Menelisik Kemelut dan Sengkarut Birokrasi di Balik Jas Putih Para Dokter

Namun setelah kembali mengingat poin ke-10 atas sumpah yang ia lafalkan, rasa-rasanya apa yang ia lihat selama ini harus diluruskan. Tradisi perundungan berkedok senioritas di kalangan tenaga medis menurutnya perlu dihilangkan. Menurutnya, sangat disayangkan apabila jas putih itu dikotori oleh percikan hitam.

Jun 28, 2023 - 01:43
Menelisik Kemelut dan Sengkarut Birokrasi di Balik Jas Putih Para Dokter

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Di antara segala riuh kebanggaan itu, Alvin merenungi beberapa hal, terutama setelah ia melihat dunia kedokteran pun tak jauh dari senioritas. Ia tidak menampik berdasarkan cerita dari sejawatnya, praktik senioritas memang terjadi di hampir seluruh ranah pendidikan bahkan profesi.

Alvin Saputra masih mengingat dengan jelas saat ia mengikrarkan sumpah dengan rasa haru dan bangga di momen pelantikan dokter pada 2019. Teringat kalimat magis, 'saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara kandung'.

Dengan segala 'keagungan' yang disematkan mayoritas publik terhadap profesi kedokteran, ia kala itu ikut bangga bisa mengenakan jas putih setelah bertahun-tahun berjibaku mengenyam pendidikan akademik di bangku kuliah sejak 2013.

Belum lagi apabila Alvin runtut melanjutkan tahapan studinya, ia bakal menjadi garda terdepan dengan sematan profesi mulia. Memberikan pengobatan, perawatan, dan perpanjangan tangan Tuhan untuk menyembuhkan para pasien.

Namun setelah kembali mengingat poin ke-10 atas sumpah yang ia lafalkan, rasa-rasanya apa yang ia lihat selama ini harus diluruskan. Tradisi perundungan berkedok senioritas di kalangan tenaga medis menurutnya perlu dihilangkan. Menurutnya, sangat disayangkan apabila jas putih itu dikotori oleh percikan hitam.

Dalam tingkatannya, calon dokter spesialis pada semester 1-3 masuk kategori junior. Sementara mereka yang sudah di semester 4-5 bertanggung jawab untuk mendidik junior.

"Bullying tidak harus fisik. Biasanya terjadinya karena ketimpangan kekuasaan atau feodalisme, juga revenge (balas dendam). Memang bukan luka fisik yang membekas, tetapi jutaan nominal rekening orang tua yang berkurang," kata Alvin saat ditemui CNNIndonesia.com di bilangan Jakarta Selatan, akhir Februari lalu.

Alvin mengaku menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat rekannya yang merupakan seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) atau disebut residen mendapatkan panggilan di malam hari dari seniornya.

Panggilan itu menurutnya tidak memiliki urgensi dengan profesinya. Saat itu, senior meminta agar junior residen mengganti ban mobil dini hari. Tak hanya itu, acap kali yang dikeluhkan residen adalah para senior menuntut untuk menyediakan set menu makanan lezat hingga renovasi ruangan memakai dana pribadi.

Belum lagi urusan privasi di sosial media yang menurutnya juga tak relevan dengan profesi. Contoh kecil saja, senior tak memperbolehkan junior menyetel aturan 'private account' pada sosial media mereka. Pun belum lagi beberapa unggahan yang sering dikomentari senior dengan sindiran.

"Kalau dihubungi senior, response time balas chat atau telepon harus kurang dari semenit. Jadi residen dituntut prima tanpa dibayar," kata dia.

Alvin juga menyadari akan banyak pihak yang berkomentar setelah dirinya berani bersuara lantaran dirinya memutuskan tidak melanjutkan tahapan PPDS, namun malah seolah sudah terjun di dalamnya. Menurutnya apa yang diucapkannya hari ini merupakan pengakuan dari para sejawatnya dengan menyertakan bukti valid.

"Ya, kalau ada di bawah sistem itu, tidak mungkin berani berucap. Sekali mencuat habis sudah mimpinya menjadi seorang dokter spesialis," tuturnya.

Sebab, layaknya 'perundungan' pada umumnya, lanjut Alvin, banyak junior yang tidak berani melapor. Sebab beberapa preseden memperlihatkan bahwa pelapor justru akan ditandai dan menjadi seolah public enemy lantaran hubungan senior-junior yang terjadi itu dianggap lumrah.

Dokter sekaligus Influencer Alvin Saputra. (CNN Indonesia/Khaira Ummah)
PPDS menurutnya tentu akan berpikir ribuan kali untuk melapor, sebab kariernya sebagai dokter spesialis bisa terancam apabila berani melapor.

