Mencermati Kecemasan SBY Akan Terjadi ‘Chaos Politik’ Jika Sistem Pemilu Diubah di Tengah Jalan

Analis Politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago berpandangan 'chaos politik' bisa saja jika benar putusan MK mengubah sistem pemilu proposional terbuka menjadi tertutup. Namun, kata dia, 'chaos politik' ini terjadi di level partai politik.

Mencermati Kecemasan SBY Akan Terjadi ‘Chaos Politik’ Jika Sistem Pemilu Diubah di Tengah Jalan

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Isu soal sistem pemilu menjadi proporsional tertutup alias coblos partai kembali mengemuka usai ahli hukum tata negara, Denny Indrayana mengaku mendapat informasi penting terkait gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sistem Proporsional Terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja," kata Denny dalam keterangan tertulisnya, Minggu (28/5).

Denny menambahkan, enam hakim MK akan setuju untuk mengembalikan sistem proporsional tertutup. Sementara, tiga hakim lain akan menyatakan dissenting opinion. Informasi diklaim dari orang yang kredibel.

Seperti diketahui, MK tengah menguji gugatan atas beberapa pasal di UU 7/2017 tentang Pemilu. Perkara tersebut teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Salah satu gugatan yang dilayangkan adalah pasal yang mengatur soal sistem pemilu.

Dari sembilan partai di parlemen, hanya PDIP yang mendukung diterapkan sistem coblos partai. Sedangkan delapan fraksi lainnya mulai dari Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PAN, PKS, Demokrat, dan PPP menolak wacana tersebut.

Merespons pernyataan Denny, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpendapat pergantian sistem pemilu di tengah proses yang telah berjalan bisa menimbulkan 'chaos' politik. Hal ini disampaikan SBY lewat cuitan di akun Twitternya.

"Pertanyaan pertama kepada MK, apakah ada kegentingan & kedaruratan sehingga sistem pemilu diganti ketika proses pemilu sudah dimulai? Ingat, DCS (Daftar Caleg Sementara) baru saja diserahkan kepada KPU. Pergantian sistem pemilu di tengah jalan bisa menimbulkan 'chaos' politik," tulis SBY.

SBY juga menyebut dalam penyusunan DCS (daftar caleg sementara), parpol dan caleg berasumsi sistem pemilu tidak diubah, tetap dengan sistem terbuka. Menurut dia jika diubah di tengah jalan oleh MK, akan menjadi persoalan serius.

"KPU dan Parpol harus siap kelola 'krisis' ini. Semoga tidak ganggu pelaksanaan pemilu 2024. Kasihan rakyat," katanya.

Potensi chaos politik

Analis Politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago berpandangan 'chaos politik' bisa saja jika benar putusan MK mengubah sistem pemilu proposional terbuka menjadi tertutup. Namun, kata dia, 'chaos politik' ini terjadi di level partai politik.

"Chaos politik akan muncul di level partai, partai-partai politik yang selama ini bergantung dan menang karena dihidupi para caleg dia akan dirugikan dengan sistem ini karena yang calegnya, bukan partai yang kuat, apalagi dalam konteks Pemilu serentak," kata dia saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (29/5).

Selain itu, Arifki juga menilai 'chaos politik' tak menutup kemungkinan juga terjadi di level masyarakat.

Ini akan muncul jika ternyata caleg yang mereka pilih tak lolos imbas nomor urut mereka yang berada di urutan bawah dari daftar. Sebab, dalam sistem proporsional tertutup ini, penentuan calon terpilih dilakukan berdasarkan nomor urut.

"Ini juga akan menimbulkan kekisruhan publik karena publik mengharapkan yang biasanya mereka pilih orang yang mereka inginkan, tapi ternyata orang lain yang menang, ini kan ada perbedaan agenda politik elit dengan agenda politik masyarakat," ujarnya.

Senada, pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah Castro juga berpendapat 'chaos politik' imbas dari perubahan sistem pemilu itu bisa saja terjadi. Sebab, saat ini partai politik juga menyerahkan DCS ke KPU.

"Akan terjadi chaos politik, akan menjadi gaduh ya, apalagi kalau kemudian partai politik sendiri tidak siap mengelola keputusan MK itu," kata Herdiansyah.

"Saya khawatir kalau kemudian partai politik justru tidak siap mengelola putusan MK itu mengembalikan ke sistem proporsional tertutup itu kan luas implikasinya, orang pasti akan ribut-ribut, gontok-gontokan karena berebut siapa yang bisa ditempatkan di nomor urut yang paling atas," lanjut dia.

Pakar hukum tata negara Universitas Udayana, Jimmy Usfunan menyebut memang ada potensi para caleg yang sudah didaftarkan akan melayangkan protes buntut perubahan sistem pemilu itu.

Hal ini lantaran pada awal pendaftaran tentunya para caleg ini tak mempermasalahkan soal nomor urut yang mereka peroleh. Persoalan ini, menurut Jimmy, harus bisa diselesaikan oleh partai politik dengan melakukan komunikasi bersama para caleg yang didaftarkan atau diusung.

