Bancakan Penggede dan Petani Berdasi di Program Redistribusi Tanah di Kampung Reforma Agraria

Jun 15, 2023 - 00:27
Bancakan Penggede dan Petani Berdasi di Program Redistribusi Tanah di Kampung Reforma Agraria
Hamparan kebun teh yang dikuasai para penggede dan petani berdasi di Kampung Reforma Agraria.

NUSADAILY.COM - PASURUAN - Terkuaknya praktek pungutan liar (pungli) pada program Redistribusi Lahan di Desa Tambaksari Kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan menyingkap fakta baru. Sertifikasi lahan seluas 97 hektar di lereng Gunung Arjuno tersebut dimanfaatkan para penggede dan petani berdasi mencaplok hak para petani penggarap.

Para petani yang turun temurun menggarap lahan perkebunan pada kenyataannya banyak yang tidak menikmati program redistribusi lahan. Ini karena mereka harus menebus puluhan juta atas lahan garapannya yang diklaim milik Puji Asmoro.

Padahal sejatinya, program redistribusi tanah adalah berada pada objek tanah yang berasal tanah absente, tanah swapraja serta tanah bekas swapraja yang beralih kepada negara dan tanah-tanah yang dikuasai negara. Ironisnya, sebagian lahan redistribusi tersebut diklaim milik ahli waris yang menguasai tanah sejak jaman penjajahan Belanda.

"Untuk mengikuti program redistribusi, petani harus menebus lahan garapan terlebih dahulu. Nilainya puluhan juta, tergantung luasan dan boleh diangsur. Setelah itu harus membayar retribusi Rp 2.400 per meter. Petani harus membayar dua kali untuk mendapatkan sertifikat," ujar seorang petani penggarap yang terpaksa tidak ikut program redistribusi lahan karena tidak memiliki biaya.

Untuk menyiasati agar para penggarap tidak bisa mengikuti program redistribusi, mereka hanya diberikan waktu hitungan jam. Sehingga ketika ketika mereka 'angkat tangan', posisinya digantikan para petani berdasi dan para penggede.

"Saya ditawari ikut program redistribusi sore hari, jam 19.00 harus sudah menyiapkan uang retribusi Rp 2.400 per meter dikalikan luas lahan. Saya akhirnya tidak bisa ikut," jelasnya.

Menurutnya, tanah-tanah yang dianggap tak bertuan ini diambil alih orang-orang yang bukan berasal dari desanya. Orang-orang yang memiliki modal dan memiliki pengaruh kekuasaan tersebut meminjam nama petani penggarap untuk mengikuti program sertifikasi.

"Petani penggarap yang tidak mendaftar program redistribusi, namanya dicatut dalam sertifikat lahan. Mereka baru tahu setelah menjalani pemeriksaan penyidik Kejari Kabupaten Pasuruan," tandasnya.

Para penggede yang defacto menguasai lahan redistribusi diantaranya adalah pejabat dan mantan pejabat. Mereka ada yang membeli lahan dari para petani penggarap dan meminjam nama warga untuk pengajuan sertifikasi dikawasan yang telah ditetapkan Kementerian ATR/BPN sebagai Kampung Reforma Agraria yang pertama di Jatim.

Direktur Pusat Studi dan Advokasi Kebijakan (Pusaka), Lujeng Sudarto menyatakan bahwa penyidik Kejari Kabupaten Pasuruan harus membongkar mafia tanah di program redistribusi tanah. Bahwa kepemilikan lahan oleh para penggede dan petani berdasi yang mengatasnamakan para petani penggarap itu menciderai program landreform yang dicanangkan pemerintah.

"Simpul-simpul untuk membongkar mafia tanah dan kepemilikan lahan para penggede dan petani berdasi sudah terang benderang. Kasus pungli harus menjadi pintu masuk untuk membongkar kasus mafia tanah menguasai tanah dan merampas hak petani penggarap," tandas Lujeng Sudarto yang menjadi kuasa hukum petani penggarap. (oni)