Menelisik Baku Sikut China-Jepang Dibalik Impor KRL Baru

Ia menyebut pengadaan KRL baru itu juga bagian dari rangkaian pemenuhan sarana KRL Jabodetabek yang dibahas dalam Rapat Koordinasi yang dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pada Juni 2023 lalu.

Feb 2, 2024 - 08:18
Menelisik Baku Sikut China-Jepang Dibalik Impor KRL Baru

NUSADAILY.COM – JAKARTA - China kembali menikung Jepang di proyek pengadaan kereta di Indonesia. Usai proyek kereta cepat, kini Beijing kembali sukses menggolkan impor KRL baru senilai Rp783 miliar.

KAI Commuter resmi membeli tiga rangkaian KRL baru dengan tipe KCI-SFC120-V dari perusahaan China, CRRC Sifang Co., Ltd pada Rabu (31/1).

"Pengadaan sarana KRL baru ini merupakan pemenuhan atas jumlah sarana KRL sesuai dengan kebutuhan pelayanan pengguna Commuter Line Jabodetabek 2024-2025, yang sudah mencapai hampir 1 juta pengguna per harinya," ungkap Direktur Utama KAI Commuter Asdo Artriviyanto melalui keterangan resmi.

Ia menyebut pengadaan KRL baru itu juga bagian dari rangkaian pemenuhan sarana KRL Jabodetabek yang dibahas dalam Rapat Koordinasi yang dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pada Juni 2023 lalu.

Adapun seluruh pembiayaan pengadaan tersebut berasal dari pinjaman KAI Commuter, shareholder loan dari PT KAI, dan bantuan dari Pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara (PMN).

Ia mengungkapkan pengadaan KRL ini dilakukan untuk penambahan kapasitas angkut pengguna dan replacement kereta yang akan diretrofit oleh PT INKA.

Menurutnya, sarana KRL yang sudah memasuki masa peremajaan secara bertahap akan terus dilakukan penggantiannya dengan proses retrofit.

Hal ini untuk menjaga kebutuhan operasional layanan Commuter Line Jabodetabek dengan target 1,2 juta pengguna per hari pada 2025.

KAI Commuter juga memprediksi pertumbuhan volume pengguna Commuter Line Jabodetabek sebesar 4 persen per tahun atau bertambah sebanyak 16,98 juta pengguna setiap tahunnya.

Pengadaan tiga rangkaian KRL baru ini sebenarnya sudah ramai dibicarakan sejak tahun lalu. Saat itu, KAI Commuter mengungkapkan impor bekas yang berasal dari Jepang dan baru bisa tiba di Tanah Air pada 2024.

VP Corporate Secretary KAI Commuter Anne Purba mengatakan mulai Juli 2023 pihaknya melakukan asesmen administrasi, teknis, dan negosiasi dengan pabrikan Jepang. Meski demikian, ia belum membocorkan dari pabrikan mana KRL itu akan dibeli.

Kala itu, Anne menargetkan pada Agustus-September 2023, tanda tangan kontrak untuk impor KRL bisa dilakukan. Kemudian, dalam 14 bulan hingga 15 bulan setelahnya akan dilakukan proses produksi, pengiriman, hingga sertifikasi kereta untuk siap dipakai.

Namun rencana impor tersebut mental setelah ditolak Luhut. Menurutnya, impor KRL bekas itu tak dilakukan karena berpotensi melanggar tiga aturan yaitu peraturan presiden (Perpres), aturan di Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perhubungan. Untuk memenuhi kebutuhan armada, pemerintah akan mengimpor KRL baru.

Sumber CNNIndonesia.com yang mengetahui soal rencana impor KRL mengatakan ada dugaan sikut-sikutan antara China dengan Jepang di balik kisruh rencana impor KRL bekas.

China mengancam akan menahan gelontoran pinjaman untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) jika Indonesia ngotot mengimpor KRL bekas dari Jepang.

"Dilema kalau ambil dari Jepang, China (CDB) katanya enggak mau kasih pinjaman utang buat proyek KCJB," kata sumber tersebut.

Namun, pernyataan sumber tersebut dibantah Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Septian Hario Seto.

Ia mengatakan setiap keputusan yang diambil pemerintah terkait impor KRL bekas dari Jepang dilandaskan pada kehati-hatian pemerintah.

Pemerintah tidak ingin kasus korupsi impor KRL bekas Jepang yang pernah terjadi pada 2006-2007 lalu terulang lagi.

"Tidak ada, tidak ada (sikut-sikutan). Tidak ada hubungannya, saya jamin tidak ada (sikut-sikutan) itu. Kita kan hanya hati-hati impor KRL bekas ini karena dulu sempat ada kasus. Kami tidak mau ini terulang," katanya.

