Higher Order Thinking Skills (HOTS) dalam Membaca

Oleh: Dra. Lis Setiawati, S.Pd., M.Pd.

Aug 17, 2023 - 18:27
Higher Order Thinking Skills (HOTS) dalam Membaca

Firman Allah selalu berisi hal baik. Wahyu pertama yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Rasulullah yaitu sebuah kalimat singkat “Iqra=bacalah”. Secara istilah kalimat ini bermakna “Belajarlah melalui membaca” Manusia diperintah membaca yakni memelajari segala yang dilihat dan didengar sehingga diperoleh banyak pengetahuan. Pengetahuan akan mengangkat manusia pada derajat yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk lain. Dengan demikian, rendahnya hasil belajar membaca menjadi hal yang tidak boleh diabaikan.

 

Awalnya ketika saya membaca hasil survei kemampuan membaca yang dilaksanakan PISA (Programme for International Student Assessment) terhadap siswa berusia 15 pada tahun 2015 yang menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 66 dari 72 negara, saya tidak terlalu merespon. Berikutnya, pada survei tahun 2018 peringkat Indonesia turun menjadi ke-74  dari 79 negara, saya mulai berpikir. Mengapa turun? Seharusnya hasil survei 2015 dievaluasi untuk mengetahui penyebab rendahnya kemampuan membaca siswa. Setelah diketahui penyebabnya, tentu dilakukan langkah-langkah perbaikan, ternyata pikiran pemerintah sama dengan pemikiran saya tidak merespon hasil survey PISA tahun 2015 (saya tersenyum). Syukurlah setelah hasil survei kedua (2018) muncul pikiran tersebut. Hasil survey PISA tahun 2018 dievaluasi. Setelah melakukan evaluasi, diketahui bahwa kelemahan Indonesia terletak pada ketertinggalan Indonesia dalam menerapkan cara berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS) dalam pembelajaran membaca (bahasa). Saya mengutip artikel https://ayomenulis.id

“Selama ini soal-soal ujian di Indonesia, katanya, memiliki tingkat kesulitan di bawah PISA—yang sudah berbasis HOTS. Hal tersebut dikarenakan negara-negara pendiri OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) organisasi yang mengadakan PISA telah menerapkan sistem taksonomi Bloom dalam sistem pendidikan mereka. Sementara kurikulum di Indonesia sama sekali tidak menerapkan sistem tersebut, kecuali untuk ujian nasional.

 

Tahun 2018 soal ujian nasional (UN) di Indonesia mulai memakai HOTS, hasilnya para siswa mengeluh tidak bisa mengerjakan soal. Mereka menganggap materinya terlalu sulit dan belum pernah diajarkan di sekolah. Keluhan yang wajar jika soal-soal yang diberikan kepada siswa berisi materi yang belum pernah diajarkan walaupun sebenarnya di dalam soal membaca bukan materi bacaan yang menjadi masalah, melainkan tingkat kemampuan berpikir seperti yang diterapkan oleh negara-negara lain.

 

Jika ada tingkat berpikir tingkat tinggi, tentunya ada tingkat berpikir tingkat rendah. Ya! Ada HOTS dan ada LOTS (Low Order Thinking Skills) berpikir tingkat rendah. Apakah seluruh guru di Indonesia mengetahui tentang hal ini? Jawabannya bisa saja sudah mengetahui, tetapi apakah juga mengetahui bagaimana menerapkannya? Jawabannya perlu dibuktikan.

 

Kedua tingkat berpikir ini pada dasarnya adalah ranah kognitif dalam Taksonomi Bloom yang umum digunakan sebagai acuan mengukur tingkat berpikir siswa. Terdapat 6 jenjang tingkat tingkat berpikir menurut Bloom yakni cognitive 1—6 (C1—C6) mengingat, memahami, menerapkan/aplikasi, menganalisis, menilai/evaluasi, mengkreasi atau mencipta. Dari enam tingkatan berpikir tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu berpikir tingkat rendah (C1—C3) dan berpikir tingkat tinggi. Untuk merumuskan tujuan kegiatan berpikir sebagai hasil belajar, digunakan kata operasional yang sesuai dengan jenjang berpikir tersebut. Misal siswa mampu mengidentifikasi unsur-unsur sebuah laporan pengamatan. Mengidentifikasi merupakan kata operasional dalam kegiatan siswa yang hasilnya menjadi sebuah ukuran tingkat berpikir siswa.

 

Hasil kegiatan berpikir (belajar) siswa memiliki kebergantungan pada setiap unsur pembelajaran yang berkesinambungan. Sumbernya adalah kurikulum, jika kurikulum sudah sesuai/benar, guru menyikapi dan mengolah serta mengelola ke dalam pembelajaran secara, berlanjut dengan penyusunan alat ukur yang tepat, maka hasilnya akan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, evaluasi terhadap rendahnya kemampuan berpikir siswa di dalam membaca harus dimulai dari rumusan-rumusan tujuan atau standar kompetensi yang terdapat dalam kurikulum. Analisis terhadap komponen tersebut pada kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia SMA menunjukkan bahwa kompetensi yang harus dilatihkan kepada siswa mulai C2—C6 (tidak masalah), hanya porsi C4—C6 harus lebih dari C2—C3. Artinya, tidak ada masalah dengan kurikulum. Lalu, bagaimana guru menyikapi (menyusun desain pembelajaran dan alat evaluasi atau instrumen penilaian dalam bentuk kisi-kisi dan soal? Mari kita lihat rumusan kompetensi dan soal-soal yang terdapat dalam sebuah buku pelajaran bahasa Indonesia kelas XI sebagai berikut.

