Wahyu Cakraningrat dalam Kontestasi yang Ketat

Dalam cerita wayang purwa ada salah satu lakon yang sangat menarik terkait dengan kontestasi untuk menjadi seorang penguasa (Raja), yakni lakon Wahyu Cakraningrat. Lakon ini bercerita tentang upaya tiga satria yaitu, Raden Lesmana Mandrakumara (putra mahkota Kerajaan Hastinapura), Raden Samba (putra Raja Dwarawati) dan Raden Abimanyu (putra Raden Arjuna) yang berebut Wahyu Cakraningrat. Konon bagi siapa yang mendapatkan Wahyu Cakraningratlah yang kelak akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa.

Jan 24, 2024 - 06:08
Wahyu Cakraningrat dalam Kontestasi yang Ketat

Oleh: Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum 

Dalam cerita wayang purwa ada salah satu lakon yang sangat menarik terkait dengan kontestasi untuk menjadi seorang penguasa (Raja), yakni lakon Wahyu Cakraningrat. Lakon ini bercerita tentang upaya tiga satria yaitu, Raden Lesmana Mandrakumara (putra mahkota Kerajaan Hastinapura), Raden Samba (putra Raja Dwarawati) dan Raden Abimanyu (putra Raden Arjuna) yang berebut Wahyu Cakraningrat. Konon bagi siapa yang mendapatkan Wahyu Cakraningratlah yang kelak akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa.

Untuk mendapatkan Wahyu Cakraningrat, mereka harus bertapa di hutan Gangga Warayang terlebih dahulu. Selain itu, untuk mendapatkan Wahyu Cakraningrat bukanlah hal yang gampang. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi oleh satria pinilih agar Wahyu Cakraningrat dapat sejiwa atau “manjing” dalam dirinya. Adapun prasyarat yang harus dipenuhi antara lain dapat menjadi teladan bagi rakyat, dapat memberi rasa aman dan tenteram kepada rakyat, memiliki rasa kasih sayang yang tinggi, dapat merangkul seluruh rakyat tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras dan antar golongan, serta peduli pada lingkungan.

Raden Lesmana Mandrakumara dengan ditunjang fasilitas yang lengkap, persediaan makan dan minum yang melimpah dan dijaga oleh para senopati dan bala Kurawa, akhirnya berhasil mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Para Kurawa langsung mengajak Raden Lesmana Mandrakumara pulang ke negeri Hastina. Rombongan Kurawa segera pulang untuk merayakan keberhasilan Raden Lesmana Mandrakumara dengan riang gembira. Dalam perjalanan pulang,tiba-tiba Raden Lesmana minta berhenti karena ada orang yang berjalan lewat di depannya sambil membawa barang bawaan. Namun orang itu tidak memberi sembah hormat pada Raden Lesmana Mandrakumara.

Murkalah Raden Lesmana dan seketika itu dia menendang orang tersebut hingga terjungkal di tanah dan barang bawaannya berhamburan. Kejadian ini memancing emosi para punggawa dan serta merta mereka ikut memarahi dan menganiaya orang tersebut sampai babak belur. Setelah dianiaya, orang itu menghilang dan berubah menjadi cahaya. Lalu dia masuk ke tubuh Raden Lesmana dan keluar lagi bersama Wahyu Cakraningrat. Mengetahui peristiwa itu, seketika Raden Lesmana Mandrakumara jatuh pingsan. Namun bala Kurawa tidak mempedulikannya, mereka lari beramai-rami mengejar Wahyu Cakraningrat.

Terlihatlah dua cahaya dari angkasa turun di hutan Gangga Warayang di bagian sebelah barat, tempat di mana Raden Samba bersemedi. Raden Samba merasa bahwa dirinya sudah mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Dengan congkaknya, Raden Samba pulang ke Dwarawati untuk memamerkan bahwa dirinya telah mendapatkan Wahyu Cakraningrat kepada ayahndanya, Prabu Kresna, dan rakyatnya. Dia sangat bangga karena bisa mendapatkan Wahyu Cakraningrat dengan kekuatannya sendiri.

Dalam perjalannya, tiba-tiba datanglah para Kurawa untuk meminta wahyu yang sudah berada pada diri Raden Samba. Tentu saja Raden Samba tidak memberinya, maka terjadilah pertarungan yang sangat sengit antara bala Kurawa dengan Raden Samba. Namun. ternyata kekuatan Raden Samba begitu besar sehingga dapat mengalahkan semua bala Kurawa, dan lari tunggang langgang meninggalkan Raden Samba seorang diri. Atas kejadian ini, Raden Samba merasa dirinya paling kuat dan sakti mandraguna. Raden Samba pun sesumbar, ”Akulah satria pinunggul. Tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkanku. Akulah orang yang akan menurunkan Raja-raja di atas jagad raya ini, ha ha, ha, ha, ha…..“

Ketika Raden Samba tertawa terbahak-bahak dengan perasaan congkak dan sombong, dia melihat seorang dara bersama seorang lelaki tua. Si perempuan muda berparas cantik jelita, glowing, berkulit putih bersih, sinar matanya tajam, dan bentuk tubuh yang tinggi semampai.  Mereka berdua menghaturkan sembah kepada Raden Samba, dan menyampaikan maksud untuk mengabdi kepadanya. Raden Samba berkenan untuk menerima sembahnya sang dara cantik, namun sembah lelaki tua itu ditolaknya dengan caci maki yang sangat menyakitkan.

