Kasus Bos Rental Dikeroyok di Pati Bukti Lemahnya Kepercayaan Masyarakat pada Polisi

Berbekal penelusuran GPS yang dilakukan, mobil itu ditemukan di wilayah Sukolilo. Mereka pun berangkat ke lokasi dan menemukan mobil yang dicari pada Kamis siang. Berbekal kunci cadangan, mereka pun membawa mobil rental miliknya sendiri.

Jun 13, 2024 - 05:42
Kasus Bos Rental Dikeroyok di Pati Bukti Lemahnya Kepercayaan Masyarakat pada Polisi

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Aksi pengeroyokan terjadi terhadap bos rental mobil itu terjadi di Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah pada Kamis (6/6).

Peristiwa nahas bermula ketika BH dan tiga orang lainnya SH (28), KB (54) serta AS (37) mencari mobil rental yang hilang.

Berbekal penelusuran GPS yang dilakukan, mobil itu ditemukan di wilayah Sukolilo. Mereka pun berangkat ke lokasi dan menemukan mobil yang dicari pada Kamis siang.

Berbekal kunci cadangan, mereka pun membawa mobil rental miliknya sendiri.

Nahas, warga yang tengah melintas pun melihat aksi mereka. BH bersama ketiga orang lainnya dikira maling. Warga lantas berteriak hingga massa berdatangan.

Keempat orang itu diamuk massa hingga babak belur. Selain itu, mobil yang dikendarai keempatnya dari Jakarta ke Pati juga habis dibakar massa.

Polisi yang mendapat laporan itu mengevakuasi korban dan membawanya ke rumah sakit. Pada malam harinya, BH dinyatakan meninggal dunia.

Para tersangka pada perkara ini adalah warga Desa Sumbersoko, Sukolilo berinisial EN (51) dan BC (37), serta pembawa mobil rental AG (35).

Atas perbuatannya, ketiga tersangka kini telah ditahan dan dijerat Pasal 170 ayat 2 ke-3 KUHP dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.

Tak percaya polisi

Sosiolog Universitas Gadjah Mada Sunyoto Usman menilai bos rental mobil memilih untuk mencari mobilnya sendiri ke Pati lantaran tidak percaya dengan kinerja kepolisian.

Menurutnya, banyak masalah yang berkaitannya dengan hukum tapi tidak diselesaikan melalui lembaga peradilan karena ketidakpercayaan publik.

Dia juga menilai tindakan main hakim sendiri dengan mengeroyok bos rental saat mengambil mobilnya, juga terkait dengan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, dalam hal ini kepolisian.

"Sudah lama itu terjadi, tidak percaya itu ya. Malah kadang-kadang ada pepatah kalau punya masalah, misalnya kehilangan kambing kalau lapor polisi malah bisa kehilangan sapi. Jadi seperti awal tadi saya katakan, ada public distrust, yang pertama pada polisi," ujar Sunyoto, Selasa (11/6).

Selain ketidakpercayaan publik, Sunyoto menjelaskan, ketika orang-orang berkerumun maka akan sulit dikontrol. Mereka cenderung tidak mengikuti norma dan merasa bebas melakukan apapun.

Namun, kata dia, kerumunan dapat dikontrol apabila terdapat tokoh atau sosok pemimpinnya.

"Jadi yang pertama ada public distrust. Yang kedua itu persoalan kerumunan tadi itu. Nah itu, orang sudah meniru tindakan-tindakan sesuai dengan yang terjadi di kelompok itu," jelas dia.

Selain itu, Sunyoto menilai main hakim sendiri juga berhubungan dengan rendahnya kesadaran hukum warga negara.

Tak hanya itu, ia berpandangan bahwa lemahnya kepercayaan warga terhadap lembaga peradilan di negara ini juga menjadi penyebab di balik perilaku main hakim sendiri.

"Jadi tidak hanya polisi, (tapi juga) lembaga peradilan... Penilaian masyarakat kepada lembaga peradilan itu rendah," kata dia.

Dihubungi terpisah, dosen Sosiologi Universitas Nasional, Sigit Rochadi mengatakan kesadaran hukum masyarakat semakin menurun. Hal itu dibuktikan dengan semakin meningkatnya aksi kejahatan.

Menurut Sigit, meningkatnya kesulitan ekonomi yang dipicu oleh melemahnya perekonomian nasional dan semakin mahalnya bahan pokok, ikut menyumbang angka kejahatan.

"Lambatnya polisi menangani kasus-kasus kejahatan dan berbagai kejanggalan polisi dalam menangani kejahatan juga mendorong masyarakat mengambil jalan pintas," kata Sigit, Selasa (11/6).

Ia berpandangan bahwa kepuasan masyarakat terhadap kinerja polisi masih rendah. Menurutnya, polisi cenderung merespons kasus ketika masalahnya telah meluas atau menjadi perhatian publik alias viral.

"Emosi publik mudah mencuat jika berhadapan dengan pencurian barang-barang penting yang menjadi andalan anak muda (HP, laptop, motor, dan mobil)," ujar Sigit.

Selain itu, dia turut menyoroti teriakan 'maling' yang menjadi pemicu terjadinya penganiayaan terhadap bos rental mobil berinisial BH dan tiga rekannya itu.

"Emosi yang mencuat ini hanya menunggu faktor picu (trigger) untuk menggerakkan massa melakukan kekerasan. Teriakan 'maling', 'rampok', 'copet', 'jambret', dimaknai sebagai komando untuk menggerakkan massa menyerang sasaran," tutur Sigit.

Sigit mengatakan penyewaan mobil yang berpindah-pindah tangan banyak ditemukan di kota kecil. Mobil menjadi alat pamer seakan-akan penyewa telah berhasil dalam sisi ekonomi.

Dalam kasus ini, kata Sigit, bos rental mestinya menjelaskan persoalan secara baik-baik sebelum mengambil mobilnya sendiri.

"Dalam kasus pemilik rental di Pati Jateng, seharusnya pemilik rental bicara baik-baik dan menjelaskan persoalannya. Dengan menunjukkan bukti kepemilikan, maka pemilik rental akan mudah dipercaya oleh masyarakat di kota kecil yang masih memiliki kepedulian," kata Sigit.

Sementara itu, Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan laporan kepolisian yang disampaikan warga namun tak ditindaklanjuti oleh aparat, menjadi cerita lama yang terus berulang.

"Soal pelaporan dan respons, ini memang cerita klasik di mana laporan tidak ditindaklanjuti, ditindaklanjuti tapi lama atau tidak secara memuaskan. Wajar kalau pelapor kemudian tidak sabar dan memilih turun langsung," kata Adrianus, Selasa (11/6).

Adrianus berpandangan bahwa main hakim sendiri merupakan perilaku kelompok. Hal itu dapat dilihat dari sudut psikologi kelompok di mana bisa menghinggapi siapa saja.

Ia menilai pemicu main hakim sendiri itu berasal dari teriakan 'maling' dan juga lemahnya penegakan hukum di masyarakat.

"Karena penegak hukum lemah maka main hakim sendiri marak," kata Adrianus.

Dia menyebut beberapa alasan terkait lemahnya penegakan hukum di masyarakat, yakni kehadiran aparat penegak hukum (APH) belum merata, ketidakmampuan melakukan tindakan tegas karena berbagai pertimbangan, hingga adanya sub-budaya kekerasan di sebagian kalangan.(han)