Melihat ‘Hubungan Rahasia’ Indonesia-Israel dari Masa ke Masa

Interaksi kedua negara bahkan sudah berlangsung setelah Israel mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara berdaulat yakni pada 1948.

Apr 29, 2023 - 17:12
Melihat ‘Hubungan Rahasia’ Indonesia-Israel dari Masa ke Masa

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Sejumlah pihak menganggap Indonesia seharusnya membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika memang ingin benar-benar membantu Palestina memperjuangkan kemerdekaannya secara riil.

Dengan menjalin hubungan formal dengan Israel, Indonesia dinilai bisa berperan lebih signifikan lagi-salah satunya sebagai mediator-demi membantu menyelesaikan konflik dengan Palestina.

Gaduh Piala Dunia U-20 2023 yang batal digelar di Indonesia akibat penolakan kehadiran timnas Israel kembali mematik perdebatan apakah penting bagi Jakarta menjalin hubungan diplomatik dengan Tel Aviv?

Di sisi lain, pihak yang kontra menganggap menerima kehadiran timnas Israel ke Indonesia sama saja mengkhianati Palestina, apalagi menjalin hubungan normal dengan negara Zionis tersebut.

Selama ini, pemerintah Indonesia juga menegaskan tidak pernah ada niatan membuka hubungan diplomatik dengan Israel dalam waktu dekat. Namun, Indonesia ternyata menjalin interaksi hingga kerja sama yang tak sedikit dengan pihak dari Israel.

Tolak akui Israel
Interaksi kedua negara bahkan sudah berlangsung setelah Israel mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara berdaulat yakni pada 1948.

Saat itu, Indonesia juga baru tiga tahun usai mendeklarasikan kemerdekaan pada 1945 dan tengah gencar-gencarnya mencari pengakuan dari komunitas internasional. Salah satu misi diplomatik pertama Indonesia juga dikerahkan ke Timur Tengah yang dipimpin oleh Wakil Menteri Luar Negeri RI saat itu, Agus Salim.

Di tahun-tahun itu, Indonesia fokus menjajaki hubungan diplomatik dengan negara Arab seperti Mesir, Suriah, hingga Arab Saudi. Sejak itu, relasi RI dan negara Arab kian mesra lantaran sama-sama tengah berjuang lepas sepenuhnya dari penjajahan.

Kedekatan dengan negara Arab pun berbuah manis di forum internasional. Saat perjuangan kemerdekaan Indonesia dari Belanda diperdebatkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), delegasi negara Arab mendukung penuh Jakarta.

Pada Desember 1949, presiden Israel saat itu, Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben-Gurion mengirim telegram kepada Sukarno dan Muhammad Hatta ucapan selamat atas deklarasi kemerdekaan RI dari Belanda. Pada Januari, 1950, Menlu Moshe Sharett juga mengirim telegram ke Hatta berisikan keputusan bahwa Israel memutuskan mengakui Indonesia sebagai negara merdeka seutuhnya.

Hatta membalas telegram Sharett dan Ben-Gurion dengan ucapan terima kasih. Namun, saat itu, Hatta menegaskan bahwa Indonesia tidak akan membalas Israel dengan pengakuan serupa atau resiprokal.

Pada 1952, melalui kantor berita Antara, Indonesia juga secara terbuka menegaskan tidak ada niatan mengakui Israel sebagai negara karena solidaritas atas dukungan negara-negara Arab terhadap Jakarta saat masa-masa perjuangan kemerdekaan. Saat itu, Palestina dan sejumlah negara Arab lainnya menjadi yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia.

"Oleh karena itu, (posisi Indonesia) itu jauh lebih karena alasan menentang penjajahan, dari pada solidaritas pan-Islamic, bahwa Indonesia dengan penuh semangat mendukung negara Arab dalam konflik mereka dengan Israel-yang dianggap Soekarno jembatan imperialisme Barat di Asia-Afrika," ucap Direktur Eksekutif Australia/Israel and Jewish Affairs Council (AIJAC), Colin Rubenstein, dalam esainya berjudul Indonesia and Israel: A Relationship in Waiting pada 2005 lalu.

Mulai lirik Israel
Setelah Soekarno lengser, politik luar negeri Indonesia lebih moderat menanggapi konflik Israel dan negara Arab termasuk Palestina. Indonesia disebut mulai melirik Israel untuk menjalin kerja sama, terutama dalam sektor pertahanan.

Kemampuan Israel memenangkan Perang Enam Hari pada 1967 melawan sejumlah negara Arab membuat pemerintahan Presiden Soeharto tertarik menjalin kerja sama dalam bidang militer.

Pada September 1979, sejumlah media asing bahkan melaporkan Indonesia meneken perjanjian untuk membeli 28 jet tempur skyhawk dan 11 helikopter dari Angkatan Udara Israel.

Pada 1982, Indonesia mengakui secara terbuka bahwa telah berurusan dengan Israel melalui pihak ketiga. Meski tidak menyebutkan siapa, namun mayoritas publik saat itu yakin Amerika Serikat menjadi perantara interaksi Indonesia dan Israel saat itu.

