Pembelajaran Toleransi

Pendidikan pada dasarnya adalah upaya menanamkan nilai-nilai kehidupan yang baik dalam kehidupan. Nilai-nilai yang menjadi karakter bangsa ditetapkan menjadi profil Pelajar Pancasila. Semestinya dengan penerapan karakter-karakter terpuji tersebut, kehidupan bermasyarakat di berbagai lingkungan dapat dilaksanakan dengan tenang dan damai.

Jan 15, 2024 - 06:11
Pembelajaran Toleransi
Rahutami

Oleh: Dr. Rahutami, M.Hum.

 

Pendidikan pada dasarnya adalah upaya menanamkan nilai-nilai kehidupan yang baik dalam kehidupan. Nilai-nilai yang menjadi karakter bangsa ditetapkan menjadi profil Pelajar Pancasila. Semestinya dengan penerapan karakter-karakter terpuji tersebut, kehidupan bermasyarakat di berbagai lingkungan dapat dilaksanakan dengan tenang dan damai. Namun, bagaimana pelaksanaannya di masyarakat? Masih banyak masalah yang muncul akibat salah paham, ketergesaan memaknai ujaran orang lain, atau munculnya kecurigaan akibat perilaku yang berbeda dengan budayanya.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah proses pembelajaran yang kurang mendukung pembentukan karakter tersebut? Ataukah tipe masyarakatnya yang memang mudah terpicu dengan perbedaan. Keduanya dapat menjadi jawaban dari pertanyaan besar tentang penyebab rentannya toleransi di Indonesia.

Permasalahan yang muncul akibat perbedaan sudah ada sejak zaman kemerdekaan. Banyak konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan. Pada masa penjajahan kiranya hal itu dapat diterima. Semua orang berusaha mencari keselamatan dan pemenuhan kebutuhan utamanya. Namun, bagimana jika permasalahan itu masih muncul pada zaman sekarang ketika kebersamaan dalam kemerdekaan sudah berjalan hampir 79 tahun. Kesepakatan untuk berbahagia dan sejahtera bersama harusnya menjadi pertimbangan untuk meredam konflik yang muncul.

            Mari ditilik kembali tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Selain bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, tujuan pendidikan yang lain menunjukkan pendidikan yang bersifat sosial daripada untuk diri sendiri.

Berakhlak mulia diwujudkan melalui perilaku yang yang santun dan sikap berbudi pekerti ketika berinteraksi dengan pihak lain.  Sehat tidak hanya mengacu pada kesehatan fisik, tetapi juga sehat secara mental. Seseorang yang sehat secara mental tentunya mampu mengendalikan pikiran dan perasaannya sehingga tidak menjadi pemicu masalah di lingkungannya. Sementara, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab merupakan tujuan yang disebabkan oleh adanya pengaruh dan dukungan dari lingkungan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan nasional tidak hanya membentuk diri yang religius, tetapi juga menjadi warga yang mampu hidup di masyarakat dengan damai.

Bagaimana kedamaian dapat diwujudkan di tengah keberagaman bangsa Indonesia? Bangsa Indonesia telah dengan berani menyatakan untuk berbhineka tunggal ika. Ini mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia bersepakat untuk “menyatukan” berbagai keragaman, baik agama, budaya, ras, maupun etnis. Implikasinya, bangsa Indonesia juga “bersedia menyatukan” berbagai keragaman tersebut. Yang dimaksud dengan penyatuan adalah dengan bertoleransi.

Membelajarkan toleransi pada peserta didik bukanlah hal yang mudah. Namun, hal ini harus dilakukan. Dukungan pembelajaran berdeferensiasi maupun berbasis kultur merupakan upaya menanamkan toleransi. Pembelajaran berdeferensiasi menunjukkan bahwa keragaman proses belajar, level kognisi, lingkungan belajar, minat, dan keterampilan (teaching at the right level) peserta didik difasilitasi dengan cara/strategi belajar yang berbeda. Pembelajaran ini menghargai perbedaan keunikan peserta didik.

Tentu saja ini membiasakan peserta didik untuk melihat dan menghargai perbedaan yang ada antara dirinya dengan teman yang lain. Tidak ada peserta didik yang istimewa karena mampu menduduki peringkat ke-1 dan yang dianggap tidak mampu akan menduduki peringkat terakhir. Pada dasarnya, semua anak istimewa dengan keunikannya. Pembelajaran ini membebaskan peserta didik dari tekanan orang tua untuk selalu unggul dalam pembelajaran apa pun. Karena sebenarnya untuk hidup di Masyarakat, seseorang tidak harus menguasai semua masalah. Apabila dia mampu menguasai satu atau dua keterampilan secara mendalam, dia dapat hidup dengan bahagia. Misal, tidak semua orang harus menjadi pejabat pemerintah, diperlukan juga penyanyi yang dapat menghibur masyarakat.

Selanjutnya, pembelajaran berbasis kultur (culturally responsive teaching) memfasilitasi peserta didik untuk bertoleransi tentang budaya, etnis, ataupun suku. Tidak ada satu pun budaya yang terbaik. Semua budaya berisi nilai-nilai luhur bagi warganya. Begitu pula, tidak ada etnis yang lebih baik atau lebih rendah. Seseorang yang berkulit cerah setara dengan warga yang berkulit gelap. Sampai saat ini masih ada kasus perundungan terhadap peserta didik yang berkulit gelap. Hal ini harusnya menjadi perhatian semua warga.

Pembelajaran berbasis kultur memberikan pengalaman belajar yang akrab dengan peserta didik. Peserta didik tidak terlalu sulit menggambarkan objek-objek pembelajaran. Selain itu, peserta didik dapat memahami keberagaman kelasnya. Mereka mendapat pengalaman belajar tentang keragaman secara alami dan tanpa suruhan. Banyak objek pembelajaran berbasis multikultur yang mampu menanamkan pemahaman terhadap pembelajaran. Tentu saja guru sebagai fasilitator harus besedia dan mampu untuk menggerakkan pembelajaran berbasis multikultur. Tidak ada kehidupan yang indah dan damai tanpa adanya toleransi di antara warganya.

 

Dr. Rahutami, M.Hum. adalah Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd., dosen Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan pengurus PISHI.