Alvin tidak tahu menahu apakah profesi lain atau pendidikan lain juga bernasib serupa. Namun menurutnya, feodalisme yang mengakar itu perlu menjadi perhatian luas masyarakat dan pemerintah. Bahwa perlu ada revolusi untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik dan manusiawi.

"Memang ini tidak menggeneralisasi perlakuan ini ada di setiap FK dan residen ya, tetapi kalau ditanya apakah bullying ini ada? Iya ada. Yang saya ingin highlight, 'we are equal, you just started it first'. Jadi kalau startnya kita sama-sama dari nol juga belum tentu kamu hebat dari saya dan sebaliknya," ujarnya.

Di sisi lain, seorang residen yang bercerita sebagai anonim mengatakan praktik senioritas di tempatnya menempuh PPDS membuatnya tidak nyaman. Bahkan, ia menemukan praktik perundungan sudah dilakukan sebelum masa studi resmi dimulai.

"Yang saya kurang suka, ada bagian di mana mereka senior menyuruh dengan cukup keras, juga dengan menghina. Kita dihukum dengan dikumpulkan, kemudian dimarahin dan diceramahin sampai jam tiga pagi. Sementara kita jam lima sudah harus mulai bekerja lagi. Dan itu terus berulang sampai kita melewati semester tiga," ujar residen tersebut kepada CNNIndonesia.com.

Misalnya, kegiatan kuliah seharusnya baru dimulai pada 1 September, akan tetapi ada kegiatan orientasi bayangan sejak 2 Agustus atas inisiatif senior. Menurutnya, kegiatan tersebut ilegal karena tidak ada pemberitahuan pada pengumuman resmi.

Pada orientasi bayangan tersebut, residen harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dari kejadian itu, ia pun mulai berpikir pada interaksi tersebut sudah menghabiskan tabungannya, sementara masa pendidikan 5 tahun tentunya akan menelan biaya yang jauh lebih besar.

"Yang saya permasalahkan adalah uang-uang yang tak ada hubungannya dengan pendidikan. Uang untuk menjalani hidup berlebihan, uang yang bisa dikatakan pemerasan," kata dia.

Dalam forum terbuka pada akhir tahun lalu pun, seorang dokter residen asal Sumatera Barat sempat mengakui praktik senioritas di tempatnya. Diniy Miftahul M. menyebut tradisi itu terjadi secara turun temurun, meski ia tidak merinci bentuk senioritas itu.

"Saya baru semester tiga saya melihat fenomena ini terus berulang walaupun mungkin sebenarnya sering dialami mereka senior sudah lebih dulu mendapatkan bullying. Apa yang kami dapatkan mungkin enggak ada seberapanya dibandingkan dulu, sehingga bullying itu terus berulang," ujar Diniy.

Diniy lantas berharap agar pemerintah maupun organisasi profesi mampu menyudahi praktik senioritas itu dan memberikan perlindungan pada residen, sehingga proses kelahiran seorang tenaga medis, khususnya dokter Indonesia bersih dari perundungan.

IDI tak segan beri sanksi

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi tak menampik praktik senioritas itu memang ada. Kendati dirinya sebagai pucuk organisasi profesi (OP) selalu mewanti-wanti agar para dekan fakultas peduli terhadap temuan itu.

"Satu dua kasus ada, tapi kami akan tetap berusaha membantu menyelesaikan, dan komunikasi kami adalah kepada dekan," kata Adib kepada CNNIndonesia.com awal Maret lalu.

Adib mengatakan para residen memang harus ditempa dengan mentalitas yang kuat, sebab mereka nantinya akan berhadapan dengan pasien dan juga kondisi force majeure. Apabila residen mendapatkan jam kerja berlebih atau mendapatkan tugas tambahan, menurutnya itu masih bisa didiskusikan.

Namun, ada hal prinsipil yang menjadi pantangan bagi senior ke junior. Pertama, terkait permintaan besaran uang untuk keperluan di luar pendidikan. Adib mengecam praktik itu dan tak segan menjatuhkan sanksi disiplin.

Kedua, perundungan fisik. Dalam aspek ini, temuan itu bahkan bisa dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Pun juga perundungan yang menyebabkan residen merasa terasing dan berniat berhenti di tengah jalan. IDI bersama Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) menurutnya telah berupaya 'membasmi' kejadian semacam ini.

"Hotline sejak kepengurusan saya, saya buat. Jadi memang ya tadi ada yang anonim gitu dan bukan hanya masalah pendidikan, semua masalah, seperti iuran tambahan di daerah, tolong dilaporkan," kata Adib.

