PKPU Tak Tegas Atur Mantan Napi Koruptor dengan Pidana di Bawah 5 Tahun Ikut Pilkada 2024

“Apakah pasal tersebut diberlakukan pada seluruh ancaman pidana atau tidak? Baik ancaman pidana maksimal 5 (lima) tahun ke bawah maupun ancaman pidana minimal 5 (lima) tahun ke atas,” ujar Ketua Umum Cendikia Muda Nusantara (CMN), Afan Ari Kartika, dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Selasa (2/7).

Jul 3, 2024 - 07:29
PKPU Tak Tegas Atur Mantan Napi Koruptor dengan Pidana di Bawah 5 Tahun Ikut Pilkada 2024

NUSADAILY.COM – JAKARTA - PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 56/PUU-XVII/2019 terkait napi koruptor di UU Pilkada telah menimbulkan perbedaan penafsiran hukum.

Perbedaan penafsiran tersebut terkait penentuan ancaman pidana di kalangan masyarakat, khususnya terhadap mantan koruptor yang akan maju sebagai calon kepala daerah pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2024. 

“Apakah pasal tersebut diberlakukan pada seluruh ancaman pidana atau tidak? Baik ancaman pidana maksimal 5 (lima) tahun ke bawah maupun ancaman pidana minimal 5 (lima) tahun ke atas,” ujar Ketua Umum Cendikia Muda Nusantara (CMN), Afan Ari Kartika, dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Selasa (2/7). 

Afan menilai, MK dalam putusannya telah membedakan konstruksi hukum ancaman pidana maksimal 5 (lima) tahun atau di bawah lima tahun dengan ancaman pidana minimal 5 (lima) tahun atau lebih. 

"Konstruksi Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada hanya diberlakukan pada ancaman pidana minimal 5 (lima) tahun atau lebih dan tidak diberlakukan pada ancaman pidana minimal 5 (lima) tahun atau di bawah lima tahun," kata Afan.

Afan menyebut bahwa dengan konstruksi hukum demikian maka tidak ada perbedaan penafsiran lagi atas putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019. 

"Saya kira keberadaan putusan MK Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 12/PUU-XXI/2023 menjadi jawaban atas perbedaan penafsiran yang terjadi, sekaligus memberikan kepastian hukum yang tegas," ujarnya.

Lebih lanjut, Afan menilai bahwa untuk memberikan penegasan yang lebih kuat akan putusan MK tersebut, maka penting untuk melakukan penyesuaian regulasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), khususnya Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota (PKPU 8/2024) yang baru saja disahkan. 

Menurutnya, PKPU tersebut harus memastikan bahwa mantan narapidana koruptor dengan ancaman pidana maksimal lima tahun atau di bawahnya dapat mengajukan diri sebagai calon kepala daerah tanpa adanya hambatan hukum. 

Oleh karena itu, ia merekomendasikan untuk perubahan PKPU 8/2024 khususnya terhadap Pasal 14 ayat (2) untuk mempertegas bahwa eks napi koruptor dengan ancaman pidana maksimal 5 (lima) tahun atau dibawah 5 (lima) tahun bisa mengikuti Pilkada 2024 sebagaimana putusan MK Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 12/PUU-XXI/2023.

Hal ini tidak hanya sebagai implementasi dari putusan MK, tetapi juga sebagai upaya nyata untuk menjaga integritas proses politik dan membangun kepercayaan masyarakat.

"Transparansi dan akuntabilitas dalam pencalonan merupakan langkah penting untuk membangun kembali kepercayaan publik," ungkap Afan. 

"Dengan mengungkapkan latar belakang mereka secara jujur, eks napi koruptor dapat memainkan peran yang signifikan dalam membangun masyarakat yang lebih berkeadilan," imbuhnya.

Dengan demikian, perlindungan hukum dan hak asasi manusia bagi eks napi koruptor bukan hanya masalah regulasi, tetapi juga bagian integral dari upaya menuju demokrasi yang lebih inklusif dan transparan di Indonesia. 

Afan juga mengutip pertimbangan hakim konstitusi dalam Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 yang dengan tegas menyatakan bahwa pemilih memiliki hak untuk secara kritis menilai calon yang akan mereka pilih, baik yang memiliki kekurangan maupun kelebihan, untuk diketahui oleh masyarakat umum. Oleh karena itu, tanggung jawab tersebut sepenuhnya terletak pada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih. 

"Dalam konteks pengisian jabatan melalui pemilihan (elected officials), keputusan akhir berada di tangan masyarakat yang memiliki kedaulatan tertinggi untuk menentukan pilihannya. Ini menegaskan pentingnya partisipasi publik yang informan dan terinformasi dalam proses demokratisasi, sebagai landasan utama bagi kemajuan Indonesia menuju masa depan yang lebih baik dan lebih adil," tegasnya.

Afan juga berharap bahwa KPU dapat memperkuat regulasi yang mendukung prinsip-prinsip demokrasi yang inklusif dan transparan, serta memastikan bahwa setiap warga negara yang memenuhi syarat memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik. Dengan demikian, Indonesia dapat melangkah maju sebagai negara yang kuat dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang sehat dan berkeadilan.(han)