Gerakan Politik Moral Kampus, Sebuah Sensasi ataukah Kesalehan Ilmiah?

Akhir-akhir menjelang H-10 muncul gerakan politik moral dari beberapa kampus, yang semuanya memberikan pernyataan adanya “kecacatan moral” dalam demokrasi saat ini.

Feb 13, 2024 - 06:33
Gerakan Politik Moral Kampus, Sebuah Sensasi ataukah Kesalehan Ilmiah?

Oleh: Munawar Ahmad

Akhir-akhir menjelang H-10 muncul gerakan politik moral dari beberapa kampus, yang semuanya memberikan pernyataan adanya “kecacatan moral” dalam demokrasi saat ini. Hingga tulisan ini dibuat, sudah tercatat ada 30 elemen yang mengatasnamakan Perguruan Tinggi menyatakan “suara moral”nya.

Dimulai dengan UGM, tanggal 31 Januari 2024, terus bergulir ke beberapa daerah membawa spirit moral dunia kampus.  Masing-masing kampus telah menyatakan suara yang sama, yakni adanya pencacatan demokrasi yang dilakukan oleh presiden. Mereka sepakat menyerukan untuk memakzulkan presiden, dan menghapus paslon nomor 2 dari kartu suara, serta menyerukan memperketat pengawasan proses pemilu serentak semua kampus untuk turun.

Sungguh menarik peristiwa menjamurnya gerakan politik moral dari kampus-kampus pada fase terakhir masa kampanye. Para deklarator pernyataan dibacakan oleh simbol tertinggi intelektual, seorang professor atau doktor, dengan lantang membacakan argument pertimbangan, serta tuntutan, yang tersusun secara bahasa ilmiah dan sarat muatan etika yang tinggi dengan mengatasnamakan sakralitas demokrasi. Meskpun demikian, deklarasi tersebut pada akhirnya mendapatkan reaksi perlawanan dari kalangan internal kampus mereka sendiri. Deklarasi politik moral kampus, ternyata bergerak tidak seragam di internal kampus.

Memang kampus, dalam sejarah perpolitikan di Indonesia memberi peran signifikan dalam membangun perubahan radikal. Tinta emas sejarah mencatat indah pergerakan mahasiswa. Ia diartikan sebagai pengakuan terhadap peran sentral mahasiswa dalam perjalanan bangsa. Angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974 hingga 1998.

Secara historis gerakan mahasiswa dan kepemudaan Indonesia dimulai masa pra kemerdekaan. Tahun 1908, 23 mahasiswa Indonesia yang kuliah di Belanda mendirikan wadah perkumpulan Indische Vereniging. Di Indonesia pada tahun yang sama berdiri organisasi kepemudaan Budi Utomo.

Indische Vereniging berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia untuk mengakomodasi semua orang Hindia (Indonesia) tanpa diskriminasi. Sekitar tahun 1923 sampai 1930 organisasi ini berubah jadi organisasi politik. Sebuah metamorfosis yang berani demi merebut hati rakyat untuk mencapai kemerdekaan. Semangat makin mengristal hingga lahir Sumpah Pemuda tahun 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Setelah Indonesia merdeka, masa rezim Soekarno, terdapat tiga kekuatan bangsa. Mahasiswa, Presiden Soekarno dan Angkatan Darat. Peran mahasiswa tumbuh bersama dengan terbentuknya Badan Kerjasama Pemuda dan Militer. Ini forum pertama gerakan mahasiswa ikut dalam kancah politik atas nama sendiri.

Sampai masa kemelut ekonomi dan politik pada 1966, dibarengi kudeta PKI meski faktanya masih kontroversial pada 30 September 1966 terjadi chaos di Bumi Pertiwi. Pemimpin mahasiswa tergabung dalam KAMI dan KAPPI menjalin kerjasama erat dengan militer, terutama pimpinan Angkatan Darat, menaikkan Jenderal Soeharto dan lahirlah Orde Baru. Demikian juga dengan Gerakan 1974, menjadi tonggak peristiwa Malari, 15 Januari 1974. Kemudian 1998, gerakan mahasiswa mengakhiri kekuasan Orde Baru, menjadi Orde Reformasi.

Gerakan politik etik menekankan pada kesadaran atas perilaku politik dengan tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik privasi, mengharuskan praktek-praktek kesalihan moral sebagai pejabat publik. Padahal, antara etik dan politik sebenarnya memiliki hubungan konsep yang kompleks. Walaupun demikian antar etik-politik terdapat hubungan yang erat sekali, semisal pendapat Hannad Arendt, mengatakan jika politik dan kebebasan itu sebenarnya guna meneguhkan sebuah etika, bukan kepentingan belaka.

Etika adalah dimensi yang lekat dalam kehidupan sehari-hari, apalagi politik. Apabila menurut etimologinya, kata “ethos”, berakar pada bahasa Latin, “mos”, sebagai kata dasar dari “mores,” “moral”. Kata “moral” merujuk pada realitas, kebiasaan. Sebuah kesadaran tentang apa yang dikerjakan dan siapa yang bertanggungjawab atas apa. Dengan kata lain, etika, merupakan the ways of living, cara, gaya hidup yang berkesadaran keadaban. Sebagaimana Paulo Freire, mengatakan “we are ethical beings, ethics pervades our entire existence

Kehadiran kampus-kampus memberi pernyataan atas situasi demokrasi untuk pilpres 2024 ini bisa saja mencerminkan adanya sikap moral tinggi, yang melihat adanya “cacat” yang dianggap melanggar etika, dari penguasa yang dianggap menciderai “keharusan alamiah” sosok pejabat publik untuk tidak intervensi dalam proses demokrasi. Atau mungkin, ditemukan adanya “pencacatan” demokrasi atas dugaan adanya intervensi terhadap kebijakan publik demi kepentingan privasi. Namun, bisa juga “celotehan” kampus-kampus justru bukan karena melihat adanya kecacatan, akan tetapi lebih karena upaya “lempar batu sembunyi tangan” segelintir kelompok yang kecewa atas tindakan penganaktirian oleh kekuasaan.