"Nanti kita akan komunikasikan, tidak perlu harus menyebutkan nama, tetapi kalau mau menyebutkan nama lebih bagus lagi agar semakin mudah kami telusuri dan tindak," imbuhnya.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam kesempatan yang sama mengatakan pemerintah bakal membuat regulasi untuk mengatasi permasalahan itu. Sehingga, para tenaga medis dapat tumbuh menjadi dokter yang profesional, bermartabat, dan berperilaku baik pada pasien.

Budi menyebut apabila semisal ditemukan rumah sakit tidak menangani kasus pelaporan perundungan, maka dirinya bisa memecat direktur rumah sakit tersebut. Ia pun mewanti-wanti agar para residen semester 3 tidak melanjutkan tradisi senioritas apabila mereka naik jenjang nantinya.

"Aku ada list bullying-nya, aku tahu kok, jadi yang akan aku lakukan aku akan taruh di regulasi," kata Budi.

Saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Azhar Jaya menyampaikan pihaknya bakal merancang sistem pendidikan yang lebih transparan, salah satunya, melalui simplifikasi aturan.

"Jadi begini ya, kayak bullying itu memang ada, saya tidak tutup mata, kemungkinan ada, tapi susah dibuktikan karena itu tadi tidak banyak pelapor," kata Azhar.

Ia selanjutnya menyinggung temuan kasus senioritas juga berpotensi dialami residen yang dinyatakan lulus dan siap bertugas, namun terkendala oleh para dokter senior yang sudah 'menjaga' wilayah praktik, sehingga ada potensi takut tersaingi, dan menyebabkan residen tersebut gagal berpraktik di daerah yang dituju.

Melalui transformasi kesehatan, Azhar menyebut nantinya sistem distribusi dokter akan diatur melalui sistem informasi yang dikelola Kemenkes dan terintegrasi dengan daerah, sehingga penempatan para dokter baru akan sesuai dengan peruntukan dan kebutuhan daerah.

"Misalnya ada suatu daerah gitu ya, mau ada dokter baru lulus. Kemudian kalau di situ sudah ada senior semua, maka yang baru lulus ini enggak boleh masuk atau yang baru lulus ini takut. Itu kita buat sistemnya transparan, sehingga InshaAllah potensi kasus bullying ini bisa kita hindari," ujarnya.

Darah biru dalam kemelut birokrasi

Alvin sebelumnya tak menampik fenomena 'darah biru' dalam sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Julukan darah biru disematkan bagi dokter yang membangun dinasti atau mahasiswa kedokteran yang berasal dari keluarga dokter.

Misalnya, saat mengerjakan tugas, mahasiswa 'darah biru' atau memiliki kedekatan relasi dengan para dokter pengampu bakal dipermudah, sementara mahasiswa biasa cenderung dipersulit. Namun temuan ini juga tidak dapat digeneralisasi, lantaran menurutnya tak terjadi pada semua dosen pengampu dan semua FK.

"Kalau untuk yang biasa itu julukannya darah vena seperti aku," seloroh Alvin.

Selain itu, Alvin menyoroti sejumlah temuan terkait proses pemberian Satuan Kredit Profesi (SKP) yang tebang pilih. Misalnya, segelintir pihak dapat mengantongi SKP lebih cepat sebagai syarat mengurus Surat Tanda Registrasi (STR).

Dalam hal ini SKP yang dikumpulkan dalam jumlah yang ditentukan oleh organisasi profesi berguna sebagai salah satu syarat dokter mengantongi atau memperpanjang STR yang berlaku per lima tahun.

Kewajiban dokter untuk memenuhi SKP guna penerbitan sertifikat kompetensi (Serkom) sesuai dalam buku BP2KB IDI adalah 250 SKP dalam 5 tahun. Ini berarti 50 SKP dalam setahunnya. SKP bisa didapatkan dari sejumlah kegiatan.

Dalam ranah profesional dapat didapatkan melalui praktik melayani pasien. Kemudian pada ranah pembelajaran dengan mengikuti seminar atau workshop, dan yang terakhir dari ranah pengabdian dengan bergabung pada bakti sosial bisa berupa penyuluhan atau kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat.

IDI mengatakan fenomena darah biru memang ada, namun tidak sebanyak yang publik kira. Misalnya, apabila berbicara data, maka Ketua Umum PB IDI Adib menyebut dokter pengampu yang memiliki anak seorang mahasiswa hanya 2 persen.

