mengonsumsi narkoba. Terdapat lapak-lapak yang umumnya berupa rumah tipe 45.

Lapak itu adalah rumah sewaan bandar yang disekat menjadi 4 sampai 5 ruang. Selayaknya rumah makan, Ps dapat membeli dan mengkonsumsi sabu di tempat.

"Kalau dulu sebelum pembersihan, kalau dibilang lapak-lapak, sebenarnya ya, kalau kita ngeliat warteg hampir sama sih. Jadi ada satu rumah, mereka bisa beli di situ, makan di situ, selesai di situ keluar, ibarat kata kayak orang makan di warteg," kata Amirul kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Setiap rumah jual sabu

Salah seorang warga setempat Andi, bukan nama sebenarnya, menyebut hampir setiap rumah di Kampung Ambon menjajakan sabu. Menurutnya, ada 30 lebih lapak yang aktif melayani pasien.

"Jadi di satu rumah besar ada 10 kamar. Jadi datang, daftar dulu mau pakai apa, berapa banyak, berapa orang. Lalu, diantar sama petugas ke kamar, ditimbang, dikasih sama petugas, disiapkan bong-nya," ucapnya.

Ia memperkirakan hasil uang dari bisnis gelap itu bisa mencapai miliaran setiap harinya. Pasar narkoba itu tidak memiliki musim seperti buah-buahan, pasokan barang selalu ada dan ramai pengunjung.

Bahkan, pemasukan parkir kendaraan para tamu mencapai jutaan. Satu unit motor dikenakan Rp10 ribu per jam, sedangkan mobil Rp20 ribu.

Selain mendapatkan uang dari para tamu, tukang parkir juga mendapatkan insentif bulanan dari para bandar. 

"Tapi sebulan sekali atau dua minggu sekali, bagian keuangan dari bandar yang ada rumah lapak di sini datangin ke tetangga yang dibuat rusuh sedikit jalanannya. Dua minggu sekali mungkin dikasih Rp250 ribu atau Rp200 ribu," ujarnya.

Namun, kata dia, keberadaan sabu ini merugikan penghuni lain yang tidak terlibat. Mereka juga mendapat stigma negatif. Transaksi yang terlalu mencolok pun mengganggu kenyamanan beberapa warga.

"Jangankan orang cari kerja, kita aja ketika datang ke satu tempat, teman kita baru tahu kita orang komplek Ambon, dia bilang 'di komplek Ambon?' 'tinggal di komplek Ambon?' Iya. Emang kenapa? Jadi udah kelihatan bahwa stigma itu membuat kita jadi agak-agak seperti di pandang sebelah mata," katanya.

Sosok 'malaikat' di Kampung Ambon

Warga lainnya yang tinggal di RW 07 menyebut bandar di sana bak malaikat. Di balik bisnis gelapnya, bandar adalah sosok yang dermawan. Hal ini lah yang terkadang membuat warga enggan untuk mengusik.

"Melihat orang sakit, dia [bandar] datang dan bantu pengobatan. Ada yang berduka, dia datang dan salam bantu buat penguburan. Dagangan lewat enggak laku, dipanggil dan dibagiin sama tetangga, dibayarin sama dia," katanya.

Hubungan kekerabatan yang erat di Kampung Ambon bukan semata-mata karena mereka berkumpul di satu tempat yang sama. Ada hubungan yang bersifat saling meramu dan membuat kuat antar warga. Mereka mayoritas berasal dari satu suku, yakni Ambon, dan secara keyakinan pun sama.

"Misalnya keluarga saya menikah dengan keluarga dari jalan apa, sehingga bisa jadi, kita jadi saling besanan, saling om tante. Jadi itu makin guyub," ujarnya.

Hubungan sosial yang ada di Kampung Ambon pernah menjadi topik penelitian oleh Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala. Dirinya melihat peredaran narkotika di satu komunitas memiliki banyak kepentingan, seperti ekonomi, keluarga, dan sosial.

Adrianus mengatakan dalam kasus Kampung Ambon ada keluarga yang sudah empat generasi melakukan peredaran obat-obatan terlarang.

