Ada Potensi Merusak Logika Hukum & Nirkualitas Pilkada di Putusan MA soal Batas Usia

Lewat putusan itu, MA menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016.

Jun 6, 2024 - 13:07
Ada Potensi Merusak Logika Hukum & Nirkualitas Pilkada di Putusan MA soal Batas Usia

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 tentang aturan batas minimal usia calon kepala daerah (cakada), Gubernur dan Wakil Gubernur, serta Bupati dan Walikota.

Perkara itu diputus majelis hakim yang dipimpin Yulius sebagai Ketua, serta Cerah Bangun sebagai anggota I dan Yodi Martono Wahyunadi sebagai anggota II, pada Rabu, 29 Mei 2024. Dalam putusan itu, Cerah Bangun menyatakan berbeda pendapat alias dissenting opinion dengan menegaskan seharusnya permohonan tersebut ditolak majelis.

Lewat putusan itu, MA menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016.

MA pun memerintahkan kepada KPU RI untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota tersebut.

MA ingin ketentuan dari yang semula cagub dan wakil cagub minimal berusia 30 tahun terhitung 'sejak penetapan pasangan calon' diubah menjadi 'setelah pelantikan calon.'

Namun, Putusan MA ini mendapat sorotan lantaran dianggap replika dari Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 tentang syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Bahkan publik menilai putusan MA itu sebagai 'dejavu' atas putusan MK untuk melanggengkan anak presiden ke kursi kekuasaan.

Jika putusan MK dianggap mempermulus jalan anak sulung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yakni Gibran Rakabuming Raka untuk mendaftar cawapres di Pilpres 2024.

Putusan MA kali ini juga diduga untuk mempermulus jalan satu lagi anak Jokowi yakni si bungsu Kaesang Pangarep yang digadang-gadang akan maju Pilkada 2024.

Kaesang saat ini berusia 29, dan baru genap 30 tahun pada 25 Desember mendatang. Sementara itu, pencoblosan pada Pilkada serentak 2024 dilakukan pada 27 November nanti.

Lalu apakah Putusan MA tentang syarat usia cakada ini wajib dilaksanakan di Pilkada 2024? Bagaimana sikap KPU seharusnya?

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menegaskan Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 terkait aturan batas minimal usia calon kepala daerah tidak wajib diterapkan pada 2024.

Herdiansyah menjelaskan Putusan MA yang mengubah norma dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2020 itu bertentangan dengan UU Pilkada yang menjadi aturan payungnya. Dia mengatakan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada berbunyi:

"Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan berusia paling rendah 30 (tiga puluh tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota."

Herdiansyah menyatakan di dalam pasal UU Pilkada itu jelas menggunakan kata "calon", sehingga  syarat usia minimal 30 tahun dalam UU Pilkada seharusnya dimaknai sejak seseorang berstatus sebagai calon atau saat seseorang yang mendaftar/didaftarkan partai politik ke KPU ditetapkan sebagai calon definitif oleh KPU.

Oleh sebab itu, Herdiansyah berkesimpulan Putusan MA itu bertentangan (conflict of norm) dengan UU Pilkada.

Dia mengatakan di dalam logika hukum dikenal prinsip lex superior derogat legi inferiori yang bermakna 'peraturan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi'.

"Maka dalam situasi seperti ini, kita harus tunduk pada aturan hukum yang secara hierarki derajatnya lebih tinggi, dalam hal ini UU Pilkada," kata Herdiansyah, Rabu (5/6).

Dia pun menyarankan agar KPU mengabaikan putusan MA itu untuk tetap mengacu kepada UU Pilkada. Dia menyebut selama ini norma yang dibuat dalam PKPU sudah selaras dengan UU pilkada.

"Jadi KPU bisa mengabaikan putusan MA alias tidak perlu dijalankan," ujarnya.

Menurut Herdiansyah, jika KPU mengikuti Putusan MA itu dan mengabaikan UU Pilkada, maka itu menunjukkan logika hukum lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia rusak.

Herdiansyah berpendapat KPU tidak bisa berdalih Putusan MA itu bersifat final dan mengikat sehingga harus dilaksanakan. Faktanya, kata Herdiansyah, Putusan MA itu sendiri dia lihat juga bermasalah.

"Harus diperiksa cara berpikir KPU ini, ikut perubahan norma dalam putusan MA atau ikut UU Piilkada," kata dia.

