Jokowi Gelontorkan Subsidi Motor Listrik, Anehnya Klaim Pemerintahannya Pro Angkutan Umum

Jokowi justru mengeluarkan pernyataan yang bertolak belakang dengan klaimnya bahwa pemerintahannya pro angkutan massal. Jokowi justru menyebut pemerintahannya akan menggelontorkan subsidi besar untuk pembelian kendaraan listrik. Naah.

Feb 18, 2023 - 02:00
Jokowi Gelontorkan Subsidi Motor Listrik, Anehnya Klaim Pemerintahannya Pro Angkutan Umum
Presiden Joko Widodo/ ist

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengatakan tak mempermasalahkan Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, mengalami pembengkakan biaya sebesar Rp18 triliun. Pasalnya, Jokowi mengklaim pemerintahannya pro terhadap keberadaan moda transportasi massal.

"Kita ini harus pro kepada transportasi massal. Hati-hati, jangan pro pada kendaraan pribadi sehingga yang namanya MRT, LRT, kereta api, kereta api cepat itu menjadi sebuah keharusan bagi kota besar," ujarnya, Kamis (16/2).

Namun di tempat yang sama, Jokowi justru mengeluarkan pernyataan yang bertolak belakang dengan klaimnya bahwa pemerintahannya pro angkutan massal. Jokowi justru menyebut pemerintahannya akan menggelontorkan subsidi besar untuk pembelian kendaraan listrik. Naah.

Memang, Jokowi menyebut besaran subsidi tersebut masih dihitung oleh Kementerian Keuangan.

Tapi, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan pernah menyebut besaran subsidi yang akan diberikan mencapai Rp7 juta

Subsidi itu untuk pembelian motor listrik. Jokowi mengatakan subsidi untuk motor listrik akan didulukan.

BACA JUGA : Antara ‘Neraka’ Kemacetan, Subsidi Motor Listrik dan Klaim...

"Tapi tentu saja didahulukan untuk motor dulu. Tadi mobil-mobil listrik saya tanya antrenya ada yang setahun, antre ada yang dua bulan, enam bulan, inden. Apalagi diberi insentif. Tapi tetap dalam perhitungan dan kalkulasi tentunya," jelas Jokowi, dilansir dari detik.com 

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Deddy Herlambang mengatakan klaim Jokowi bahwa pemerintahannya pro angkutan massal jauh panggang dari api.

Bagaimana mungkin katanya, Jokowi bisa mengklaim pemerintahannya pro angkutan massal sementara ia sendiri malah berencana menggelontorkan insentif besar ke pembelian motor listrik dan mobil listrik.

Bukankah katanya, insentif itu justru akan mendorong orang untuk membeli kendaraan pribadi dan meninggalkan angkutan umum yang pada ujungnya bisa meningkatkan kemacetan lalu lintas.

Ia mengatakan daripada menggelontorkan subsidi besar untuk kendaraan listrik, Jokowi harusnya menggunakan dana subsidi itu untuk membangun infrastruktur angkutan massal yang pembangunannya sudah terlambat di Indonesia.

Ia mengatakan pembangunan sarana transportasi massal cukup penting untuk mengatasi kemacetan lalu lintas. Apalagi, Jokowi pernah mengungkap kemacetan lalu lintas telah menimbulkan kerugian ekonomi Rp100 triliun per tahun.

Kerugian itu hanya untuk kemacetan lalu lintas di Jakarta saja. Kalau ditambah kemacetan di daerah lain, mungkin potensinya bisa lebih dari itu.

"(Maka itu) Kemarin saya buat petisi untuk Pak Jokowi supaya tidak menyetujui subsidi kendaraan listrik ini karena masih lebih banyak yang membutuhkan di sektor fasilitas umum, termasuk transportasi umum. Kalau statement Presiden bilang mau begitu, ya memang saya anggap tidak konsisten. Saya anggap tidak konsisten dengan pembangunan angkutan umum yang tertatih-tatih," jelasnya kepada CNNIndonesia.com.

"Kenapa malah diberikan kepada pengguna kendaraan pribadi yang notabene tanpa subsidi pun sudah macet, apalagi dengan subsidi. Baiklah dengan dalih kendaraan listrik lebih ramah lingkungan bla bla bla, tapi kan tetap macet. Memang kalau sudah macet tidak masalah begitu? Kendaraan listrik semua hanya parkir di jalan, tidak jalan begitu. Itu tidak masalah? Kan percuma, tetap tidak produktif," sambungnya.