Mendengar cacian dari Raden Samba, lelaki tua itu pun pergi. Tak disangka, dara cantik itu mengikuti jejak si lelaki tua. Raden Samba mengejar dan merayu si dara cantik yang mengaku bernama Endang Mundhiasih. Endang Mundhiasih berkata, “Wahai Raden… Ketahuilah Wahyu Cakraningratmu tidak pantas untuk mencaci maki orang, membeda-bedakan orang, tidak punya rasa belas kasih terhadap orang tua, dan hanya perempuan muda saja yang dikejar-kejar!!!”

Selesai memarahi Raden Samba, Endang Mundhiasih dan lelaki tua itu menghilang bersamaan dengan sinar Wahyu Cakraningrat pergi meninggalkan raga Raden Samba. Raden Samba pun termangu mendengar perkataan Mundhiasih. Seketika badannya terasa lemas, lalu jatuh terduduk dan bersimpuh. Raden Samba meratapi nasib dan kecewa berat karena Wahyu Cakraningrat lepas dari tubuhnya akibat watak sombong dan congkaknya. Dengan penyesalan yang dalam, Raden Samba pulang ke negara Dwarawati untuk menyampaikan kegagalannya mendapatkan Wahyu Cakraningrat kepada ayahhandanya, Prabu Kresna.

Sementara itu, di hutan Gangga Warayang bagian selatan, Raden Abimanyu sedang duduk bersemedi atau bertapa untuk mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Tampak dari kejauhan pengawal setianya, para panakawan, menemani dan mengawalnya. Pada suatu malam, ada sesosok bayangan hitam datang di tengah-tengah mereka. Bayangan tersebut mengatakan bahwasannya Dewata memperkenankan Raden Abimanyu untuk menerima Wahyu Cakraningrat. Para panakawan bergembira ria dan tak lupa bersujud syukur  karena apa yang didiinginkan bendaranya terwujud.

Raden Abimanyu keluar dari pertapaannya dengan wajah tampak cerah bersinar, tubuh yang segar dan sempurna. Itulah ciri-ciri orang yang telah mendapatkan wahyu keprabon. Maka berangkatlah Raden Abimanyu beserta panakawan pulang ke Negeri Amartha. Tiba-tiba datanglah para Kurawa untuk merebut Wahyu Cakraningrat dari Raden Abimanyu, tapi usaha mereka sia-sia.

Di istana Amartha, Prabu Puntadewa sedang memimpin pasewakan yang dihadiri oleh para Pandawa dan para penasihat kerajaan. Setelah Raden Abimanyu memberi sembah bekti kepada Prabu Puntadewa dan priyagung Amartha, ia menyampaikan kabar bahwa dirinya sudah berhasil mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Mereka semuanya bersyukur karena Raden Abimanyu telah berhasil mewujudkan gegayuhannya. Artinya, Raden Abimanyulah kelak yang akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa.

 

Pesan Moral dalam Wahyu Cakraningrat

Ada tiga tokoh utama dalam cerita ini yang masing-masing memiliki karakter sebagai simbol siapa mereka sebenarnya. Raden Lesmana Mandrakumara merupakan putra mahkota Kerajaan Hastinapura. Dia sebagai cerminan tokoh yang “gila hormat”, sombong, congkak, pemalas, konyol, senang berfoya-foya, kolokan, dan semau gue. Sebagai anak raja, dia merasa bisa memiliki apapun yang dikehendakinya meski harus menabrak semua aturan atau undang-undang yang sudah ada. Pendek kata, dia manusia semau gue karena punya kuasa.

Raden Samba adalah salah satu putra Prabu Kresna, raja Negara Dwarawati, dengan Dewi Jembawati. Raden Samba merupakan satria muda yang cakap dan rupawan, cerdik dan pandai bicara. Namun, dia juga memiliki watak yang kurang baik, yaitu galak, congkak, dan ingin enaknya sendiri. Mungkin karena dia merasa sebagai seorang putra raja, meskipun bukan putra mahkota.

Raden Abimanyu adalah salah satu putra Raden Arjuna dengan Dewi Sembadra. Raden Abimanyu menikahi Dewi Utari, putri Raja Wirata, dan mempunyai putra bernama Parikesit. Namun sayang, dia gugur dengan cara tragis di medan Kurusetra sewaktu perang Bharatayuda. Raden Abimanyu memiliki sikap Berbudi Bawa Laksana jauh dari sikap angkuh dan sombong. Maka tak ayal bila Raden Abimanyu bisa mendapatkan Wahyu Cakraningrat sebagai wahyu keprabon, wahyu yang menaungi para raja yang bertahta.

Dari cerita Wahyu Cakraningrat di atas, kita dapat memetik hikmah yang sangat berguna dalam memilih calon pemimpin kita. Kita harus tahu betul siapa yang akan kita pilih nanti, jangan sampai seperti membeli kucing dalam karung. Kita tahunya suaranya sama, meong-meong, namun tidak tahu perilaku kucing itu sebenarnya. Kita jangan sampai tertipu dengan kemasan yang diberikan, harus kita selidiki terlebih dahulu. Kita hendaknya memilih calon pemimpin yang Berbudi Bawa Laksana,  tidak Adigang, Adigung, Adiguna, dan tidak semau gue.Sehingga nantinya pemimpin yang terpilih dapat menciptakan negara gemah ripah loh jinawi kerta raharja seperti yang kita impikan selama ini dapat terwujud. Semoga….

 

Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum., adalah Dosen di Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia.Tulisan ini disunting oleh Dr. Dewi Kencanawati, M.Pd., Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Nusantara PGRI Kediri dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI)