Demam Konten Dan Nettiquete

 “Hallo guys, siang yang panas ini. Kegiatan rutin seperti biasa, jemput si bontot sekolah. Ini para Mama yang juga nungguin anak-anak keluar kelas. Kami nongki-nongki di kantin...”

May 26, 2024 - 12:22
Demam Konten Dan Nettiquete
Siti Asmiyah

 Oleh: Siti Asmiyah

 “Hallo guys, siang yang panas ini. Kegiatan rutin seperti biasa, jemput si bontot sekolah. Ini para Mama yang juga nungguin anak-anak keluar kelas. Kami nongki-nongki di kantin...” Demikian sepenggal kalimat awal yang disampaikan oleh seorang Ibu saat turun dari sepeda motor dan berjalan menuju bangku panjang di kantin yang ada di halaman depan sekolah. HP yang dipegangnya kondisi menyala dan diarahkan pada sekelompok Ibu-ibu yang sedang menunggu anaknya keluar dari kelas. Reaksi beberapa Ibu yang sedang duduk di tempat itu beragam. Ada yang langsung melambaikan tangan dan tersenyum, nampak sangat sadar kamera. Sebagian lain berteriak kecil ”hai” dengan senyum tersungging dan nampak sudah akrab dengan sang perekam. Beberapa yang lain ada yang menutupi wajahnya dengan ujung jilbab. Ada juga yang kemudian menoleh memalingkan wajah agar tidak terekam. Mereka tampak tidak nyaman berada dalam frame rekaman itu.

 

Sepintas kejadian itu mengingatkan saya pada beberapa video yang muncul di beranda Facebook saya. Akhir-akhir ini banyak sekali bermunculan video hasil karya para Ibu yang mendadak menjadi content creator. Mereka berbondong-bondong mengalihkan akun sosial media mereka ke Facebook pro. Semenjak itu, bermunculanlah tagar-tagar #fbpro, #fyp, #sorotan, #pengikut, #monetasi dan beberapa tagar lain. Video-video pendek hasil karya pada ibu ini membanjiri halaman Facebook. Berbagai-bagai kegiatan diunggah, mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur lagi. Bahkan anak terjatuh dari sepedapun dijadikan konten dan diunggah di Facebook untuk dijadikan konsumsi publik.

 

Sebenarnya tidak masalah jika kita ingin berkreasi, menekuni suatu bidang dan menjadikannya sebagai salah satu sumber penghasilan. Yang menjadi masalah adalah ketika video kita diambil secara acak dan dapat merugikan orang atau melanggar etika berinternet. Suatu misal, tidak jarang ada beberapa orang yang menjadikan tangkap layar percakapan di grup Whatsapp sebagai konten. Jika ini tidak didasarkan pada consent dari sang pengirim pesan, pembagian pesan yang harusnya bersifat pribadi dapat memicu konflik. Atau boleh jadi, seperti contoh pada bagian awal artikel ini, mereka yang memang tidak suka direkam tentu lebih tidak suka jika kegiatannya menjadi konsumsi publik. Akan tetapi, entah karena budaya keakraban atau karena ketidaktahuan, masyarakat digital kita nampaknya belum menganggap etika berdunia maya sebagai sesuatu yang sangat penting.

 

Data dari penelitian yang dilakukan oleh Microsoft pada tahun 2020 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia termasuk dalam kategori pengguna sosial media yang kurang sopan. Ini terindikasi dari banyaknya unggahan atau komentar yang bersifat perundungan atau menghujat orang lain. Sehingga sering kali ada kasus pencemaran nama baik karena unggahan atau komentar di media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kita masih perlu terus diedukasi terkait budaya dan etika bermedia sosial yang kita kenal dengan nettiquete.    

 

Ada beberapa hal terkait nettiquete yang harus kita perhatikan dalam kehidupan sosial kita secara digital. Pertama, aturan yang berlaku di dunia nyata juga berlaku pada kehidupan di dunia maya. Misal, ketika berbicara dengan orang lain, kita perlu menjunjung tinggi sopan santun. Tentu ini juga berlaku ketika kita berinteraksi secara maya. Meskipun kita hanya menulis dan tidak berbicara, etika kesopanan ini tentu harus tetap dipertahankan.

 

Kedua, harus disadari bahwa meskipun kita berinteraksi melalui gawai tanpa melihat orangnya, kita sebenarnya berinteraksi dengan orang, bukan dengan mesin. Apa yang kita unggah di internet akan tetap ada di sana. Meskipun kita menghapusnya, boleh jadi orang lain telah menyimpannya. Sehingga, kita harus benar-benar berhati-hati dengan apa yang kita unggah.