China sebelumnya juga pernah menikung Jepang di proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang kini bernama Whoosh.

Awalnya, Jepang yang akan menggarap proyek ini namun batal di tengah jalan. Setelahnya, China masuk.

Pada 2020, Luhut mengaku ditugasi Presiden Jokowi untuk melobi China agar mau mendanai proyek kereta cepat tersebut.

"Presiden perintahkan saya untuk pergi ketemu Tiongkok. Kita lihat kalau mereka setuju dan prinsipnya setuju bagaimana kita," kata Luhut.

Lantas apa urgensi pemerintah mendadak impor KRL baru dari China dan bukan dari Jepang?

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang berpendapat seharusnya pemerintah tetap mengimpor KRL dari Jepang ketimbang dari China.

Pasalnya, Indonesia sudah terbiasa dengan KRL buatan Jepang. Penggunaan produk baru dari negara lain tentu akan memakan waktu lama untuk perkenalan hingga perawatannya.

"Karena kita sudah terbiasa dengan KRL buatan Jepang. Masinisnya buatan Jepang, operator sarananya juga buatan Jepang, pemeliharaannya pun juga terbiasa dengan buatan Jepang. Ini ada produk baru, tentunya ada waktu untuk pengenalan produk lagi, perawatan lagi, jadi membutuhkan ekstra waktu," kata Deddy dilansir CNNIndonesia.com, Kamis (1/2).

Untuk masalah kredibilitas, Deddy menganjurkan pemerintah memilih kereta dari Jepang. Dari segi harga pun, menurut dia, kereta milik Jepang jauh lebih murah.

"Kereta Jepang harganya pun lebih murah daripada kereta China. Kalau kita breakdown, harga (China) sekitar Rp21 miliar. Kalau buatan Jepang mungkin jauh lebih murah. MRT dulu fase 1 sekitar Rp12 miliar. Makanya, jauh lebih murah sebetulnya," jelas dia.

Namun, Deddy tak memungkiri bahwa kereta produksi China juga tak kalah baik dari Jepang. Buktinya, lanjut dia, kereta cepat Whoosh Jakarta-Bandung yang juga diimpor dari China hingga kini berjalan lancar.

Deddy pun membantah bahwa kereta cepat Whoosh kini menempuh sejumlah kendala.

"Sejauh ini saya lihat bagus-bagus saja. TIdak ada masalah. Kalau masalah prasarana. Ya mungkin ada. Saya lihat juga masalah safety-nya juga sudah bagus," ungkapnya.

Deddy menduga alasan pemerintah lebih memilih mengimpor kereta dari China ketimbang Jepang karena terdapat sejumlah kemudahan yang diperoleh jika memilih kereta China.

"Kemungkinan, karena kereta China itu lebih mahal, mungkin ada jaminan suku cadang. Atau mungkin garansinya waktunya lebih lama, mungkin bisa 10 tahun, 20 tahun garansi, misalnya," jelas dia.

Pertimbangan Harga

Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno bercerita sebenarnya pemerintah pada awalnya memang ingin mengimpor KRL dari Jepang. Namun, kata dia, Jepang tak pernah membuat kereta untuk diekspor.

Menurut dia, Jepang tidak sanggup untuk membuat kereta yang diminta oleh PT KAI.

"Karena dia produksinya hanya di dalam negeri aja selama ini. Dan kemudian harganya juga tiba-tiba katanya mau (naik) 40 persen, kan enggak biasa (Jepang) menangani itu," kata Djoko kepada CNNIndonesia.com.

Djoko menjelaskan Jepang selama ini hanya membuat kereta di dalam negeri dan terbuka jika negara lain ingin membelinya. Namun, berbeda dengan China, ia menyebut Jepang tak pernah produksi kereta untuk negara lain.

"Karena dia enggak biasa. Dia enggak pernah ekspor. Hanya kebutuhan negaranya sendiri saja yang dipenuhi dia," ujarnya.

Hanya saja, Djoko berpendapat kemungkinan pemerintah tak memilih impor dari Jepang karena harganya yang lebih mahal dibandingkan dengan harga kereta dari China.

"Kok lebih mahal, hitungannya pas terakhir katanya ada penambahan 40 persen itu dari harga itu, wah kok lebih mahal. Sementara dibandingkan China lebih murah. Dan China mau, dia after sales-nya seperti apa di permintaan-permintaan itu mau. Ya udah, yang penting untuk keselamatannya terjamin aja," jelas Djoko.(han)