Ia mengatakan subsidi kendaraan listrik hanya akan menguntungkan industri otomotif. Deddy menilai lebih baik uang yang rencananya digunakan untuk subsidi motor dan mobil listrik itu dialokasikan saja untuk menambal cost overrun kereta cepat.

Menurutnya, prioritas pemerintah saat ini masih vehicle oriented alias ke kendaraan pribadi, bukan transit oriented. Deddy beranggapan jika memang Jokowi benar-benar transit oriented, harusnya subsidi diutamakan untuk kendaraan umum. Aneh jika pemerintah lebih mengutamakan subsidi kendaraan listrik pribadi.

"Makanya kita perlu pemerintah yang serius menggarap kemacetan. Kemacetan ini puluhan tahun tidak pernah diurus, eh tahu-tahu kampanye kendaraan listrik, baru kemarin sore ramah lingkungan bla bla bla, disubsidi. Ini kan baru kemarin sore kendaraan listrik, kemacetan sudah puluhan tahun," kritik Deddy.

Direktur Eksekutif INSTRAN itu menjelaskan sebenarnya ada dua skenario dalam memerangi kemacetan alias transport demand management (TDM), yakni push dan pull. Push artinya menekan atau membatasi kendaraan pribadi, sedangkan pull adalah bagaimana caranya menarik orang untuk menggunakan angkutan umum.

Deddy menilai jika keduanya tidak seimbang maka sia-sia saja. Meski sudah dibangun MRT hingga LRT, orang-orang nyatanya masih betah pakai kendaraan pribadi. Bahkan, jika MRT gratis pun, Deddy menilai semuanya percuma ketika kendaraan pribadi tidak dibatasi.

"Mungkin maksudnya Pak Jokowi itu mau merangkul semua pihak, ya pengusaha jalan tol dirangkul, pengusaha kereta dirangkul, pengusaha otomotif juga dirangkul, tapi kalau secara core kita tetap berharap di manapun, negara modern manapun tetap menomorsatukan angkutan umum," tegas Deddy.

"Semua dirangkul it's oke lah, dirangkul dengan aturan atau regulasi yang ada. Tapi harapan saya, sebagai Presiden, sebagai leader politik saya berharap Pak Jokowi tetap berpihak ke angkutan umum. Angkutan umum kita jauh tertinggal," tandasnya.

Pengamat Transportasi dan Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna mempertanyakan ucapan Jokowi soal subsidi kendaraan listrik, apakah itu benar dalam rangka mendorong penggunaan energi hijau atau ada motif lain.

Namun, apa pun motif itu katanya, mendorong penggunaan kendaraan pribadi, termasuk yang berbasis listrik dengan menggelontorkan subsidi adalah hal berat dengan situasi dan kondisi seperti sekarang

Yayat lebih menyarankan Jokowi fokus memperbaiki angkutan massal ketimbang transportasi lain.

Ia juga menuntut Jokowi untuk lebih terbuka dan transparan soal subsidi kendaraan listrik. Yayat mempertanyakan subsidi tersebut akan berlaku untuk kendaraan listrik dari pabrikan mana. Ia menyayangkan kalau subsidi itu hanya untuk membeli motor dan mobil listrik Made in China hingga Made in Korea.

"Artinya kalau kita terus mendorong penggunaan kendaraan pribadi, kita ini nunggu kiamat saja. Kiamat di jalan. Karena sekarang ini sudah terasa betapa macetnya Jakarta. Sudah dalam titik lelah kita ini menghadapi stres, kepadatan, kemacetan yang diakibatkan jumlah kendaraan pribadi yang sedemikian ini," tutur Yayat.

"Neraka kemacetan itu sudah membuat kita tuh dalam dilema. Dilema menurunkan produktivitas, menghabiskan BBM berjam-jam, semua habis hanya karena persoalan macet di mana-mana," imbuhnya.

Ia juga menyinggung soal hitung-hitungan Jokowi yang mengatakan Jakarta rugi lebih dari Rp100 triliun imbas kemacetan. Apalagi Jokowi membandingkan ketika dirinya masih memimpin sebagai Gubernur DKI 2012-2014, Ibu Kota diklaim hanya rugi Rp65 triliun. Menurut Yayat jumlah kendaraan pribadi memang terus meningkat.

