Menebak Nasib Timnas Usai Iwan Bule Didesak Mundur Efek Panas KLB

PSSI pimpinan Mochamad Iriawan juga dinilai saling melempar tanggung jawab dalam Tragedi Kanjuruhan yang menelan 132 korban meninggal dunia. Sikap seperti ini dianggap akar masalah buruknya kompetisi di Tanah Air.

Nov 26, 2022 - 16:59

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan meminta Ketua Umum PSSI dan Komite Eksekutif (Exco) mengundurkan diri dari federasi.

Dalam dokumen laporan yang disampaikan ke Presiden Joko Widodo, TGIPF menyebut PSSI tidak profesional, tidak memahami tugas dan peran, serta cenderung mengabaikan peraturan dan standar yang sudah dibuat FIFA.

PSSI pimpinan Mochamad Iriawan juga dinilai saling melempar tanggung jawab dalam Tragedi Kanjuruhan yang menelan 132 korban meninggal dunia. Sikap seperti ini dianggap akar masalah buruknya kompetisi di Tanah Air.

Mengacu Statuta PSSI, anggota PSSI berhak mengirim pengunduran diri ke Sekretariat Jenderal selambatnya enam bulan sebelum akhir tahun kalender. Ini sesuai dengan Statuta FIFA 2022.

Masalahnya, ini sudah di pengujung tahun atau kurang dari enam bulan. Dengan kata lain pengunduran tersebut tidak memenuhi syarat statuta. Lantas bagaimana caranya agar bisa tetap mundur?

Mengacu Statuta PSSI, dua cara untuk menggelar KLB. Pertama atas permintaan Exco, dan kedua diminta oleh 50 persen anggota PSSI. Diketahui pemilik suara PSSI pada 2022 ini berjumlah 85.

Pemilik suara itu terdiri dari 34 Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI, 18 klub Liga 1, 16 klub Liga 2, 16 klub Liga 3, dan 1 Asosiasi Futsal. Artinya 43 pemilik suara sudah bisa mengajukan penyelenggaraan KLB.

Mengacu Pasal 30 Statuta PSSI, KLB harus digelar tiga bulan setelah adanya permintaan. Pemberitahuan lokasi dan tanggal KLB ini harus sudah disampaikan ke anggota paling lambat empat pekan sebelum pelaksanaan.

Dalam KLB inilah pengunduran diri ketua, wakil, dan Exco dapat ditetapkan. Dengan demikian pula harus ditetapkan tim transisi dan Komite Pemilihan untuk menjaring calon ketua umum dan anggota Exco baru.

Namun, berkaca dari sebelum-sebelumnya, KLB selalu menimbulkan situasi panas. Apalagi pengunduran Exco PSSI kali ini terkesan ada pemaksaan. Ini tak seperti kasus Edy Rahmayadi.

Bahkan ada masa PSSI sampai berseteru dengan PSSI karena dualisme federasi. Dalam artian TGIPF bisa saja menyarankan Exco PSSI mundur, tetapi sama sekali tidak bisa memaksakan kehendak.

Jika Exco PSSI yang kini tinggal 13 (setelah Wakil Ketua Umum II Cucu Soemantri dan Yunus Nusi mundur), menolak saran TGIPF, pemerintah tak bisa menekan. Jika sampai ikut campur, FIFA bisa memberi sanksi pembekuan.

Lain ceritanya jika 50 persen dari Exco mundur atau hanya tersisa tujuh, dengan terpaksa digelar KLB. Yang berhak menggelar KLB adalah Komite Pemilihan sebelumnya. Hanya saja KLB ini sekadar mengisi posisi yang lowong.

Karenanya rekomendasi TGIPF agar Mochamad Iriawan alias Iwan Bule dan segenap anggota Exco mundur, bisa membuat hubungan PSSI dan pemerintah memburuk. Apalagi ada poin kompetisi tak bisa digelar jika tak ada perubahan.

Ini ancaman yang serius. Liga 1, Liga 2, dan Liga 3, terancam tak bisa bergulir sampai Exco PSSI mundur. Artinya pula pemerintah akan menggunakan suara 50 suara untuk memaksa Exco PSSI menggelar KLB.

Terlepas dari segala dinamika yang mungkin timbul dari rekomendasi TGIPF ini, yang akan paling terdampak adalah Timnas Indonesia dan klub peserta kompetisi.

Saat ini PSSI sedang mempersiapkan Timnas Indonesia U-20 untuk tampil di Piala Dunia U-20 2023. Rencananya pertengahan bulan ini tim asuhan Shin Tae Yong tersebut akan melakukan pemusatan latihan di Turki.

Masalahnya, Shin sudah mengucap janji akan mundur dari Timnas Indonesia jika Iriawan mundur. Meski sebatas pernyataan di media sosial, biasanya pria Korea Selatan konsisten dengan sikapnya.

Jika sampai Iriawan mundur atau ditetapkan sebagai tersangka lanjutan Tragedi Kanjuruhan, sama seperti ditersangkakannya Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita, Shin Tae Yong juga bisa pergi.

Sebagian masyarakat Indonesia mungkin sudah kehilangan rasa hormat ke Shin. Sikapnya yang berdiri di belakang Iriawan membuat sebagian publik jengah. Namun, ada juga yang tetap mencintainya.

Situasi Timnas bisa dibilang akan dimulai dari nol lagi jika Shin pergi. Pasalnya pondasi yang dibangun pelatih 52 tahun tersebut mulai terlihat, meski belum benar-benar membuahkan hasil berupa prestasi.

Selain mengganggu persiapan tim ke Piala Dunia U-20 2022, asa meraih gelar juara Piala AFF 2022 pada Desember-Januari mendatang akan terhalang. Mencari sosok pelatih yang tepat bukan perkara mudah.

Ditambah lagi sebagian pemain Timnas mendukung sikap Shin. Sikap para pemain ini dianggap sebagian kalangan, cukup politis. Publik menilai bukan wilayah pemain mendukung atau meminta Iriawan mundur dari PSSI.

Tak hanya pemain Timnas, klub, pelatih, dan pemain sepak bola Indonesia sedang harap-harap cemas. Jika kompetisi tak bisa berjalan lama, otomatis masa kelam seperti saat pandemi akan kembali mereka rasakan.

Tarikan kampung atau tarkam, juga fun football akan menjadi ajang pemain mengisi kekosongan kompetisi. Klub yang telah menjalin sponsor pun akan kehilangan pemasukan selama tak ada kejelasan liga.

Imbasnya, jika tak ada kejelasan kompetisi, pemain otomatis akan dipotong pendapatannya. Tidak mungkin pula klub terus mengeluarkan dana dengan berlatih, sedangkan liga tak tahu kapan akan berjalan.

Inilah lingkaran setan jika tak ada kepastian kompetisi. Bukan hanya pemain dan pelatih, klub pun akan menjerit. Dan, psikologi inilah yang sepertinya sedang dibuat TGIPF untuk mereformasi PSSI saat ini.

Padahal, dalam konsep FIFA dan AFC setelah bertemu dengan perwakilan pemerintah serta PSSI yang lantas membentuk Gugus Tugas Transformasi Sepak Bola Indonesia, Liga 1 akan digulirkan pada akhir November.

TGIPF memang sudah bubar begitu laporan diberikan ke Presiden, tetapi rekomendasinya cukup bisa menjadi pegangan pemerintah. Dalam artian, akan ada kembali pertarungan politik di sepak bola Indonesia.(han)