 

Ketiga, pastikan kita membaca dan menyaring terlebih dahulu sebelum bertanya atau berkomentar. Seringkali, apa yang ditampilkan di media sosial hanyalah sepotong informasi yang tidak utuh. Sehingga, apa yang kita terima bisa jadi sangat terbatas. Kita perlu membaca dengan seksama dan juga membandingkan dengan informasi yang lain sebelum memberikan komentar. Ini untuk memastikan bahwa yang kita sampaikan adalah informasi yang reliabel dan tidak menyinggung orang lain.

 

Keempat, pastikan kita menulis dengan jelas. Gunakan tata bahasa dan tanda baca yang baik. Mungkin orang berpikir, toh ini bukan tulisan akademik. Boleh-boleh saja menggunakan bahasa lisan. Akan tetapi kita perlu ingat bahwa yang berinteraksi dengan kita berasal dari berbagai latar belakang. Harus disadari juga bahwa ketika interaksi disampaikan lewat tulisan, kita tidak dapat serta merta mengkonfirmasi ketika ada kesalahpahaman. Penggunaan tanda baca yang salah dapat memunculkan persepsi yang salah. Jadi, tata bahasa dan tanda baca yang tepat tetap harus kita perhatikan, meskipun ini tidak berarti harus kaku secara aturan.

 

Kelima, hormati privasi orang lain. Dengan berbagai fitur yang ada pada gawai berupa telepon genggam, kita dapat melakukan banyak sekali hal. Saat ngobrol dengan kawan, kita dapat dengan mudah melakukan pesan suara. Demikian juga saat melakukan panggilan video, telepon genggam memungkinkan kita untuk melakukan rekam layar. Disaat lain, tidak jarang ketika berada di jalan, ada satu kejadian menarik yang menggelitik kita untuk mengabadikannya dalam sebuah video. Godaan untuk melakukan itu semua, dan untuk membagikannya kepada orang lain, terkadang sulit di kendalikan. Akibatnya, sering tanpa berpikir panjang kita langsung membagikannya ke grup atau ke media sosial. Satu hal yang kadang terlewat dari pertimbangan kita, orang lain memiliki privasi yang harus kita hormati. Tidak semua orang suka hal pribadinya dibagikan, meskipun itu hanya sebuah photo. Menghormati privasi ini termasuk salah satu nettiquete yang harus kita taati.  

 

Keenam, perhatikan bandwith. Saat kita memiliki sebuah video yang menarik, dan merasa informasi itu penting untuk yang lain, kita dapat dengan mudah membagikannya. Namun kita sering abai dengan besaran kapasitas atau besaran file dari video tersebut.  File yang besar akan menyedot kuota internet yang mengakses video tersebut. Terlebih jika video tersebut dibagikan pada sebuah grup Whatsapp misalnya. Terkadang ada anggota yang tidak mengaktifkan fitur filter pada pengaturannya. Hal ini menyebabkan video tersebut secara otomatis terunduh dan menyedot kuotanya. Akan lebih elok dan bijaksana jika video yang dibagikan bandwithnya tidak terlalu besar. Yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah ketika kita mengakses wifi atau minta di tethering oleh orang lain. Jangan sampai kita menggunakannya untuk mengakses file atau video dalam kapasitas yang cukup besar.

 

Ketujuh, gunakan nama yang wajar. Ketika kita berada di dunia maya, kita harus siap bahwa informasi terkait diri kita akan dapat diakses oleh banyak orang secara global. Ada sebagian besar orang yang tidak siap dengan itu. Sehingga banyak yang menyembunyikan photo profilnya atau membatasi akses terhadap unggahan-unggahan pada media sosialnya. Hal ini sebenarnya sudah termasuk langkah yang tepat dan penuh kehati-hatian. Yang kurang tepat adalah ketika kita memberi nama profile kita dengan nama yang tidak wajar. Beberapa orang, misalnya menggunakan sama samaran atau singkatan. Meskipun ini termasuk dalam upaya untuk menjaga privasi, namun ketika berinteraksi atau berkomunikasi, orang lain akan kesulitan untuk mengenali siapa kita. Karenanya menggunakan nama yang wajar menjadi penting. Tidak perlu nama kita secara penuh, nama panggilanpun tidak mengapa. Asal, orang lain yang kita ajak berkomunikasi dapat dengan mudah mengenali siapa kita.

 

Sebenarnya masih ada beberapa nettiquete lain yang perlu kita perhatikan dalam berinteraksi di dunia digital. Namun, ketujuh nettiquete tersebut dapat dianggap sebagai etika yang cukup perlu kita perhatikan. Kembali kepada demam konten yang diilustrasikan pada awal artikel ini, semoga kesempatan berkonten yang terbuka lebar di platform media sosial, dapat kita gunakan dengan lebih bijak. Bukan saja terkait konten yang bermanfaat, namun juga dengan etika berinternet yang baik.

 

*Siti Asmiyah adalah dosen pada Prodi Pendidikan Bahasa Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya dan pengurus PISHI. Tulisan ini disunting oleh Sulistyani, dosen pada Universitas Nusantara PGRI Kediri dan anggota PISHI.