Menanti Janji-janji Manis KPK Tangkap Harun Masiku

Pada Rabu, 8 Januari 2020, Tim Satuan Tugas (Satgas) Penindakan KPK yang dipimpin Rizka Anungnata (penyidik yang disingkirkan oleh Firli Cs lewat asesmen Tes Wawasan Kebangsaan atau TWK dalam rangka alih status menjadi ASN pada 2021) berhasil membongkar kasus dugaan suap PAW Anggota DPR RI 2019-2024.

Jun 14, 2024 - 01:26
Menanti Janji-janji Manis KPK Tangkap Harun Masiku

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Januari 2020 silam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengagetkan publik dengan melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap anggota KPU-RI periode 2017-2022 Wahyu Setiawan dan tujuh pihak lainnya.

OTT berkaitan dengan kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) Anggota DPR RI 2019-2024 yang turut menyeret mantan calon legislatif PDI Perjuangan (PDIP) Harun Masiku.

OTT kali ini merupakan yang kedua di era kepemimpinan KPK jilid V era Firli Bahuri Cs yang terpilih sebagai komisioner menjelang akhir tahun 2019 bersamaan dengan pengesahan atas perubahan kedua Undang-undang (UU) KPK.

Kedua 'paket' itu dinilai banyak kalangan-- aktivis antikorupsi, guru besar, akademisi, mahasiswa, hingga kalangan buruh-- akan melemahkan kerja-kerja KPK khususnya di bidang penindakan.

Pada Rabu, 8 Januari 2020, Tim Satuan Tugas (Satgas) Penindakan KPK yang dipimpin Rizka Anungnata (penyidik yang disingkirkan oleh Firli Cs lewat asesmen Tes Wawasan Kebangsaan atau TWK dalam rangka alih status menjadi ASN pada 2021) berhasil membongkar kasus dugaan suap PAW Anggota DPR RI 2019-2024.

Namun, operasi senyap tersebut diduga bocor. Rizka dkk tidak berhasil menangkap Harun dan satu orang lainnya diduga elite partai. Tim KPK justru disekap, digeledah, dan dipaksa untuk tes urine di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan. Hanya Rizka yang dibebaskan dari penyekapan lantaran salah satu polisi yang melaksanakan perintah atasan mengenalnya.

Sejak saat itu, penanganan kasus Harun Masiku tidak menemui titik terang. Sejumlah kendala lain juga diterima tim penyidik KPK, satu di antaranya gagal menggeledah kantor PDIP.

Kini, di usia perkara yang sudah lewat empat tahun, dalam beberapa waktu terakhir, KPK gencar memeriksa sejumlah saksi. Yakni Wahyu Setiawan pada Desember 2023; pengacara Simeon Petrus serta Melita De Grave dan Hugo Ganda (Mahasiswa) pada Mei 2024; serta Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto pada Juni 2024.

KPK mengklaim telah mendapat informasi baru mengenai keberadaan dari Harun Masiku yang masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) pada 2020 lalu.

Lantas, apakah giat penindakan yang dilakukan tersebut merupakan bentuk keseriusan KPK untuk menangkap dan menggiring Harun Masiku ke muka persidangan? Ataukah hanya angin lalu belaka lantaran dugaan kepentingan politik di dalamnya?

Mantan penyidik KPK yang kini tergabung dalam Satgassus Pencegahan Polri, Novel Baswedan, meyakini penyidik KPK sangat serius untuk memproses hukum Harun Masiku. Akan tetapi, ia mafhum ada kendala baik dari internal maupun eksternal yang terus berupaya menggagalkan niat baik tersebut.

"Saya percaya penyidiknya akan bekerja baik," ucap Novel, mengutip CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Rabu (12/6) malam.

Novel lantas mengkritik Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang mengeluarkan pernyataan pers mengenai target atau harapan penangkapan Harun Masiku dalam waktu satu minggu.

"Statement Alexander Marwata yang berjanji akan menangkap dalam waktu satu minggu, saya tidak percaya. Karena setelah sekian lama belum tertangkap, mestinya tidak perlu berjanji tapi melaksanakan kewajibannya saja," ucap dia.

"Ketika hanya statement saja, saya khawatir ada kepentingan Alexander Marwata yang bukan merupakan kepentingan penegakan hukum," sambungnya.

Novel menuding Alex saat ini sedang menjalankan peran mantan Ketua KPK Firli Bahuri yang tidak memiliki keinginan memproses hukum Harun Masiku. Sebelumnya, Novel sempat mengeluarkan pernyataan pers yang meyakini Harun Masiku tidak akan tertangkap atau ditangkap selama Firli menjabat sebagai pimpinan KPK.

"Sekarang peran Firli diduga dijalankan oleh Alex," kata Novel.

Bersama Rizka Anungnata, Novel saat ini tergabung dalam Indonesia Memanggil (IM57+) Institute, organisasi yang fokus pada isu antikorupsi bentukan mantan pegawai KPK yang disingkirkan Firli Cs lewat asesmen TWK.

Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai pemeriksaan Wahyu hingga Hasto baru-baru ini harus menjadi momentum untuk kembali membuka lembar kelanjutan proses hukum. Sebab, Kurnia menyatakan sudah terlalu banyak kejanggalan dalam penanganan kasus tersebut seperti penyekapan penyidik di PTIK, kegagalan menggeledah kantor PDIP, hingga pemecatan penyidik yang menangani perkara.

Dalam analisis ICW, terang Kurnia, setidaknya terdapat empat hal yang harus segera KPK kerjakan guna segera memproses hukum Harun Masiku.

Pertama, pimpinan KPK harus mengevaluasi struktural penindakan KPK yang bertanggungjawab terhadap pencarian Harun Masiku, mulai dari Deputi Penindakan, Direktur Penyidikan, hingga level satuan tugas.

"Hal ini penting agar kemudian bisa terpetakan di mana sebenarnya hambatan dalam proses hukum terhadap Masiku," ujar Kurnia saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis, Kamis (13/6).

Kedua, ICW meminta pimpinan KPK membangun kerja sama dengan penegak hukum lain seperti Bareskrim Polri dan Interpol, agar upaya pencarian Harun Masiku bisa lebih maksimal dilakukan. Bahkan, akan lebih baik lagi jika dibentuk tim gabungan yang berada di bawah koordinasi pimpinan KPK dan Kapolri.

Selanjutnya, Kurnia mengatakan pengembangan perkara juga mutlak harus dilakukan oleh KPK. Menurut dia, penambahan keterangan Wahyu dkk sebagai saksi harus ditindaklanjuti, misalnya dengan menelusuri sumber uang suap yang diberikan Harun Masiku kepada Komisioner KPU tersebut.

"Sebab, ada indikasi kuat sumber uang suap Masiku berasal dari pejabat teras partai politik," kata dia.

Catatan keempat yaitu ICW meminta Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk secara berkala mengawasi kerja penindakan KPK terkait pencarian Harun Masiku. Selain karena waktu pencarian yang sudah terlalu lama, kegagalan menangkap Harun Masiku ini juga kerap dikeluhkan oleh masyarakat.

"Peran pengawasan Dewas tersebut telah selaras dengan Pasal 37B ayat (1) huruf a UU KPK," ungkap Kurnia.

Politisasi kasus

Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Zaenur Rohman mempertanyakan alasan KPK baru memeriksa Hasto lagi pada tahun ini. Hasto pertama kali diperiksa KPK sebagai saksi pada akhir Januari 2020 silam.

"Mengapa setelah sekian lama, dulu memang pernah dipanggil (2020), tapi baru sekarang lagi dipanggil. Apakah dari dulu sampai sekarang tidak bebas dari tekanan politik, baru ketika sekarang peta politik berubah, PDIP di luar kekuasaan, kemudian Hasto dipanggil lagi," kata Zaenur lewat pesan suara.

"Menurut saya jangan sampai ada tuduhan seperti itu dari masyarakat kepada KPK," sambungnya.

Zaenur meminta KPK harus profesional dalam menangani kasus Harun Masiku. KPK, terang dia, tidak boleh menjadi alat menekan untuk tujuan politik praktis.

"Sehingga KPK harus profesional, independen, KPK harus menolak intervensi politik dengan cara menangani perkara secara profesional. Jangan sampai ini Hasto dipanggil misalnya menjadi agenda politik. Misal untuk alat menekan dan seterusnya," kata dia.

Zaenur pun menekankan KPK harus segera memproses hukum dan menghadapkan Harun Masiku ke meja hijau, serta menindaklanjuti pihak-pihak lain yang diduga turut serta dalam tindak pidana seperti perintangan penyidikan.

"Perkara ini penuh dengan tanda tanya, penuh dengan kejanggalan, masuk ke Indonesia dari luar negeri tapi kemudian kabur lagi. Itu menunjukkan perkara Harun Masiku banyak kendala yang kendala itu bukan kendala teknis dalam arti kemampuan KPK untuk mencari, memulangkan, dan menangkap, tetapi ada kendala-kendala yang masyarakat menduganya ini memang kendala politik," ungkap Zaenur.

"Oleh karena itu, sekarang, di sisa waktu pimpinan KPK periode ini harus menangkap Harun Masiku, menghadapkannya ke meja hijau, dan memproses siapa pun orang yang turut serta melakukan tindak pidana. Harun Masiku menjadi pintu masuk untuk dapat mengungkap aktor-aktor lain," lanjut dia.

KPK menjelaskan pemeriksaan terhadap pengacara, mahasiswa, hingga Sekjen PDIP baru-baru ini menindaklanjuti informasi perihal keberadaan Harun Masiku.

"Sebagaimana yang sering kami sampaikan bahwa kami tidak pernah berhenti untuk mencari DPO. Ketika ada informasi baru yang kemudian masuk ke KPK pasti kemudian kami dalami lebih lanjut. Termasuk ketika mengetahui dugaan keberadaan dari DPO Harun Masiku ini, maka kami panggil orang-orang itu dengan kemudian dikonfirmasi dan didalami ada pihak tertentu yang sebenarnya tahu tapi kemudian tidak menyampaikan informasi dimaksud," ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Kantornya, Jakarta, Selasa (4/6) lalu.