Demi meredam kritik dan protes publik soal hubungan diam-diam dengan Israel, pemerintah terus menyatakan kecaman terhadap aneksasi Israe atas Dataran Tinggi Golan dan agresi terhadap Libanon secara terbuka.

Namun, "hubungan rahasia" Israel dan Jakarta seperti makin terendus setelah Tel Aviv menghapuskan pembatasan izin masuk WNI ke negara Zionis itu.

Pada 1993, Menlu RI saat itu, Ali Alatas, dan Menlu Israel Shimon Peres, juga menggelar pertemuan formal di sela-sela Konferensi HAM PBB di Wina.

Dalam percakapan singkat mereka, Peres mengatakan Israel tertarik menjalin hubungan diplomatik terbuka dengan Indonesia. Sementara itu, Ali dilaporkan menanggapinya dengan mengatakan bahwa normalisasi hubungan dimungkinkan jika ada progres dalam pembicaraan damai dengan Palestina dan setidaknya kemajuan dalam penyelesaian konflik Arab-Israel.

Duta Besar Israel untuk Singapura saat itu, Daniel Megido, pun dilaporkan menindaklanjuti percakapan Peres-Ali dengan menggelar pertemuan bersama sejumlah diplomat RI di Jakarta.

Namun, Ali membantah pertemuan-pertemuan itu saat dicecar oleh media. Ia bahkan mengaku pertemuannya dengan Peres di PBB adalah kebetulan semata.

Berbeda dengan Ali, Menteri Pertahanan RI saat itu, Edi Sudrajat, mengatakan RI akan mempertimbangkan normalisasi hubungan dengan Israel asalkan proses perdamaian dengan Palestina berjalan dan memastikan semua kepentingan Palestina terakomodasi.

Hampir jalin hubungan diplomatik
Normalisasi hubungan Israel-Indonesia dinilai hampir terealisasi di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Setelah lawatan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin ke Jakarta pada 1993, Gusdur yang saat itu merupakan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan tokoh Islam paling berpengaruh di RI, mengunjungi Yerusalem pada 1994.

Sebelum terpilih menjadi presiden, Gus Dur memang telah dikenal dekat dengan tokoh-tokoh di Israel terutama terkait dialog antar-agama. Ia bahkan dianugerahi Magsaysay Award pada 1993 karena upayanya mendukung dialog antaragama di Indonesia. Penghargaan itu setara Hadiah Nobel di Asia.

Tiga hari setelah terpilih sebagai Presiden RI, Gus Dur sudah mendorong Indonesia lebih aktif dalam forum bisnis internasional. Salah satu masukannya adalah agar Indonesia mulai menjalin hubungan dagang dengan Israel seperti beberapa negara Arab lainnya saat itu.

Presiden ke-4 Indonesia itu bahkan sempat bikin heboh karena gagasannya yang ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

Saat itu, Gus Dur mengajak segenap rakyat Indonesia untuk memikirkan kembali betapa pentingnya menjalin hubungan dengan Israel demi membantu perjuangan Palestina untuk merdeka.

Menurut Gus Dur, Indonesia tidak mungkin berperan dalam prdamaian Palestina dan Israel jika tidak menjalin hubungan diplomatik dengan kedua negara itu.

Seperti dikutip situs resmi NU, dalam buku Damai Bersama Gus Dur, ada dua alasan yang diutarakan sang tokoh mengapa ia ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

Pertama, Gus Dur ingin memastikan kapitalis George Soros, yang keturunan Yahudi, tidak mengacaukan pasar modal.

Kedua, ingin meningkatkan posisi tawar Indonesia di Timur Tengah, sebab selama itu negara-negara di kawasan itu dinilai tidak pernah membantu Indonesia menghadapi krisis.

Meski begitu, niatan Gus Dur itu langsung ditentang banyak pihak di Indonesia, termasuk anggota DPR. Sementara itu, pemerintah harus mendapat persetujuan DPR untuk urusan menjalin hubungan dengan negara lain.

Sampai saat ini, pemerintah Indonesia di depan publik masih terus mengutuk keras Israel dan menegaskan tak ada niatan menjalin hubungan dengan negara Zionis itu.

Namun, laporan soal penjajakan hubungan diplomatik antara kedua negara kerap muncul dari laporan media-media asing, terutama media Israel, selama beberapa tahun terakhir.

Solusi
Menurut pengamat politik internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, prospek pembukaan hubungan diplomatik Israel-Indonesia semakin kecil.

Terlebih, belakangan Israel kembali menjadi sorotan lantaran aparatnya melancarkan kekerasan terhadap jemaah yang sedang beribadah di kompleks Masjid Al Aqsa saat Ramadan.

Aparat Israel menyerbu kompleks Al Aqsa dan memukuli para jemaah yang sedang salat. Beberapa hari kemudian, ribuan umat Yahudi menyerbu kompleks itu dengan dikawal polisi Israel.

"Dengan situasi saat ini, sepertinya sulit dan tidak mungkin (menjajaki hubungan normal dengan Israel). Lebih baik, jika mau, Indonesia bisa mempertimbangkan membuka hubungan dagang dengan Israel tanpa harus menjalin hubungan diplomatik--seperti halnya relasi RI-Taiwan selama ini," ucap Rezasyah, dikutip dari CNNIndonesia.com.(han)