Bersikap Fanatik dan Berpikir Radikal dalam Beragama

Oleh: Sriyono, M.Pd.

Aug 5, 2023 - 23:21
Bersikap Fanatik dan Berpikir Radikal dalam Beragama

FANATIK dan radikal adalah kosakata yang paling teraniaya akhir-akhir ini. Dua kata yang sering dikaitkan dengan masalah kerusakan dan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dua kata yang sering diseret ke dalam cara menilai keimanan individu maupun kelompok yang dianggap menyimpang. Fanatik dan radikal sering dianggap tabu dan menakutkan oleh sebagian orang ketika sudah mengacu pada agama tertentu. Munculnya stigma-stigma ambigu yang tidak pasti asal dan penuturnya membuat kata fanatik dan radikal semakin terkucilkan dalam sistem keagamaan. Sebagai contoh, frasa Islam fanatik dan Islam radikal adalah justifikasi terhadap paham Islam suatu kelompok yang dianggap salah oleh kelompok lain. Sikap fanatik dan pola pikir radikal sebenarnya berawal dari pandangan skeptis dalam meyakini esensi agama yang menguat ke salah satu pola berpikir dalam memendang agama yang dianut.

 

 

Bersikap fanatik dan berpikir radikal dalam keimanan sangatlah penting. Saat melihat sebuah sistem keimanan terhadap Tuhan atau suatu agama yang abstrak maka sikap fanatik dan pola pikir radikal adalah pondasi utama untuk meyakini sesuatu yang tidak bisa dibuktikan secara material dapat diyakini secara masif dan kontinu. Sikap fanatik dan pola pikir radikal terhadap agama sering distigmakan ke dalam praktik-praktik beragama yang menyimpang bahkan melawan norma dan hukum. Namun, sering kali dilupakan bahwa dalam mengimani sebuah suatu agama sikap fanatik dan pola pikir radikal menjadi penentu tingkat keimanan seseorang.

 

 

Sikap fanatik dan pola pikir radikal dalam melihat agama yang dianut adalah esensi keimanan seseorang, tetapi sering kali kata fanatik dan radikal dalam memandang agama “diplintir” menjadi ungkapan “golongan yang intoleran, golongan yang patut dicurigai, golongan yang memecah belah, bahkan golongan pelaku pidana. Saat seseorang beriman kepada suatu agama ataupun beriman kepada Tuhan, sikap fanatiklah yang bekerja. Saat seseorang mengimani sesuatu disebut haram dan sesuatu disebut halal tanpa keraguan, dia sedang berpikir secara radikal terhadap konsep halal dan haram.

 

 

Perlu dipahami bahwa agama tidak pernah membagi golongan menjadi kelompok-kelompok yang berdiri sendiri-sendiri (sebagian agama membagi kaumnya dalam kasta, tetapi tidak memisahkan tiap kasta dalam sistem yang terpisah) dengan pola penghambaan yang berbeda-beda. Pihak yang membagi dan membeda-bedakan suatu agama adalah pelaku agama itu sendiri atau cara pandang penganut agama lain yang minim objektivitas. Sebagai contoh, munculnya istilah Islam Arab, Islam Nusantara, Islam radikal, dan Islam liberal adalah stigma yang diberikan suatu kelompok terhadap dirinya atau terhadap kelompok lain.

 

 

Hal itu menjadi kesalahan fatal ketika melahirkan anggapan bahwa Islam telah terbelah karena pada dasarnya Islam tidak pernah terbelah menjadi kelompok dan golongan. Munculnya berbagai kelompok dan golongan yang mengatasnamakan Islam perlu dipahami sebagai sebuah cara berpikir individu atau kelompok dalam upayanya mengimplemantasikan keimanananya sehingga ketika muncul perilaku di luar norma, perilaku intoleran, bahkan perilaku pidana yang mengatasnamakan kelompok Islam tidak bisa dianggap perilaku itu sebagai perilaku Islam. Namun, harus dipandang sebagai kelompok yang menyebut dirinya Islam dan belum tentu perilaku tersebut diinterpretasikan dari Islam karena saat merunut sumber acuan ber-Islam yaitu Alquran dan sunah tidak ada orang yang menemukan literasi bahwa Islam harus dijalankan secara intoleran, kasar, keras, dan merusak. Islam adalah sistem beragama yang mengedepankan kedamaian dengan segala makhluk, keindahan perilaku pada sesama manusia, kebaikan ucapan pada sesama manusia, dan kebenaran untuk dirinya sendiri. Artinya benar dan salah yang berorientasi pada pola pikir radikal dalam Islam diletakkan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

 

 

Sama halnya dengan Islam setiap agama selalu dipandang sebagai sebuah sistem yang benar, menghadirkan kebaikan, menjadikan penganutnya mengenal keindahan Tuhan, setiap pemeluk agama mengimani hal itu. Bersikap fanatik dan berpikir radikal dalam mengimani suatu agama telah dilakukan setiap individu yang meyakini agama tersebut. Stigma buruk terhadap kata fanatik dan radikal dalam beragama secara tidak sadar mengarahkan pola pikir skeptis dalam memandang cara beragama.

 

 

“Cara beragama seperti apa yang benar, yang liberal ataukah yang radikal? pertanyaan tersebut bisa saja menjadikan individu kritis atau menjadikan individu labil dan ceroboh dalam mengimplementasikan keimanannya. Setiap indivudu yang beragama harus bersikap fanatik dan berpikir radikal terhadap keyakinan bahwa agama adalah sistem yang benar, baik, dan indah.

 

 

Tidak memandang sistem agama sesuai logika individual adalah hal yang harus dilakukan sehingga tidak muncul istilah agama radikal, agama liberal, agama rasis, dan agama kriminal. Setiap individu harus paham bahwa yang radikal, yang liberal, yang intoleran, dan yang kriminal adalah individu dan kelompok yang mengatasnamakan agama sedangkan agama adalah kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang mutlak sehingga saat muncul perilaku-perilaku menyimpang dari individu dan kelompok yang mengatasnamakan suatu agama tidak dipandang sebagai individu atau kelompok agama, tetapi sebagai individu atau kelompok yang menjalankan logikanya terhadap agama yang dianutnya.

 

 

Berpikir radikal dalam keyakinan bahwa agama itu benar, baik, dan indah yang menghadirkan kebenaran bagi individu serta menghadirkan kebaikan dan keindahan bagi sesama serta sikap fanatik untuk mewujudkannya harus lebih kuat daripada pandangan individu atau kelompok yang menganggap agama itu harus ditegakkan dengan cara dan tindakan radikal. Berpikir radikal dan bersikap fanatik dalam beragama pasti dilakukan setiap individu yang beragama. Namun, bertindak radikal dalam menjalankan agama adalah sesuatu yang perlu dipikirkan sejuta kali sebelum dilakukan. Semoga tidak ada lagi label fanatik dan radikal untuk suatu agama hanya karena logika dan tindakan kelompok yang kebetulan beragama. (***)

 

 

 

Sriyono, M.Pd. adalah anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd., dosen prodi PBI, FISH, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan pengurus PISHI.