"Kalau mengabaikan UU Pilkada yang notabene derajatnya lebih tinggi, jelas itu keliru. Rusak cara berpikir hukum KPU," imbuhnya.

Herdiansyah juga mengingatkan KPU untuk lebih bijaksana dan independen mengambil sikap dengan tidak menindaklanjuti putusan MA terkait syarat minimal usia cakada.

Jika dipaksakan, Herdiansyah mengatakan hal itu akan membuat tuduhan terhadap KPU yang ikut memuluskan jalan Kaesang sebagai anak penguasa di Pilkada 2024 menjadi terlegitimasi.

Dugaan itu makin diperkuat dari sikap KPU yang pilih-pilih alias cherry picking terhadap Putusan MA.

Herdiansyah mencontohkan ketika KPU terkesan abai terhadap Putusan MA soal syarat keterwakilan 30 persen caleg perempuan pada Pemilu 2024. Kala itu, KPU menyikapi putusan itu dengan hanya memberi surat imbauan kepada Partai Politik untuk mengupayakan mengusung minimal 30 persen caleg perempuan pada Pemilu 2024.

Namun, katanya, mengapa pada Putusan MA terkait syarat minimal usia cakada ini justru KPU nampak lebih banyak menaruh perhatian.

"Sikap KPU cherry picking alias pilah pilih. Kalau mengikuti putusan MA ini, artinya KPU ikut melegitimasi karpet merah bagi Kaesang," tuturnya.

"Padahal urusan 30 persen afirmasi perempuan jauh lebih urgen dibanding urusan pintu pencalonan Kaesang," imbuhnya.

Curiga ditunggangi

Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Negrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan sikap cherry picking yang dilakukan para anggota KPU saat ini dalam menindaklanjuti Putusan MA bisa menimbulkan dugaan lembaga tersebut ditunggangi kepentingan dari luar.

"Ketidakonsistenan tidak terpisah dari ketidakmandirian mereka dari pesanan DPR/ partai politik peserta pemilu," kata Hadar.

Apalagi, sambungnya, jika putusan MA dipaksa untuk diterapkan, maka prinsip-prinsip penyelenggaraan pilkada akan dilanggar. Dia menyebut sudah ada calon perseorangan yang berproses.

Logikanya, kata Hadar, akan ada calon yang sudah memenuhi syarat sejak awal dan ada yang baru. Selain itu, aturan yang berlaku pun menjadi tidak tertib karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, aturan calon kepala daerah minimal 30 tahun terhitung 'sejak pelantikan calon terpilih' juga tidak memberikan kepastian hukum. Pasalnya, belum diketahui pasti batasan yang mau digunakan atau waktu pelantikan.

"Putusan MA adalah putusan yang tidak dapat diterapkan karena akan berdampak pada pemilihan yang tidak sesuai prinsip penyelenggaraan yang demokratis. Yaitu antara lain, tidak adil, tidak tertib, tidak berkepastian hukum," kata mantan komisioner KPU itu.

"Menindak lanjut putusan MA justru akan merusak kualitas Pilkada, tidak usah dijalankan. Nanti, konsekuensinya pilkada berjalan dengan nir kualitas," imbuhnya.

Final dan mengikat

Sementera itu Komisioner KPU Idham Holik mengatakan putusan MA itu bersifat final dan mengikat. Menurutnya, MA berwenang meninjau peraturan di bawah undang-undang.

"Putusan MA atas judicial review sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 bersifat final dan mengikat," kata Idham, Selasa (4/6).

Idham mengatakan saat ini KPU sedang mengkaji putusan tersebut yang diperoleh melalui publikasi di website MA. Dia juga menyatakan KPU dalam waktu dekat akan berkomunikasi dengan pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah terkait putusan MA itu.

Idham tidak menanggapi dengan gamblang soal usulan putusan MA lebih baik diterapkan pada pilkada berikutnya karena tahapan Pilkada 2024 sudah berlangsung.

Menanggapi usulan itu, Idham hanya menjelaskan pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dibuka pada 27-29 Agustus 2024. Ketentuan itu tertuang dalam Lampiran I Peraturan KPU No. 2 Tahun 2024.

Idham pun mengungkit langkah KPU terkait tindak lanjut Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat minimal usia calon presiden dan wakil presiden. Meski menuai banyak kritik, Idham menyebut tindakan KPU itu diapresiasi oleh MK.(han)