Putusan Kilat MA soal Usia Cakada Diduga Karpet Merah Buat Kaesang ke Pilgub Jakarta

"Berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih," bunyi pasal tersebut menurut putusan MA.

Jun 6, 2024 - 11:56
Putusan Kilat MA soal Usia Cakada Diduga Karpet Merah Buat Kaesang ke Pilgub Jakarta

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Putusan 23 P/HUM/2024 yang diputus kilat hanya dalam rentang tiga hari bila merujuk ikhtisar perkara di situs MA, dinilai memuluskan jalan anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, ikut Pilgub Jakarta pada Pilkada serentak 2024.

Putusan itu mengubah ketentuan pasal 4 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020. Pasal itu mengatur batas minimal usia calon kepala daerah. Calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun. Adapun calon bupati dan wakil bupati minimal berusia 25 tahun.

Pada aturan PKPU sebelumnya, batas usia itu dihitung saat penetapan  calon kepala daerah. MA mengubah waktu penghitungan batas usia tersebut jadi saat pelantikan.

"Berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih," bunyi pasal tersebut menurut putusan MA.

Namun, pasal itu dinilai banyak pihak sebagai karpet merah untuk Kaesang. Pasalnya, adik bungsu cawapres terpilih Gibran Rakabuming Raka itu, saat ini masih berusia 29 tahun.


Sehingga tak heran bila Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah penghitungan batas usia calon kepala daerah (cakada) pada Pilkada serentak 2024 menuai polemik.

Kaesang baru genap 30 tahun pada 25 Desember, sementara pencoblosan pilkada serentak adalah 27 November 2024. Artinya pada saat penetapan calon peserta Pilkada serentak 2024 yang dijadwalkan pada 22 September mendatang.

Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting Aditya Perdana mengatakan sulit mengabaikan kemungkinan bahwa putusan MA itu memang dibuat untuk memuluskan jalan Kaesang menuju Pilgub Jakarta pada Pilkada serentak 2024.

Dia mengatakan apa yang terjadi saat ini serupa peristiwa pada Pilpres 2024, di mana Gibran bisa menjadi cawapres karena putusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang dipimpin pamannya, Anwar Usman, sebagai ketua juga mengubah syarat usia pencalonan.

"Secara politik, kita bisa asumsi demikian bahwa ada peluang yang sama dengan bagaimana skema Gibran ingin direplikasi di pilgub," kata Aditya, Kamis (6/6).

Meski begitu, Aditya menilai kali ini jalan Kaesang tidak mudah. Publik masih punya resistensi besar setelah Gibran bisa lolos dan menang melalui cara serupa.

Menurutnya situasi jelang Pilkada 2024 saat ini hanya untuk menjaga nama Kaesang selaku Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tetap eksis di kancah politik nasional. Selain itu, dia juga melihat Kaesang perlu berhitung dengan cermat jika ingin benar-benar maju dalam Pilgub Jakarta meskipun PSI dan koalisi pengusung Prabowo-Gibran punya suara signifikan di Jakarta.

"Kalau Kaesang ingin memaksakan diri dalam kondisi saat ini, ya agak sulit situasinya, apalagi bapaknya [Jokowi] sudah ada komentar meski via Pak Zulhas PAN [Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan]," ucapnya.

Daftar dugaan kejanggalan di putusan MA

Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengungkap sejumlah kejanggalan putusan MA yang mengubah syarat batas usia kepala daerah.

Pertama, MA memerintahkan perubahan PKPU. Padahal, aturan batas usia itu sudah diatur dalam Undang-Undang Pilkada. Pengubahan syarat tersebut justru melanggar UU Pilkada.

Herdiansyah juga mempermasalahkan putusan MA yang menggeser penghitungan usia calon kepala daerah ke masa pelantikan. Dia berkata masa pelantikan tidak diatur jadwalnya dalam perundang-undangan. Dengan begitu, putusan MA justru menimbulkan ketidakpastian hukum.

"Masa pelantikan itu yang tidak jelas kapan waktu proses pelantikannya itu justru bukan ketidakpastian hukum. Iya kalau pelantikan langsung 1 Januari 2025, tapi kan bisa juga tiga bulan berikutnya bahkan sampai setahun," kata Herdiansyah, mengutip CNNIndonesia.com, Kamis (6/6).

Herdiansyah juga mengatakan pelantikan kepala daerah tak masuk rezim administrasi pemerintahan. Oleh karena itu, tidak seharusnya PKPU yang seharusnya hanya mengatur pelaksanaan pilkada justru ikut-ikutan dipaksa mengatur soal pelantikan.