Dunia kampus dianggap garda demokrasi, karena di dalam kampus diajarkan moral berdemokrasi, diajarkan bagaimana menjadi warga negara sekaligus diajarkan bagaimana integritas moral ketika berada menjadi bagian kekuasaan. Semangat etisnya menjadi penjaga moral dari sosok kampus. Sehingga dengan menjamurnya keberatan pihak kampus terhadap proses demokrasi saat ini, lama-lama akan menjadi gelombang suara yang besar, hiruk pikuk, menggema, kemudian menjadi air bah memancing demonstrasi di semua daerah, menentang proses demokrasi yang dianggap telah cacat dalam kacamata kaum kampus, para profesor, para doctor, serta intelektual lainnya. Gerakan moral menjadi argumen bekerja gerakan sosial berikutnya. Jika semua kampus menyatakan keberatan, maka ada kondisi das sein tentang kecacatan sebagai fakta hukum.

Sekali lagi, kampus sebagai simbol idealisme dan juga moral, dianggap menjadi penentu adanya kebejatan moral dalam praktek politik, selalu menjadi inspirasi bagi pengantar gerakan massa kaum terpelajar, menorehkan revolusi sosial dan politk di semua peradaban masyarakat. Hal tersebut akan dihargai sebagai gerakan moral, sebagai kesalihan ilmiah, karena dengan pemikirannya yang kritis non partisan, kampus bisa mengendus kecurangan sekaligus kebejadan moral sehingga dapat menyelamatan masa depan negara ini dari tirani. Namun jika seruan moral tersebut sebagai bentuk protes emosional dan partisan, maka kampus mengalami kesalahan ilmiah, degradasi intelektual sekaligus moral.

Ini pertaruhan jadi diri, ketika kampus dijadikan garda depan demokrasi, menjadi pejuang demokrasi dengan semangat etika-idealisme nya, memperjuangkan das sollen bagi proses demokrasi. Namun sebagian pengamat justru melihat menjamurnya pernyataan moral dari kampus yang serentak, seakan semuanya sudah terencana untuk bersuara tidak spontan, apalagi beberapa kampus yang bersuara merupakan kampus yang sebelumnya terbilang apatis pada politik. Maka pro kontra muncul bersamaan dengan dugaan gerakan partisan kampus. Benar atau tidak, tentu semuanya masih berupa dugaan.

Akan tetapi hal yang patut dikritis yakni, jika benar, apakah memang sudah terbukti adanya pencatatan demokrasi oleh presiden? Atau isu pencacatan tersebut hanyalah dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah? Tetapi mengapa jika baru sebuah dugaan, lembaga intelektual ini sudah gegap gempita menyatakan keprihatinannya atas adanya pencacatan tersebut, seakan memang sudah terjadi pencacatan akut terhadap demokrasi.

Atas kondisi kompleks ini kita semua harus merenung ulang mengapa dunia kampus yang dianggap netral, non partisan, telah menunjukkan keseriusannya melakukan gerakan wacana untuk memframing telah terjadi pencacatan demokrasi secara akut oleh presiden. Ini sepertinya yang diyakini oleh kampus bahwa telah terjadi kasus pelanggaran etika pejabat publik terhadap demokrasi. Jika memang dugaan tersebut benar, maka seyogyanya,semua pihak untuk menahan diri dan menghentikan pelanggaran tersebut. Memberi kesempatan kepada masyarakat untuk tenang dalam menjalani minggu tenang karena proses demokrasi akan memasuki dua fase yang sangat panas, yakni pemberian suara, serta penghitungan suara, tidak dapat dihentikan lagi.

Perlu diketahui jika framing kecacatan demokrasi, bukanlah force major bagi proses demokrasi. Maka tidak ada alasan yang bisa menundanya. Alasan force major yang dapat menunda proses pemilu menurut pasal 431 ayat 1 dan pasal 432 ayat 1 UU No 17 tahun 2017, yakni tahapan pemilu terhenti atau tidak dapat dilaksanakan. Tidak hanya karena adanya kerusuhan, gangguan keamanan, dan bencana alam, serta bukan gangguan lainnya yang dapat dipolitisi atau direkayasa untuk kepentingan tertentu. Namun jika gerakan framing tersebut telah berhasil menggema dan dianggap sebagai bukti lunturnya trust masyarakat terhadap penyelenggara KPU, bisa saja ini masuk dalam kategori bencana-non alam.

Gerakan moral kampus ini secara sepihak telah mendeskriditkan kredibilitas presiden, sebagai aktor pencacatan demokrasi. Sehingga berdampak pada masyarakat akan semakin skeptis dan tidak menghormati lembaga hukum, demokrasi serta presiden. Jika ini terjadi, yang sejatinya ingin memberikan kesalihan ilmiah, justru menjadi kesalahan ilmiah yang dilakukan oleh perguruan tinggi, sebuah tragedi ilmiah terburuk di Indonesia. prudenter agas, et respice finem.

 

Dr. Munawar Ahmad, S.S., M.Si. adalah dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Editor: Wadji