Selain itu, Yayat menilai rata-rata Jakarta dibanjiri oleh pekerja dari daerah pinggiran yang membawa kendaraan pribadi. Ia lantas mempertanyakan dasar hitungan rugi Rp100 triliun itu, apakah produktivitas, bahan bakar, atau aspek kesehatan masyarakatnya. Menurutnya, kerugian paling berat sejatinya bersumber dari aspek kesehatan, dan itu tidak pernah dihitung.

"Jadi sekali lagi saya mengatakan, kota-kota seperti Jakarta, Bandung, dan metropolitan lain di perjalanan itu sudah dalam kategori neraka kemacetan karena begitu lama waktu yang kita habiskan di dalam perjalanan, begitu besar pemborosan energi, semakin tinggi polusinya, dan paling berbahaya adalah stres. Kalau penduduk suatu kota besar sudah mengalami stres, itu produktivitasnya aduh benar-benar itu, saya saja sudah stres ini sebenarnya," ungkapnya.

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mempertanyakan sikap Jokowi yang tidak mempermasalahkan pembengkakan biaya proyek kereta cepat. Menurutnya, definisi tidak masalah yang diungkap Jokowi menjadi kurang relevan jika dibandingkan dengan total biaya awal yang disepakati.

Apalagi jika nanti cost overrun harus menguras Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Memang betul bahwa peran pemerintah dalam menyediakan transportasi umum merupakan hal yang mutlak dilakukan. Namun, demikian ini menjadi kritik karena sebelumnya ini digembar-gemborkan sebagai proyek yang tidak akan melibatkan APBN. Sehingga ada semacam inkonsistensi dari apa yang disampaikan oleh pemerintah beberapa tahun lalu ketika ingin membangun proyek kereta cepat dan kondisi yang terjadi saat ini," kritik Yusuf.

Yusuf juga menilai pernyataan okowi tidak selaras dengan upaya pemerintah dalam penyediaan transportasi publik. Ia menilai program pemerintah dalam penyediaan transportasi publik belum semasif upaya mensubsidi pembelian kendaraan listrik.

Pemerintahan Jokowi seharusnya adil dalam melakukan penyediaan transportasi publik di seluruh kota-kota di Indonesia. Yusuf menegaskan hal tersebut perlu dikedepankan, bersamaan dengan upaya pemerintah mensubsidi pembelian kendaraan listrik.

Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana juga terang-terangan skeptis bahwa proyek KCJB akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Dengan perkiraan bakal memperoleh pendapatan hingga US$62,2 miliar atau setara Rp961 triliun (asumsi kurs Rp15.455 per dolar AS) dalam rentang waktu 2019-2050, Andri mempertanyakan berapa harga tiket yang diperlukan untuk mencapai target tersebut.

Berdasarkan hitungannya, jika harga tiket KCJB berkisar di antara Rp154 ribu hingga Rp350 ribu, tiket kereta cepat seminimalnya perlu dibeli oleh 1,8 juta orang per hari, mulai dari 2023-2050. Padahal, Andri mencatat rata-rata orang bepergian Jakarta-Bandung hanya 19 ribu orang per hari dengan seluruh moda transportasi.

Apalagi jika nanti Ibu Kota jadi pindah ke IKN Nusantara di Kalimantan Timur. Ia memperkirakan demand gap-nya akan sangat besar.

"Jadi yang pro kendaraan pribadi sebenarnya siapa? Apalagi saat ini masih banyak wilayah lain yang memerlukan fokus transportasi publik, seperti Kalimantan yang sampai sekarang tidak memiliki jalur kereta," tanya Andri keheranan dengan statemen Jokowi.

Di lain sisi, Pengamat Transportasi sekaligus Dosen Teknik Sipil Universitas Indonesia Andyka Kusuma mengatakan pembangunan infrastruktur tidak selalu harus dilihat hanya dari benefit cost (B/C) ratio. Ia menegaskan harus dilihat juga dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap ekonomi kawasan.

"Masalah subsidi ke kendaraan listrik, untuk kendaraan pribadi hanya untuk mempercepat konversi kendaraan mesin konvensional ke kendaraan listrik. Tidak menyelesaikan masalah kemacetan. Mungkin diperlukan analisa detail, apakah dengan memberikan keringanan itu bisa membantu pemerintah dalam menghemat subsidi BBM," tutur Andyka.(cnn/han)