Waduh! Rupiah Jatuh ke Rp15.920 Sore Ini
Mayoritas mata uang di kawasan Asia bergerak di zona merah. Tercatat, peso Filipina melemah 0,16 persen, baht Thailand melemah 0,17 persen, ringgit Malaysia minus 0,03 persen, dan dolar Singapura minus 0,04 persen.
NUSADAILY.COM – JAKARTA - Nilai tukar rupiah bertengger di Rp15.920 per dolar AS pada Rabu (3/4) sore.
Mata uang Garuda melemah 23 poin atau minus 0,14 persen dari perdagangan sebelumnya.
Senada, kurs referensi Bank Indonesia (BI) Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menempatkan rupiah melemah ke posisi Rp15.923 per dolar AS pada perdagangan hari ini.
Mayoritas mata uang di kawasan Asia bergerak di zona merah. Tercatat, peso Filipina melemah 0,16 persen, baht Thailand melemah 0,17 persen, ringgit Malaysia minus 0,03 persen, dan dolar Singapura minus 0,04 persen.
Kemudian rupee India melemah 0,06 persen, yen Jepang minus 0,08 persen, dan yuan China melemah 0,04 persen.
Hanya won Korea Selatan dan dolar Hong Kong yang menguat, masing-masing 0,24 persen dan 0,01 persen.
Senada, mayoritas mata uang di negara maju pun terpantau melemah. Tercatat poundsterling Inggris melemah 0,09 persen dan dolar Australia melemah 0,14 persen.
Lalu dolar Kanada melemah 0,09 persen dan franc Swiss melemah 0,06 persen. Hanya euro Eropa yang menguat 0,01 persen.
Analis pasar uang Lukman Leong mengatakan rupiah melemah terhadap dolar AS yang kembali rebound hari ini di tengah sentimen risk off di pasar equity.
"Rupiah sendiri masih mengalami tekanan dari sell off investor pada SBN (surat berharga negara) oleh kekhawatiran outlook harga komoditas yang rendah," kata dia kepada CNNIndonesia.com.
Lukman pun menyoroti bagaimana rupiah menyentuh level terendah dalam empat tahun terakhir setelah hampir menyentuh Rp16 ribu per dolar AS.
Per Selasa (2/4), mata uang Garuda melemah 0,5 persen ke level Rp15.963 per dolar AS. ini merupakan posisi terendah rupiah sejak April 2020.
"Rupiah yang tertekan belakangan oleh sentimen yang memburuk dari investor asing yang terus melepas SBN," jelasnya.
"Mereka mengkhawatirkan harga komoditas yang masih rendah akan mengakhiri era surplus yang panjang. Ini akan menyulitkan fungsi revisi PP DHE (Peraturan Pemerintah Devisa Hasil Ekspor) yang bertujuan meningkatkan cadangan devisa," sambung Lukman.(sir)