Menimbang Risiko Obral Kursi Komisaris BUMN untuk Timses

Kontroversi dan polemik pengangkatan jabatan komisaris di BUMN adalah lagu lama yang terus berulang. Anggapan bahwa tata kelola perusahaan negara masih lekat dengan unsur nepotisme terpelihara adanya nuansa politis dalam penunjukan dewan komisaris.

Jun 13, 2024 - 10:30
Menimbang Risiko Obral Kursi Komisaris BUMN untuk Timses

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Sederet nama petinggi Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendapatkan kursi komisaris di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sejumlah nama itu termasuk Grace Natalie Louisa, Fuad Bawazier, hingga Simon Aloysius Mantiri. Mereka kini menjabat di beberapa perusahaan pelat merah seperti PT Pertamina (Persero) hingga PT Mining Industry Indonesia (Persero) alias MIND ID.

Kontroversi dan polemik pengangkatan jabatan komisaris di BUMN adalah lagu lama yang terus berulang. Anggapan bahwa tata kelola perusahaan negara masih lekat dengan unsur nepotisme terpelihara adanya nuansa politis dalam penunjukan dewan komisaris.

Anggapan itu pun kembali menguat melalui pengangkatan Grace Natalie jadi komisaris pada perusahaan holding BUMN dalam industri pertambangan. Ia merupakan salah satu pendiri Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

PSI tergabung dalam partai koalisi pendukung Prabowo-Gibran dalam kontestasi Pemilu 2024 silam. Di Pilpres 2024 lalu, Grace punya peran penting sebagai wakil ketua TKN Prabowo-Gibran.

Grace ditetapkan sebagai komisaris MIND ID dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan pada Senin (10/6) kemairn. RUPS itu juga mengangkat politikus Partai Gerindra Fuad Bawazier sebagai komisaris utama.

Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengungkap pengangkatan Grace lantaran MIND ID membutuhkan orang yang memahami media.

"Membutuhkan orang yang paham mengenai support media, kasus Timah, kasus Antam, itu kan butuh banget, apalagi ke depan Freeport, dan sebagainya. Butuh orang yang paham mengenai media juga," tutur Arya seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (12/6).

Arya yakin sepak terjang Grace tak perlu diragukan lagi dalam hal media. Arya juga menegaskan Grace tidak merangkap jabatan dan sudah mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik dalam hal ini PSI.

Selain Grace, Fuad Bawazier yang merupakan anggota Dewan Pakar TKN Prabowo Gibran kecipratan jatah komisaris utama MIND ID.

Ada juga nama Wakil Bendahara TKN Simon Aloysius Mantiri yang ditunjuk sebagai komisaris utama PT Pertamina, serta Wakil Ketua TKN Condro Kirono didapuk sebagai komisaris independen PT Pertamina.

Publik pun kini menyoroti masifnya bagi-bagi jabatan komisaris BUMN kepada anggota TKN Prabowo-Gibran. Lantas apa risiko di balik hal ini?

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan tak ada aturan yang dilanggar dari penunjukan timses jadi komisaris BUMN, tetapi secara bisnis perusahaan, pengangkatan relawan itu menimbulkan pertanyaan, apakah mereka layak dan mampu menjadi komisaris?

"Banyak dari mereka bukan berlatar belakang sesuai dengan BUMN yang mereka duduki. Akibatnya, kinerja perusahaan ke depan sangat berpotensi lepas pengawasan dari komisaris yang berkualitas," ucapnya.

"Yang ex-PSI sekarang jadi komisaris MIND ID misalkan, kompetensinya dia apa? Tidak nyambung sama sekali," sambung Nailul.

Nailul menilai jabatan komisaris lagi-lagi hanya untuk hadiah ucapan terima kasih. Menurutnya, tak heran BUMN di Tanah Air di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri BUMN Erick Thohir jeblok semua.

"Di sisi lainnya, persepsi masyarakat ke BUMN tersebut juga akan negatif, semakin tidak mendapatkan simpati dari pasar," ucapnya.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita berpendapat masuknya para politisi dan relawan ke dalam jajaran komisaris BUMN menjadi salah satu sebab sulitnya melakukan reformasi BUMN selama ini.

