Mengendus Keberadaan Dana Besar untuk Sukseskan Tunda Pemilu 2024

Isu dana besar untuk penundaan Pemilu sempat dilontarkan Benny dalam rapat bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Selasa (14/2). Ia mengkritik PPATK karena tak memaparkan dengan tegas soal aliran dana hasil transaksi ilegal lari ke modal pemilu, perjudian hingga narkotika.

Feb 16, 2023 - 16:24
Mengendus Keberadaan Dana Besar untuk Sukseskan Tunda Pemilu 2024

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Benny K Harman, mengendus isu keberadaan dana besar untuk penundaan pemilu di MPR/DPR. Menurut Benny, isu tersebut sudah diketahui banyak orang.

"Semua tahu itu. Saya kan di parlemen ini kan mencium baunya, harumnya. Mendengar ada, kebisingan ya kan. Seperti itu," kata Benny di Kompleks Parlemen, Rabu (15/2).

Isu dana besar untuk penundaan Pemilu sempat dilontarkan Benny dalam rapat bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Selasa (14/2). Ia mengkritik PPATK karena tak memaparkan dengan tegas soal aliran dana hasil transaksi ilegal lari ke modal pemilu, perjudian hingga narkotika.

Terlebih, kata Benny, saat ini sudah memasuki tahun politik Pemilu dan Pilpres 2024.

"Saya dengar dananya banyak sekali untuk penundaan pemilu, pakai dana untuk menunda pemilu banyak sekali dana-dana itu, yang enggak nampung lewat bank bisa langsung," katanya.

Anggota Komisi III DPR itu meminta PPATK membuka mata dan menelusuri dugaan aliran dana hasil transaksi ilegal untuk penundaan Pemilu.

Ditemui usai rapat Kepala PPATK Ivan Yustiavandana tak membantah soal kabar aliran dana besar hasil transaksi ilegal untuk modal pemilu. Namun, dia tak menjawab apakah dana tersebut salah satunya digunakan untuk penundaan pemilu.

Ivan enggan membeberkan angka pasti dari uang tersebut. Dia hanya menyebut nominal mencapai triliunan Rupiah.

"Jumlah agregatnya ya kita enggak ada, enggak bisa saya sampaikan di sini, pokoknya besar ya, triliunan angkanya," katanya, Selasa (14/2).

Ada Kecoak Demokrasi Desak Presiden 3 Periode

Terpisah, Guru Besar Ilmu Ekonomi Politik Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, menyebut buzzer-buzzer hingga relawan tokoh politik tertentu sebagai kecoak dan merupakan hama demokrasi.

Hal ini tak lepas dari rongrongan mereka agar ada perpanjangan jabatan presiden menjadi tiga periode.

Didik mengatakan, dalam demokrasi hanya terdapat empat pilar, yakni eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga pers.

Menurutnya, kehadiran buzzer dan relawan ini juga belum ada di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan baru muncul di era kepemimpinan Joko Widodo.

"Zaman SBY enggak ada, hanya periode ini kecoak-kecoak ini muncul, hama-hama demokrasi muncul dan hidup, dikasih genderang sama media juga," ungkap Didik dalam sebuah diskusi secara virtual, Minggu (5/2).

Menurut Didik, para buzzer dan relawan itu menjadi alat untuk membentuk opini publik. Mereka yang disebut sebagai hama demokrasi ini yang menurutnya membuat rumah demokrasi Indonesia keropos.

Didik mengatakan, keberadaan buzzer dan relawan tak ada dalam pilar demokrasi. Ia lantas menyebut, mereka hanya berada di bawah karpet kekuasaan.

"Coba bayangkan, demokrasi itu kan trias politika dasarnya. Kuasa kehakiman, pemerintah, DPR. Ada civil society, ada media. Relawan tuh di mana? Enggak ada, dia tuh di bawah karpet, di sela-sela, lubang-lubang tikus itu. Itu yang meramaikan tunda pemilu, (jabatan presiden) tiga periode," paparnya.

Ia menjelaskan keberadaan relawan, buzzer, atau tim sukses sebetulnya bukan hal yang salah. Mereka memang dibutuhkan, namun hanya untuk masa pemilu bukan saat-saat normal seperti sekarang.

"Lain kalau timses, itu kalau di masa pemilu. Ini di masa normal dia nempel di kekuasaan pemerintah menjadi alap-alap di bawah karpet. Dia bukan kementerian, bukan civil society seperti Muhammadiyah atau NU. Mereka ini alap-alap," jelas Didik.

"Jadi kita demokrasinya tuh banyak tikus dan kecoak-kecoak, itu relawan itu. Saya berani katakan," imbuhnya.

Tidak hanya itu, menurut Didik perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode justru berpotensi menggiring demokrasi Indonesia ke jurang.

"Ini berpotensi menggiring demokrasi ke jurang, dan ini permainan politik tingkat tinggi sampai alap-alap relawan," ucap Didik.

Wacana jabatan presiden tiga periode sebelumnya sempat digaungkan oleh Relawan Jokowi-Prabowo (Jokpro).

Mereka bahkan sempat mengklaim ada sinyal penerimaan wacana menjabat tiga periode dari Presiden Joko Widodo.

Bahkan mereka sempat mendorong MPR segera mengamandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dan mengubah aturan soal masa jabatan maksimal presiden dari dua menjadi tiga periode.

Bamsoet: Saya Cuma Pegang Palu

Sebelumnya, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan peluang terwujudnya penundaan pemilu tergantung pada sikap partai politik di DPR. Menurut Bamsoet dirinya sebagai Ketua MPR hanya memegang palu Sidang Istimewa.

"Sangat tergantung pada parpol-parpol yang ada di parlemen ini. Kalau saya kan cuma megang palu saja," kata Bamsoet di Kompleks Parlemen, Jakarta, Minggu (5/2).

Bamsoet sempat ditanya soal sikap parpol-parpol di parlemen untuk memperpanjang masa jabatan presiden atau menunda pemilu. Namun politikus Partai Golkar itu menolak menjawab pertanyaan.

"Ya tanya ketum parpolnya dong," ujarnya singkat.

Sebelumnya, pada akhir tahun lalu Bamsoet mewacanakan penundaan pemilu. Ia menilai penyelenggaraan Pemilu 2024 perlu dipikirkan ulang.

Politikus Partai Golkar itu berpendapat banyak potensi atau ancaman yang perlu diwaspadai bangsa dan negara. Ia juga menyinggung soal pemulihan bangsa dan negara akibat pandemi Covid-19.

Di sisi lain, dia juga mengaku khawatir dengan ancaman global.

"Ini juga harus dihitung betul, apakah momentum (Pemilu 2024) tepat dalam era kita tengah berupaya melakukan recovery bersama terhadap situasi ini dan antisipasi, adaptasi terhadap ancaman global seperti ekonomi, bencana alam, dan seterusnya," kata Bamsoet saat itu.

Ia turut menyinggung wacana perpanjangan masa jabatan presiden saat merespons hasil survei Poltracking Indonesia yang menyatakan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebesar 73,2 persen.

Bamsoet meminta Poltracking Indonesia menganalisa lebih lanjut terkait korelasi kepuasan masyarakat dengan keinginan perpanjangan masa jabatan presiden.

"Apakah kepuasan ini ada korelasinya dengan keinginan masyarakat terhadap beliau (Presiden Jokowi) tetap memimpin kita melewati masa transisi ini," ujar dia.(han)