Melihat Ada dan Tiada Nuansa Politik 'Orang Pusat' di Lumbung Suara Pulau Jawa

Merujuk Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), seluruh agenda pemilihan umum akan digelar serentak pada November 2024. Artinya, melalui aturan tersebut, tidak akan ada Pilkada yang diselenggarakan pada tahun 2022 dan 2023.

Jul 14, 2023 - 15:29
Melihat Ada dan Tiada Nuansa Politik 'Orang Pusat' di Lumbung Suara Pulau Jawa

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Tiga kepala daerah di pulau Jawa, yang menjadi lumbung suara terbesar Pemilu, diketahui masa jabatannya akan habis paling lambat akhir Desember mendatang.

Pemerintah sepatutnya tidak menjadikan momentum penunjukan Penjabat (Pj) Kepala Daerah sebagai alat untuk memobilisasi suara Pemilu 2024.

Bukan tidak mungkin penunjukan Pj Kepala Daerah justru akan menimbulkan polemik baru apabila ditemukan kedekatan atau afiliasi terhadap Capres atau Partai Politik tertentu.

Penunjukan Penjabat (Pj) Kepala Daerah harus dilakukan secara transparan. Mulai dari pengusulan calon hingga akhirnya resmi ditunjuk.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo akan selesai bertugas pada 5 September 2023.

Sementara Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa bakal menyelesaikan jabatannya di 31 Desember.

Merujuk Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), seluruh agenda pemilihan umum akan digelar serentak pada November 2024. Artinya, melalui aturan tersebut, tidak akan ada Pilkada yang diselenggarakan pada tahun 2022 dan 2023.

Sementara melalui Permendagri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pj Kepala Daerah, pemerintah khususnya Presiden diberikan kewenangan untuk menunjuk Pj Kepala Daerah yang kosong.

Pengamat Politik Universitas Andalas Asrinaldi berpendapat, sulit untuk tidak khawatir apabila penunjukan Pj Gubernur di tiga daerah tersebut tidak bermuatan politis.

Pasalnya, ia menilai kewenangan terbesar dalam penentuan Pj Kepala Daerah ada di tangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Presiden.

"Mengenai penunjukan Pj, sebenarnya ini terkait dengan apa yang diatur oleh UU Nomor 10 Tahun 2016, kemudian diturunkan menjadi Permendagri. Cuma persoalannya Menteri itu jabatan yang diberikan secara politis," ujarnya mengutip CNNIndonesia.com, Rabu (12/7).

Nuansa politis tersebut, kata dia, juga semakin kental mengingat ketiga daerah tersebut bakal menjadi lumbung suara terbesar bagi Calon Presiden ataupun Partai Politik.

Hal itu juga sejalan dengan data Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 milik Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang mencatat bahwa ketiga daerah tersebut berada di posisi atas sebagai penyumbang suara terbanyak.

Rinciannya Jawa Barat dengan 35.714.901 pemilih, Jawa Timur dengan 31.402.838 pemilih, dan Jawa Tengah dengan 28.289.413 pemilih.

Di sisi lain dengan tidak ada pengurangan wewenang bagi Pj Kepala Daerah, ia menilai siapapun yang ditunjuk juga memiliki kekuasaan yang besar untuk memobilisasi massa.

"Ini kan menjadi lumbung suara, kalau tiga daerah itu dikuasi secara maksimal, ya baik itu Pemilu atau Pilkada itu bisa memenangkan Calon Presiden atau Partai Politik tertentu. Jadi memang harus diawasi," tegasnya.

Oleh karenanya, ia mewanti-wanti pemerintah khususnya Mendagri agar seluruh proses penentuan Pj Kepala Daerah mulai dari pengusulan calon hingga akhirnya resmi ditunjuk dapat dilakukan secara transparan.

Pasalnya, bukan tidak mungkin penunjukan Pj Kepala Daerah justru akan menimbulkan polemik baru apabila ditemukan kedekatan atau afiliasi terhadap Capres atau Partai Politik tertentu.

"Sekarang tinggal bagaimana masyarakat sipil mengawasinya. Apakah ada afiliasi antara orang-orang yang dipilih pusat, kepada partai, atau kepada calon tertentu. Ini yang perlu diawasi bersama," tuturnya.

"Kita sama-sama berharap bahwa tidak ada kepentingan dari para Pj di tiga daerah ini. Karena tiga daerah ini memang lumbung suara dan menjadi kunci kemenangan Pemilu yang diikuti Parpol atau Capres," imbuhnya.

Kekhawatiran serupa juga disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari. Ia memandang dengan kewenangan yang begitu besar, penunjukan Pj Kepala Daerah oleh pemerintah pusat sangat rawan diselewengkan.

Feri mengkritik penerbitan Permendagri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pj Kepala Daerah juga tidak sejalan dengan amanat konstitusi. Ia mengingatkan Pasal 18 UUD Tahun 1945 mengamanatkan agar kepala daerah dipilih secara demokratis, baik langsung maupun tidak langsung.

"Pilihan demokratis penunjukan Pj Kepala Daerah adalah melalui pemilihan di DPRD Provinsi atau Kabupaten. Tugas Pemerintah Pusat hanya melantik saja," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (11/7).

Karenanya dengan mekanisme seperti itu, Feri menilai penunjukan Pj Kepala Daerah yang dilakukan pemerintah murni sebagai penempatan politis.

Menurutnya, pemerintah hanya ingin menempatkan sosok-sosok yang dinilai dapat membantu perolehan suara atau paling tidak menahan perolehan suara lawan pada saat Pemilu 2024 mendatang.

"Sedari awal kami sudah menyarankan agar pemerintah mematuhi UUD 1945, bahwa Kepala Daerah harusnya dipilih secara demokratis. Tetapi pemerintah sedari awal memang ingin menempatkan figur-figur tertentu dalam jabatan tersebut," tuturnya.

Nuansa politis itu, kata dia, juga semakin menguat dengan preseden penunjukan sejumlah Pj Kepala Daerah yang telah dilakukan pada Tahun 2022 kemarin. 

Salah satu contohnya yakni pada penentuan Pj Gubernur Aceh. Saat itu, DPRD Provinsi Aceh hanya mengusulkan Sekretaris Daerah Provinsi Aceh Bustami sebagai calon tunggal Pj Kepala Daerah. 

Dalam perjalanannya, Kemendagri juga ikut mengusulkan dua nama kepada Presiden Joko Widodo sebagai calon Pj Gubernur Aceh yakni Mantan Asisten Teritori KASAD Mayjen TNI (Purn) Achmad Marzuki dan Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Syafrizal.

Meskipun nama Bustami juga diserahkan kepada pihak Istana, pilihan Jokowi pada akhirnya tetap jatuh kepada Achmad Marzuki yang berasal dari usulan Kemendagri. 

"Itu salah satu contohnya. Hal yang sama juga terjadi di daerah-daerah lain," tuturnya. 

Lebih lanjut, Feri juga mengaku khawatir apabila Pj kepala daerah yang ditunjuk pemerintah pusat tidak akan akan benar-benar paham permasalahan yang ada daerah. Khususnya di daerah-daerah rawan konflik, seperti Papua dan Aceh.

Padahal penunjukan Pj Kepala Daerah seyogyanya dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan dan melaksanakan pelbagai kebijakan pemerintahan daerah.

"Makanya tidak mungkin memahami permasalahan. Jika dipilih terpusat pasti sangat pusat (pemikirannya) padahal harus memahami daerah, itu sebabnya mekanismenya harus di DPRD saja untuk memilih Pj kepala daerah," pungkasnya.(han)