"Jadi kalau yang masalah darah biru ya kebetulan kalau saya bukan bukan darah biru, dan saya termasuk yang salah satu lahir bukan anaknya profesor, bukan anaknya konsultan. Tapi, Alhamdulillah saya bisa spesialis juga gitu," kata Adib.

Simplifikasi aturan

Kemenkes selanjutnya mengklaim penyederhanaan aturan salah satunya menjadi solusi dari permasalahan tersebut. Lewat Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kesehatan, STR tenaga kesehatan dan tenaga medis yang saat ini perlu perpanjangan per lima tahun akan diubah menjadi berlaku seumur hidup layaknya ijazah.

Selain itu, pemerintah bakal melakukan simplifikasi SKP dan Surat Izin Praktik (SIP). Upaya penyederhanaan birokrasi itu menurut Kemenkes berangkat dari laporan para nakes dan tenaga medis yang mengeluhkan ruwetnya perizinan mereka.

Sebagai pembanding, saat ini syarat membuat STR yakni di antaranya; ijazah pendidikan bidang kesehatan, surat keterangan dokter ber-SIP, pas foto terbaru, KTP, serkom atau sertifikat profesi, surat sumpah, dan surat patuh etika profesi.

Dirjen Nakes Kemenkes Azhar menyebut sejumlah keluhan muncul dari syarat serkom yang susah lantaran SKP yang tersendat-sendat progresnya.

Sementara nantinya, guna memenuhi kecukupan SKP, dokter dan nakes harus mengumpulkan SKP dalam jumlah tertentu yang dimasukkan ke sebuah sistem informasi (SI) yang dikontrol oleh Pemerintah Pusat.

Serkom baru diterbitkan oleh pemerintah daerah baik Dinas Kesehatan atau pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) jika dokter dan tenaga kesehatan telah memenuhi kecukupan jumlah SKP tertentu di dalam SI tersebut.

Proses registrasi dan izin praktik pun akan terintegrasi dan terhubung antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

"Jadi nanti pengumpulan SKP akan dilakukan terstandar. Kita akan duduk bersama, berapa sih sebenarnya standarisasi pembobotan SKP, dan bagaimana kita bisa membantu nakes untuk kemudahan akses mendapatkan pelatihan dan seminar," ujarnya.

Sementara aturan penerbitan SIP tetap memerlukan STR dokter atau STR dokter gigi yang masih berlaku. Kemudian mempunyai tempat praktik, dan juga memiliki rekomendasi dari organisasi profesi. Namun ke depannya, rekomendasi itu dilakukan oleh sistem, sehingga tidak perlu bertemu langsung dengan OP di daerah.

Penolakan IDI

Sementara itu, Adib menilai kebijakan masa berlaku STR seumur hidup sejatinya menjadi permasalahan baru. Ia pun menyinggung bagaimana sistem pengawasan kepada para tenaga medis dan nakes ke depannya apabila mereka tidak memiliki standar dalam berpraktik.

"Saya seorang dokter ortopedi, misalnya kemudian dianggap akan terus menjadi dokter ortopedi seumur hidup, maka yang akan dirugikan adalah masyarakat dari aspek pelayanan. Karena masyarakat akan terlayani oleh seorang dokter yang tidak dinilai kompetensinya," kata Adib.

STR seumur hidup menurutnya membuat tidak ada evaluasi terhadap para dokter yang biasanya dilakukan dalam perpanjangan STR setiap lima tahun sekali. Padahal penilaian reguler itu akan mengkaji kembali pengetahuan para tenaga medis dan nakes, kemampuan psikomotorik, serta etika mereka.

Di sisi lain, Sekretaris Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan Judilherry Justam menilai selama ini IDI dan sejumlah OP super body. Judil menilai justru saat ini liberalisasi sektor kesehatan sudah terjadi dengan IDI sebagai organisasi massa yang memiliki wewenang besar dalam menentukan nasib dokter.

"Di negara lain tidak ada seumur hidup, malah di Amerika itu tidak mengenal STR. Untuk apa diperpanjang terus, di Singapura itu berlaku seumur hidup. Di Jerman ijazah itu dianggap STR. Di Malaysia juga berlaku seumur hidup. Lalu kenapa kita harus mempersulit dokter, untuk membuatnya setiap lima tahun?" kata Judil.

Judil mengatakan peran IDI sebagai organisasi massa yang memiliki wewenang 'perizinan' melalui aturan saat ini, tidak memiliki presedennya di ranah kedokteran negara-negara maju, bahkan negara tetangga. Masalah izin dan penjaminan kompetensi dokter menurutnya adalah sepenuhnya wewenang pemerintah, tanpa tersandera oleh OP.(CNN/han)