"Di sana banyak yang berangkat nyeberang dari Maluku, beragama kristen. Itu kan mereka jadi orang-orang yang paling aktif di gereja. Kalau Natal, nyumbang sana, nyumbang sini, untuk kesehatan, bikin bantuan sosial, ya semua klepek-klepek gitu kan. Walaupun sebetulnya itu uangnya, uang narkotika semua," kata Adrianus.

Menurutnya, peran sosial yang dilakukan oleh bandar telah dianggap menjadi bagian dari norma oleh warga. Meskipun Adrianus berpendapat hal tersebut tidak dapat diterima secara norma.

"Alhasil kemudian, walaupun dia tahu betul bahwa itu adalah uang yang sebetulnya uang haram, tapi karena diberikan oleh sesama komunitas, udah nggak lagi bisa ditolak dengan gampang," imbuhnya.

Namun, tentu saja situasi ini tidak dapat dilekatkan oleh satu kasus saja. Kondisi sosial yang ada di Kampung Ambon juga terjadi di wilayah lainnya, seperti di Kampung Bahari, Kampung Boncos, maupun Kampung Bali.

Perumahan yang dulunya merupakan sentra ganja dan sabu kini mulai berbenah. Setelah berkali-kali dilakukan penggerebekan, lapak-lapak yang ada di Kampung Ambon sudah tak ada.
CNNIndonesia.com mengunjungi Kampung Ambon, Kamis (14/12) lalu. Suasana kelam beberapa tahun silam sudah tak terlihat. Beberapa warga tampak menikmati angin sore di depan rumah masing-masing.

Anjing-anjing liar kerap terlihat sedang tertidur di bawah mobil, di bawah pohon, atau sekadar berjalan-jalan sambil mengibaskan ekor. 

Sejak Agustus 2014, di bawah kepemimpinan Kapolres Jakarta Barat Fadil Imran dan Kasat Narkoba Gembong Yudha mereka mencanangkan program Sistem Pencegahan Kejahatan (Sigahtan) yang bernama RW Bebas Narkoba.

Program tersebut memiliki pendekatan sosial dengan melakukan door to door system. Pelatihan kerja juga diberikan kepada warga untuk mengalihkan kegiatan penjualan narkotika. Mulai dari latihan bengkel motor, salon kecantikan, hingga pendidikan calon sekuriti.

Pengurus RW 07 Yenny Ritiau mengatakan program tersebut berdampak bagi penurunan angka peredaran. Dirinya berpendapat bahwa program RW Bebas Narkoba menyulitkan barang terlarang masuk ke dalam Kampung Ambon.

"Mereka lakukan penindakan, dibuat pelatihan, dan disalurkan, tapi dengan penindakan sekaligus, sehingga yang merasa, waduh, gue nggak bisa jualan lagi nih. Penindakan benar-benar gencar dan tidak pandang bulu," kata Yenny.

Menurut Yenny, peredaran obat-obatan terlarang di satu wilayah tidak hanya bergantung pada masyarakat setempat, juga aparat yang berwenang dan berkompeten menyelesaikan masalah tersebut.

"Makanya ketika satu program harusnya nggak usah banyak-banyak program pembinaan, tapi betul-betul berkesinambungan dan jelas nanti output-nya gimana. Seperti itu sih kalau saran kami, sehingga anggaran-anggaran pelatihan itu nggak hanya keluar sekedar pelatihan, tapi benar-benar memiliki daya jual dan berkesinambungan di tengah warga masyarakat" ujarnya.

Sampai di 2019, program Sigahtan berlanjut menjadi Kampung Tangguh Jaya (KTJ) yang kini dikenal dengan Kampung Bebas Dari Narkoba. Polres Jakarta Barat membangun posko di tengah perumahan dan berpatroli setiap hari untuk mencegah peredaran.

Kbo Sat Narkoba Polres Jakarta Barat AKP Amirul Aminin menyebut masih ada pihak yang ingin coba-coba memasukkan barang terlarang itu untuk dipasarkan. Misalnya, pada tahun 2023 ini Polres Jakarta Barat telah menggagalkan 1,1 kilogram sabu yang akan masuk ke Kampung Ambon.

