Jaranan, Panca Niti dan Kontestasi Politik

Oleh: Sanusi, M.Pd.

Oct 25, 2023 - 17:16
Jaranan, Panca Niti dan Kontestasi Politik

LENGGANG lenggok para penari Cilik membawakan tarian Singo Barong sungguh menawan, mereka menari sangat kompak, gesit dan anggun. Tarian mereka ternyata menjadi pembuka Pagelaran seni dan budaya yang digelar Putro Suryo Budoyo, Desa Jambuwer Kabupaten Malang pada malam minggu yang lalu.  

Penulis sangat mengapresiasi pagelaran seni dan budaya ini, karena di desa sekecil itu semangat melestarikan budaya bangsa terus tumbuh ditengah gempuran modernisasi yang mengancam eksistensi kesenian-kesenian lokal. Para penari cilik menjadi pembuka pagelaran ini, juga menunjukan adanya proses regenerasi yang baik.

Seni pertunjukan, seperti halnya kesenian yang lain adalah merupakan produk kreatifitas manusia sebagai ekspresi dari pemikiran dan keinginan dalam menyikapi situasi sosial yang ada, karena itu sebuah seni lahir dengan latarbelakang yang beragam. Dengan memahami latarbelakangnya, maka kita akan segera dapat menangkap makna hakiki dan pesan moral yang terkandung di dalamnya.

Seorang Antropolog terkenal, Prof. Dr. Koencaraningrat, mendefinisikan seni budaya sebagai wujud kebudayaan manusia yang mengandung nilai-nilai estetika, moral dan religius. Seni budaya mencerminkan pengalaman hidup manusia dalam masyarakat yang kemudian direfleksikan dalam bentuk-bentuk seni. Sementara itu filsuf Barat John Dewey memaknai seni budaya sebagai kegiatan yang melibatkan imajinasi, perasaan, dan fikiran manusia dalam mencipatakan sesuatu yang baru.

Pengertian seni dan budaya yang diungkapkan dua tokoh di atas membuka wawasan kita bahwa, sebuah seni tidak berakhir ketika pertunjukannya usai digelar, melainkan harus digali  nilai-nilai moral di dalamnya. Kemudian karena kelahirannya melibatkan pemikiran, maka sudah seharusnya semua nilai dari karya seni itu mudah dicerna oleh akal manusia. Semua itu harus kita fikirkan, apa kiranya pesan moral yang terkandung dalam kesenian itu.

Kesenian Jaranan berkembang sangat luas, baik itu di jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tidak mungkin seni jaranan berkembang seluas itu dan tetap eksis meski sudah ratusan tahun tanpa nilai-nilai yang sesuai dengan kehidupan masyarakat, bukankah jika tanpa nilai yang berarti kesenian ini sudah lama dilupakan atau bahkan ditinggalkan sama sekali.

Pancaniti sebuah sains vision yang berkembang di masyarakat sunda, kiranya menjadi jembatan penghubung rasa kepenasaran tentang pesan moral dari seni Jaranan. Sesuai namanya Panca-lima dan Niti-tahapan,  maka Panca niti terdiri dari lima tahapan;

1.      Niti harti, tahapan memahami pengertian

2.      Niti surti, tahapan mengungkap rahasia dengan memahami pengertian yang ada

3.      Niti bukti, tahapan mencari bukti

4.      Niti bakti, tahapan berbakti atau mengamalkan ilmu yang didapat,  

5.      dan Niti sajati yang artinya tahap konsinten mengamalkan ilmu yang didapat dari hasil niti 1 sampai niti 4.

 

Sesuai sains vission itu, mari kita ungkap lebih jauh tentang seni Jaranan. Pertama, Jaranan-Jathilan atau kuda lumping adalah seni pertunjukan berupa tari-tarian,  dimana penarinya terdiri dari 6 orang. Masing-masing penari membawa ornamen kuda lumgping yang terbuat dari anyaman bambu dan cambuk.