KPK menegaskan tidak ada tekanan ataupun intervensi politik dalam penanganan kasus Harun Masiku.

"Sama sekali tidak ada (tekanan). Setidaknya saya enggak pernah dihubungi oleh pihak mana pun," tambah Alex Marwata, Rabu (12/6).

Latar belakang kasus

KPK membongkar kasus suap PAW Anggota DPR RI 2019-2024 lewat OTT pada awal Januari 2020 silam. Tim KPK menangkap Anggota KPU periode 2017-2022 Wahyu Setiawan dan tujuh pihak lainnya.

Selaku penerima suap adalah Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina yang juga orang kepercayaannya. Kemudian sebagai pemberi suap adalah Harun Masiku dan Saeful Bahri.

Wahyu menerima suap terkait penetapan anggota DPR terpilih 2024 dari fraksi PDIP. Caleg PDIP terpilih dalam Pemilu 2019, Nazarudin Kiemas, meninggal sehingga harus dicari penggantinya di kursi legislatif.

Pada awal Juli 2019, salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan seseorang bernama Donny Istiqomah mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara.

Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya Caleg Terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019.

Gugatan tersebut kemudian dikabulkan Mahkamah Agung pada 19 Juli 2019. Pada putusannya, MA menetapkan partai adalah penentu suara dan PAW.

PDIP lalu mengirim surat ke KPU guna menetapkan Harun Masiku sebagai pengganti Nazarudin Kiemas yang sudah wafat.

Akan tetapi, lewat Rapat Pleno 31 Agustus 2019, KPU justru menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti mendiang Nazarudin Kiemas.

Untuk mendorong Harun sebagai PAW, Saeful Bahri menghubungi orang kepercayaannya yang juga mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina, guna melakukan lobi. Agustiani pun menjalin komunikasi dengan Wahyu. Wahyu menyanggupi membantu, dan meminta dana operasional Rp900 juta. Pemberian uang dilakukan dua kali.

Pemberian uang tersebut terjadi pada pertengahan dan akhir Desember 2019. Pada pemberian pertama, salah satu sumber dana memberikan Rp400 juta untuk Wahyu melalui Agustiani, Donny, dan Saeful. Kemudian Wahyu menerima uang lagi dari Agustiani sebesar Rp200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.

Lalu, pada akhir Desember 2019, Harun Masiku memberikan uang kepada Saeful sebesar Rp850 juta lewat salah seorang staf di DPP PDIP. Saeful memberikan uang Rp150 juta kepada Donny. Kemudian, sisanya Rp700 juta yang masih di Saeful dibagi menjadi Rp450 juta pada Agustiani, di mana Rp250 juta untuk operasional.

Dari Rp450 juta yang diterima Agustiani, sejumlah Rp400 juta merupakan uang yang ditujukan untuk Wahyu. Uang tersebut dalam bentuk dolar Singapura.

Pada 7 Januari 2020, Rapat Pleno KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun Masiku sebagai PAW, dan tetap pada keputusan awal. Wahyu lantas menghubungi Donny dengan menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan Harun Masiku menjadi PAW.

Selanjutnya, pada 8 Januari 2020, Wahyu meminta sebagian uangnya di Agustiani. Pada saat itulah, tim KPK melakukan OTT.

Pada Juni 2021, Wahyu Setiawan dijebloskan KPK ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah.

Wahyu harus menjalani pidana badan selama tujuh tahun penjara sebagaimana putusan MA Nomor: 1857 K/Pid.Sus/2021 jo putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 37/Pid.Sus-TPK/2020/PT DKI jo putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 24 Agustus 2020.

Dalam putusan di tingkat kasasi, Wahyu turut dihukum membayar pidana denda sebesar Rp200 juta subsider enam bulan kurungan. Hak politik Wahyu juga dicabut selama lima tahun.

Wahyu dinilai terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dengan orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fridelina, dengan menerima uang senilai total Rp600 juta terkait PAW anggota DPR RI periode 2019-2024.

Ia juga terbukti menerima Rp500 juta dari Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo, terkait dengan pemilihan Calon Anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode tahun 2020-2025.

Sejak 6 Oktober 2023, Wahyu sudah bebas bersyarat. Ia telah diperiksa KPK lagi sebagai saksi pada Kamis, 28 Desember 2023.

Sementara itu, pada Kamis, 2 Juli 2020, jaksa eksekutor KPK Rusdi Amin menjebloskan Saeful Bahri ke Lapas Kelas IA Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Berdasarkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 18/Pid. Sus-Tpk/2020/PN. Jkt. Pst tanggal 28 Mei 2020, Saeful divonis dengan pidana 1 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan.

Sedangkan Agustiani divonis dengan pidana empat tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan.(han)