Jimmy pun meyakini persoalan ini bisa diselesaikan secara internal oleh partai politik, sehingga 'chaos politik' tak sampai terjadi.

"Ya sebenarnya kalau dalam konteks ini kalau untuk sampai chaos tidak ya, karena tentunya partai politik itu menempatkan kadernya itu menggunakan nomor urut sesuai kedekatan, ini kader-kader terbaik, katakanlah ini kader urusan hukum, atau ini kader untuk urusan kesehatan, tentunya ini sudah menjadi pertimbangan tidak hanya pertimbangan popularitas semata," tutur Jimmy.

Situasi akan berbeda jika sebuah partai politik menggunakan pendekatan popularitas dalam menentukan nomor urut calegnya. Namun, Jimmy berpandangan saat ini banyak partai politik yang menentukan nomor urut caleg berdasarkan pada pertimbangan kemampuan, bukan popularitas.

"Jadi sekalipun tiba-tiba putusan MK berubah katakanlah, maka sebenarnya persoalan-persoalan dinamika itu tdak terlalu keras, karena paling hanya beberapa pihak yang kemudian mencoba untuk protes ke partai politik, atau bisa saja kedua mereka kemudian tidak terlalu optimal kerjanya untuk meraup suara," ucap dia.

Di sisi lain, Arifki menyebut perubahan sistem pemilu yang beirimbas timbulnya 'chaos politik' bisa berujung bisa berpotensi pada penundaan pemilu.

Apalagi, jika kemudian muncul anggapan bahwa KPU selaku penyelenggara Pemilu tak bisa mengatasi dampak yang ditimbulkan imbas keputusan MK tersebut.

"Kalau nanti misalnya KPU dianggap kewalahan atau mungkin Bawaslu dianggap tidak sanggup, ini bisa mengarah ke sana (penundaan pemilu)," kata Arifki.

"Ketika misalnya narasinya ketika pemilu dilanjutkan mungkin nanti akan chaos, akan pusing untuk diurus karena setiap orang punya agenda berbeda, enggak ada agenda yang diarahkan oleh satu orang, makanya penundaan pemilu bisa saja terjadi karena kemungkinannya akan lebih buruk ketika dibiarkan pemilu berlanjut," lanjutnya.

Arifki juga khawatir jika putusan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup diputuskan oleh MK pada saat last minute. 

Arifki menuturkan perubahan sistem pemilu akan berdampak pada aturan hingga tahapan pemilu. Bahkan, bisa saja aturan soal pemilu harus dibuat ulang dan dimulai dari awal.

"Karena enggak mungkin kita memakai aturan yang skemanya terbuka, tapi kita menggunakan sistem tertutup, itu berbeda aturan, maka diulang lagi, artinya kalau diulang lagi tentu tahapannya kan berubah, apakah ada penundaan pemilu di agenda ini saya tidak tahu. Kalau diulang lagi di awal, tentu apakah kita jadi Februari pemilu, makanya ini simpang siur.

Sementara itu, Herdiansyah menyampaikan pemilu ditunda atau tidak imbas perubahan sistem pemilu, tergantung pada kesiapan partai politik dan KPU selaku penyelenggara pemilu.

Herdiansyah menilai isu soal penundaan pemilu ini memang terus bergulir, meskipun tak ada isu soal perubahan sistem pemilu lewat putusan MK.

Dia justru mengatakan khawatir isu soal perubahan sistem pemilu ini justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memang ingin mempertahankan kekuasaan pemerintahan Presiden Joko Widodo.

"Saya khawatir ini akan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang memang sudah sejak awal menginginkan penundaan pemilu untuk mempertahankan kekuasaan Jokowi hari ini, itu pasti akan dipakai dan menurut saya isu itu tidak pernah berhenti, selalu ada dan selalu digulirkan," sambungnya.

Hal berbeda disampaikan oleh Jimmy. Menurutnya, terlalu jauh jika perubahan sistem pemilu akan berdampak pada wacana penundaan pemilu. Sebab, berdasarkan undang-undang, penundaan pemilu tak mungkin dilakukan.

"Penundaan pemilu itu kan tidak dimungkinkan dalam konteks UUD, di UUD pun sudah memberikan batasan bahwa pemilu setiap 5 tahun," ujarnya.

Jimmy justru melihat jika penundaan pemilu dilakukan imbas perubahan sistem pemilu, justru akan menimbulkan 'chaos ketatanegaraan'. Pasalnya, penundaan pemilu itu tidak sejalan dengan undang-undang.

"Kalau seandainya terjadi penundaan itu maka akan terjadi persoalan, justru ini yang menimbulkan 'chaos ketatanegaraan' karena atas dasar apa presiden itu bisa memperpanjang jabatannya, kemudian anggota DPR bisa memperpanjang, nah itu justru yang menjadi persoalan, polemik ketatanegaraan," pungkasnya.(han)