Kedua, dengan memperhatikan urutan pementasan yang terdiri dari, buka kalangan, tarian kuda lumping, Tarian Barongan, Tarian Singo Barong dan pucaknya kesurupan. Jelas mengarah kepada suatu peristiwa tertentu yang cukup penting, sehingga diingat kuat secara turun temurun.

Ketiga, dari keterangan-keterangan yang ada baik secara tertulis maupun cerita-cerita rakyat. Tarian ini mengisahkan kepada peristiwa Sayembara putri Raja Airlangga (1919-1943) dalam upaya menikahkan putrinya Dewi Sonngolangit. Sayembara itu syaratnya, barangsiapa dapat membuat kesenian baru yang belum pernah ada di Pulau Jawa, maka ia akan menjadi suaminya. Banyak pelamar yang datang, antara lain raja Wengker (Klana Sewandono), utusan raja Blitar Singo Barong dan Singo Kumbang. Sayembara pun digelar dan akhirnya Klono Sewandono jadi pemenangnya dengan menciptakan tarian Jaranan.

Setelah mengalahkan Singo Barong dan Singo Kumbang, Klono Sewandono tidak membunuh Singo Barong dan Singo Kumbang, melainkan mereka berdua dijadikan pelengkap penarinya dari 4 orang menjadi 6 orang. Kemudian setelah Klono Sewandono menang putri Dewi Songgolangit di boyong ke Kerajaan Wengker-Ponorogo diiringi tarian Jaranan ini.

Keempat, dari kisah yang melatarbelakangi lahirnya seni jaranan ini, kita dapati dua pribadi luhur yang mengajarkan kebaikan. Yaitu Dewi Songgolangit, ia mengajarkan senang terhadap perubahan dan hal baru yang membawa kemajuan. Ia pribadi yang teliti dan tidak asal pilih, namun ia juga sosok yang setia dengan mau di boyong suaminya dari Kediri ke Wengker. Selanjutnya dari sosok Klono Sewandono, ia adalah pribadi yang inovatif dan pekerja keras. Klono Sewandono bukan pendendam, terbukti ia menjadikan pesaingnya Singo Barong dan Singo Kumbang sebagai pelengkap penarinya.

Kelima, Niti Sajati dari kisah Jaranan ini, kita dapati 6 karakter baik, yakni senang perubahan, teliti, setia, suka kerja keras, inovatif dan tidak suka dendam. Sebagaimana rule pada tahap ini adalah konsisten mengamalkan ilmu yang diperoleh, maka dapat diaplikasikan dalam kontestasi politik kita di tahun 2024 nanti.

Presiden Jokowi, menjadi contoh real dalam penerapan politik Jaranan, beliau telah menarik lawan politiknya, Prabowo Subianto ke dalam Kabinet Kerja yang dipimpinnya. Padahal kita tahu dalam kampanye pemilihan presiden periode lalu, keduanya berjuang saling mengungguli satu sama lain.

Pesan kesenian jaranan untuk tidak menyimpan dendam kesumat dan karakter-karakter lainnya,  tetap relevan dipraktekan di setiap tahun pemilu kita. Ketika kontestasi politik berlangsung semuanya diharuskan menggunakan kemampuan maksimalnya untuk memperoleh kemenangan, akan tetapi setelah diputuskan pemenangnya, kita tidak boleh terjebak pada skat-skat pilihan nomor satu, dua dan tiga.  Kemenangan  siapapun harus dimaknai sebagai kemenangan sebuah bangsa atas pelaksanaann pemilu yang LUBER dan JURDIL.

Pesan moral kesenian Jaranan sangat baik dan apabila bisa diterapkan dalam pemilu kita, maka sang pemenang tidak akan arogan dengan kemenangannya dan yang kalah tidak akan gengsi. Kedua belah pihak bisa saling melengkapi dalam konteks yang lebih luas, yakni membangun kehidupan bangsa ke arah kemajuan di masa kedepan. (***)

 

Penulis adalah Da’i dan Anggota Humanity First Indonesia