"Makanya tetap kita adakan di situ [pos], untuk anggota masih stay di sana gabungan dengan Narkoba Polda maupun dari Brimob Polda, untuk tetap benar-benar bisa bersih sampai sekarang," ucapnya.

Dari Stovia ke Kampung Ambon

Di RW 07, ratusan keluarga tinggal di bangunan permanen. Mereka mayoritas orang-orang Ambon yang telah menempati kawasan Kedaung Kali Angke sejak tahun 1973. Makanya, orang-orang mengenal perumahan itu dengan Kampung Ambon.

Warga setempat, JE (55) bercerita bagaimana orang-orang Ambon itu memasuki kawasan Kedaung Kali Angke untuk pertama kali.

Orang Ambon itu, kata JE, rata-rata mantan pasukan KNIL (Koninklijke Nederlands Indisch Leger) yang sebelumnya tinggal di Gedung Stovia (School tot Opleiding van Indische Artsen) atau dikenal sebagai AMS (Algemeene Middelbare School). Gedung itu merupakan benteng Belanda di kawasan Senen, Kwitang, Jakarta Pusat.

Sekitar tahun 1970-an, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin merelokasi mereka ke Komplek Permata karena Stovia akan dibangun menjadi Museum Kebangkitan Nasional. Akhirnya, mantan KNIL yang merupakan orang-orang Ambon itu berondong-bondong pindah ke wilayah Kedaung Kali Angke.

"Kita direlokasi disini, kita dibangunkan disini, dipindahkan dari sana kesini itu tahun 1973. Kita dipindahkan secara bertahap. Tahun 1973 baru 4 gang lah, dari Jalan Akik kesini, sampai ke 4 gang disini," kata JE.

Kala itu, mereka mendapatkan tanah seluas 90 meter persegi dan rumah setengah bilik yang atapnya berbentuk seperti tepas. Seiring waktu, mereka merenovasi rumah-rumah tersebut, bahkan hingga bertingkat dua.

"Jadi kalau yang bentuknya perumahan biasanya dari veteran sama orang-orang KNIL. Jadi kalau yang disana-sana itu, orang-orang kampung itu mungkin itu tanah-tanah wartawan yang nggak diurus. Itu sejarahnya seperti itu," jelasnya.

Perumahan yang ditinggali mantan KNIL itu kini memiliki 14 RT. Di antaranya adalah RT 01 sampai RT 07 yang dikenal sebagai Kampung Ambon. Lalu, RT 08 hingga RT 15 yang tampak seperti kawasan rumah padat dan komposisi masyarakatnya campuran.

Pengurus RW 07 Yenny menceritakan bahwa kehidupan di Komplek Permata itu memiliki pola hidup seperti di satu lingkungan kampung. Rasa guyub diantara warga membuat mereka menjalin hubungan lebih erat.

"[Hubungan] lebih erat dan kita kan masing-masing di sini sudah turun-temurun keluarga-berkeluarga. Misalnya keluarga saya menikah dengan keluarga dari jalan apa, sehingga bisa jadi, kita jadi saling besanan, saling om tante. Jadi itu makin guyub," ucapnya.

Kemudian, hubungan warga juga dapat dilihat ketika melakukan perayaan hari besar seperti Hari Kemerdekaan, yakni dengan mengadakan perlombaan dan acara makan bersama. Lalu, warga juga sering mendengarkan lagu Natal bersama dan pergi ke gereja.

"Ketika hari-hari besar pasti sangat terasa disini, terus keakraban, kekompakan, karena disini banyak saudara bersaudara,sehingga namanya kita tinggal di satu tempat dimana banyak keluarga pasti rasanya nyaman, karena banyak keluarga dan tetangga-tetangga juga seperti keluarga," ujarnya.

Kehidupan di Kampung Ambon tak melulu soal narkotika. Memang, dahulu disebut-sebut sebagai kawasan 'hitam', sehingga orang asing hingga aparat pun sulit untuk memasuki perumahan itu.(CNN/han)