 

Kompetensi Dasar (KD):

1.      Memahami teks laporan percobaan

2.      Mengidentifikasi teks laporan percobaan

3.      Menyimpulkan isi dari teks laporan percobaan

4.      Menelaah struktur dan kebahasaan teks laporan percobaan

5.      Menyajikan teks laporan percobaan.

Rumusan kompetensi tersebut bisa dikatakan sudah baik, yakni memuat kemampuan berpikir tingkat tinggi, kecuali nomor 1_ memahami (C2).

                       

Materi: Teks Laporan Percobaan

1.1    Struktur teks laporan  

-             Pendahuluan

-             Landasan Teori

-             Metode Penelitian

-             Paparan Data dan hasil Penelitian

-             Simpulan

2.1    Aspek kebahasaan teks laporan percobaan

 

Pembelajaran dan Latihan

Teks laporan berjudul ‘Percobaan Peta Lidah’ disertai penjelasan 

 

Contoh Soal 1 (C2):

Judul teks laporan percobaan: Pengaruh Larutan Jeruk pada Apel

Tujuan percobaan yang terdapat pada teks tersebut adalah ….

A.  melihat potongan warna pada potongan apel yang direndam dalam larutan jeruk

B.   mengetahui penyebab apel yang direndam dalam larutan jeruk tidak berubah warna

C.  mengetahui buah apel yang sudah dikupas dan dibiarkan terlalu lama akan berubah warna

D.  mengetahui perubahan warna apel terjadi karena adanya reaksi antara apel yang terkupas dan oksigen di udara

 

Contoh Soal 2 (C4):

Judul teks laporan percobaan: Mencangkok Pohon Mangga

Lingkungan yang digunakan dalam melakukan percobaan tersebut adalah ….

A.       laboratorium

B.        kebun

C.       pasar

D.       kamar

 

Contoh Soal 3 (C2)

1.    Arti istilah eksperimen adalah ….

2.    Simpulan yang tepat untuk melengkapi laporan percobaan tersebut adalah ….

 

Contoh Soal 4 (C5)

1.      Apakah ada bagian pendahuluan yang mengandung latar belakang, masalah, dan tujuan percobaan?

2.      Apakah ada bagian landasan teori/kajian pustaka berupa teori yang berhubungan dengan permasalahan?

3.      Apakah laporan percobaan disajikan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

 

Analisis terhadap soal-soal di atas menunjukkan hasil sebagai berikut

 

Contoh soal 1: kurang tepat karena tujuan percobaan tertulis di dalam bagian pendahuluan sebuah

laporan percobaan. Jadi soal tersebut mengukur kemampuan berpikir C1 bukan C2.

Contoh soal 2: sangat jelas kemampuan berpikir yang diukur melalui soal tersebut adalah C1

 bukan C4 karena opsi jawaban hanya memerlukan tingkat berpikir yang rendah.

Contoh soal 3: soal nomor 1 tidak mengukur pemahaman (C2) melainkan hanya C1, soal nomor2

 benar dapat mengukur tingkat berpikir C2.

Contoh soal 4: merupakan contoh soal yang buruk karena dapat dijawab hanya dengan ada atau

 tidak!

             

Contoh soal-soal tersebut diambil begitu saja (tidak dengan sengaja dipilih). Dari sini diketahui bahwa pelaksanaan pembelajaran hingga rumusan alat ukur (soal) masih lepas/tidak memerhatikan HOTS. Berdasarkan analisis sederhana ini dapat disimpulkan bahwa kegiatan melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa harus dibenahi. Bukan melatih siswa mengejakan berbagai jenis siswa secara terus menerus, melainkan memperbaiki semua kesalahan, menghilangkan semua kelemahan mulai dari buku ajar, kualitas guru dalam hal penguasaan taksonomi Bloom, pemilihan, dan metode pembelajaran secara tepat sehingga penyusunan instrumen latihan/soal.

 

Belajar merupakan kewajiban setiap hamba tanpa batas waktu. Guru adalah hamba Tuhan yang mengemban tugas mulia yakni mendidik para siswa menjadi cerdas (pintar dan berbudi pekerti). Oleh karena itu, hasil survei PISA yang menunjukkan rendahnya tingkat berpikir siswa Indonesia harus menjadi perhatian serius. Menemukan dan mengakui kelemahan diri menjadi batu pijakan untuk dapat melompat lebih tinggi. Tuhan berfirman: belajar/mengajar dengan pena atau melalui membaca dan menulis (SQ, 96:4). (****) 

 

Dra. Lis Setiawati, S.Pd., M.Pd. adalah purnabakti Universitas Terbuka. Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd.,  Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).