Selain itu, Herdiansyah menilai putusan MA seharusnya tidak langsung berlaku pada Pilkada Serentak 2024.
Dia lantas menerangkan itu terjadi karena di dalam hukum ada yang dinamakan purcell principle yakni di mana salah satunya hakim harus menahan diri dari upaya mengubah aturan pemungutan suara menjelang pemilihan.

"Kalau tahapannya sudah jalan, mestinya putusan pengadilan mau di Mahkamah Agung, termasuk Mahkamah Konstitusi misalnya, itu tidak boleh mempengaruhi pelaksanaan pemilihan umum atau pelaksanaan perkara dalam konteks itu. Kalaupun ini diberlakukan, ya pilkada berikutnya," ujar Herdiansyah.

Herdiansyah mendorong KPU untuk tidak menjalankan putusan MA. Dia berkata KPU beberapa kali tidak menjalankan putusan MA terkait kepemiluan.

Misalnya, saat MA membuat putusan tentang keikutsertaan anggota partai politik di pemilihan anggota DPD pada 2018. Begitu pula soal keterwakilan perempuan di pemilu dalam putusan MA beberapa waktu lalu.

"Jadi kalau kemudian ada pertanyaan apakah keputusan MA yang 2024 ini itu mesti diabaikan oleh KPU? Saya pikir itu mesti diabaikan," ucapnya.

Tahapan Pilkada serentak 2024 saat ini sedang berjalan. KPU sedang membuka pendaftaran para calon peserta pilkada yang digelar serentak untuk tingkat kabupaten/kota hingga provinsi se-Indonesia.

Sementara itu, KPU menyatakan pihaknya akan mengharmonisasi peraturan setelah ada putusan MA tersebut. Selain itu, KPU juga dijadwalkan berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah untuk menyikapi putusan tersebut.

Komisi II DPR menjadwalkan rapat membahas putusan Mahkamah Agung dengan KPU soal perubahan syarat usia calon kepala daerah Pilkada 2024, khususnya pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus menyebut rapat diperkirakan akan digelar pekan depan.

"Mudah-mudahan pekan depan," kata Guspardi saat dikonfirmasi, Rabu (5/6).

Sementra itu, Menko Polhuman Hadi Tjahjanto mengatakan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA) soal syarat usia calon kepala daerah (cakada) tergantung KPU. Hadi mengatakan putusan MA berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat mengikat.

"Kalau kita melihat putusan MK, itu langsung mengikat, tapi kalau putusan MA ini nanti, itu nanti adalah nunggu pelaksanaannya oleh KPU, jadi nanti tergantung KPU yang melaksanakan," kata Hadi di Jakarta Pusat kemarin.

Sementara itu, KPU membantah harmonisasi aturan pascaputusan MA itu dilakukan pihaknya demi memuluskan pihak tertentu yang diduga akan diuntungkan.

Hal itu Mellaz sampaikan saat dimintai tanggapan mengenai adanya dugaan bahwa Putusan MA akan memberi karpet merah Pilgub 2024 kepada Kaesang.

"KPU secara prinsip tentu berpegang teguh pada aturan. Dan kemudian kalau ada semacam tudingan bahwa putusan ini punya pretensi kepada seseorang, percayalah KPU tidak akan masuk wilayah ke sana," kata Mellaz dalam diskusi bertajuk 'Pilkada Damai 2024: Membangun Pilkada Sukses, Aman, Partisipatif', Rabu kemarin.

Mellaz menyatakan sikap KPU hanya menghormati kewenangan dari lembaga lain, termasuk MA.

"Ini putusan yang berasal dari pembagian kekuasaan yang lain di bidang lain, dari bidang yudikatif," ujarnya.

"Secara prinsip tentu kami menghormati kewenangan dari lembaga lembaga yang ada dalam struktur tata negara Indonesia. Tapi memang fakta proses harmonisasi sedang berlangsung," imbuhnya.

Sementara itu, Kaesang  tak mengatakan putusan MA memungkinkan dirinya maju dalam Pilgub DKI Jakarta 2024. Namun, ia belum memastikan apakah akan maju.

"Kalau ditanya saya maju atau tidak, tunggu kejutanya di bulan Agustus," ujar Kaesang di Kantor DPP PSI, Jakarta, Selasa (4/6).

Putusan MA yang dinilai bakal jadi karpet merah untuk Kaesang itu diputus tiga hari oleh Majelis MA yang dipimpin Hakim Agung Yulis sebagai Ketua, dan hakim agung Cerah Bangun (anggota I) serta hakim agung Yodi Martono Wahunadi (anggota II).

Dalam putusan itu hakim anggota Cerah Bangun menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) yakni permohonan tersebut sebaiknya ditolak majelis hakim.(han)