Pasalnya, 'aktor-aktor' ini menjadi 'kuncen' yang menghubungkan kepentingan partai, politisi, dan elit politik ke dalam BUMN yang membuat berbagai kegiatan dan proyek di dalam perusahaan pelat merah menjadi semakin tidak profesional dan semakin rawan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Menurutnya, masuknya para petinggi TKN membuat bisnis dan proyek-proyek di dalam BUMN menjadi tak lagi berdasarkan profesionalisme, melainkan berdasarkan kepentingan politik.

Selain itu, penunjukan para relawan dan orang partai ini, kata dia, juga sangat tidak linier dengan kapabilitas masing-masing komisaris. Lagi-lagi, ini menjadi faktor yang membuat reformasi di dalam perusahaan pelat merah semakin sulit dilakukan.

"Kehadiran mereka tak lebih sekadar simbol dan kehadira politik semata, tanpa memberikan kontribusi apa-apa terhadap perbaikan kinerja BUMN, karena mereka tidak didukung oleh pengetahuan dan keilmuan yang terkait dengan sektor-sektor yang dijalani oleh BUMN terkait," jelas Ronny, dikutip CNNIndonesia.com, Rabu (12/6).

Ronny menilai penunjukkan ini sebagai umpan balik atas dukungan politiknya selama ini kepada penguasa dan kepada pemenang kontestasi. Soal aturan, memang tak ada larangan relawan masuk ke dalam BUMN sebagai komisaris.

"Karena itulah selama ini BUMN acap menjadi 'ATM' partai dan politisi, karena dikunceni atau diintermediasi oleh komisaris-komisaris dari kalangan relawan dan parpol," tuturnya.

Ia berpendapat peluang anggota tim sukses menduduki kursi komisaris perusahaan pelat merah perlu ditutup. Namun menurutnya, peluang itu sangat kecil. Sebab, aturan seperti itu dipastikan akan ditentang oleh partai-partai dan politisi di parlemen karena akan menutup akses mereka kepada 'ATM' bernama BUMN.

"Artinya, selama ini sudah sering aspirasi untuk menjauhkan BUMN dari parpol dan politisi, tapi tak pernah berhasil, karena memang tak pernah didukung oleh parpol dan politisi," ujar Ronny lebih lanjut.

Di sisi lain, kursi komisaris di BUMN juga dijadikan oleh pemerintah untuk membalas jasa para relawan dan politisi yang telah memberikan dukungan. Alhasil, terjadi simbiosis mutualisme antara pemerintah dan pro politisi, serta relawan atas keberadaan mereka di jajaran komisaris perusahaan pelat merah.

"Apalagi saat ini, pemenang kontestasi didukung oleh koalisi yang sangat gemuk. Sehingga sangat besar kemungkinan BUMN-BUMN akan diinvasi oleh para relawan dan politisi, yang akan membuat agenda reformasi birokrasi menjadi seperti mimpi di siang bolong," tegasnya.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal merasa obral kursi komisaris perusahaan pelat merah dijadikan bentuk apresiasi bagi para tim sukses sudah menjadi rahasia umum.

Menurut dia, BUMN juga seringkali mendapatkan intervensi politik yang kemudian mengganggu dari sisi kinerja untuk bisa maksimal sebagai perusahaan yang harus untung, serta menjalankan fungsinya sebagai agen pembangunan.

Maka idealnya, orang-orang yang diangkat sebagai komisaris memiliki kompetensi untuk menjalankan dua fungsi tersebut. Namun kalau semata-mata dipilih karena kedekatan politik, menurut Faisal, ini yang seringkali menggerogoti kinerja BUMN.

"Dan kita tahu sudah banyak track record BUMN yang tidak perform, karena permasalahan bukan orang yang tepat, tidak mengikuti prinsip right man on the right place," tuturnya.

Oleh karena itu, menurutnya, jika memang harus mengakomodir dari sisi kepentingan politik pemenang Pemilu, tetap harus memperhatikan aspek meritokrasi.

"Jadi walaupun ada kedekatan politik, tapi disaring lagi. Ada memang orang-orang yang punya kompetensi dan punya tanggung jawab untuk mencapai dua hal tadi, meningkatkan kinerja BUMN-nya dan mendorong fungsinya sebagai agent of development," jelas Faisal.(han)