Ada Tudingan Tak Jujur ke Lembaga Survei Ditengah Fenomena Hasil Berbeda

Data KPU RI mencatat lembaga survei yang terdaftar sejak pemilu 2009 sampai 2019 mengalami lonjakan. Data KPU mencatat sebanyak 18 Lembaga survei terdaftar di KPU pada Pemikiran 2009. Kemudian angka melonjak sampai 56 lembaga yang terdaftar di KPU. Pada pemilu 2019 lalu terdapat 40 lembaga survei telah terdaftar.

Jun 15, 2023 - 18:57
Ada Tudingan Tak Jujur ke Lembaga Survei Ditengah Fenomena Hasil Berbeda

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Bisnis lembaga survei politik yang kian menjamur di Indonesia jelang pemilu tak bisa dilepaskan dari iklim demokrasi di Indonesia setelah era Orde Baru.

Lembaga-lembaga ini kerap menyajikan pelbagai jajak pendapat dalam tiap momen jelang pemilu. Mulai dari pra pemilihan seperti survei popularitas hingga elektabilitas kandidat/parpol hingga pascapemilihan dengan exit poll serta hitung cepat (quick count).

Bila ditilik ke belakang, kehadiran jajak pendapat pada pemilu pertama kali bisa terlacak dari kiprah Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES) jelang Soeharto lengser.

Indonesianis Marcus Mietzner dalam "Political Opinion Polling in Post-authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?" (2009) menjelaskan bahwa LP3ES sempat menggelar quick count di Jakarta pada pemilu 1997 atau pemilu terakhir di masa Orde Baru.

Namun, rezim Orba kala itu masih merekayasa hasil pemilu, sehingga membuat perhitungan alternatif oleh lembaga survei tidak dapat membantu pemilu lebih transparan.

Setelah Soeharto lengser, LP3ES turut menyelenggarakan jajak pendapat terbatas di Pulau Jawa dalam Pemilu 1999. Saat itu, LP3ES masih kekurangan sumber daya manusia.

Lembaga-lembaga survei pun mulai menjamur seiring perubahan sistem politik Indonesia setelah amendemen UUD 1945. Pola pemungutan suara jadi dilakukan secara langsung oleh masyarakat.

Selain LP3ES, muncul pula lembaga survei lain di antaranya Internasional Republican Institute (IRI), Lembaga Survey Indonesia (LSI) hingga Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS).

Pada 2003, LSI muncul dibidani akademisi Saiful Mujani dan Denny JA. Keduanya adalah jebolan Ohio State University, Amerika Serikat.

Reputasi lembaga survei di Indonesia tak lepas dari kontroversi. Sorotan tajam publik ke lembaga survei terjadi pada Pemilu 2014 ketika Puskaptis merilis quick count dengan hasil ngawur.

Hasil quick count Puskaptis saat itu menyatakan perolehan suara Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mengungguli Joko Widodo-Jusuf Kalla. Beda dengan hasil quick count yang dilakukan mayoritas lembaga lainnya.

Hasil quick count yang dilakukan Puskaptis kala itu juga berbeda jauh dengan real count KPU. Setelah itu, Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) melakukan audit dan mengeluarkan Puskaptis dari keanggotaan.

Fenomena beda hasil survei

Perbedaan hasil yang dirilis lembaga survei tidak hanya di segmen quick count, tetapi juga mengenai elektabilitas atau popularitas suatu calon.

Sebagai contoh di Bulan Mei 2023 ketika beberapa lembaga survei ternama merilis hasil berbeda.

Lima lembaga yang merilis hasil survei elektabilitas capres di Bulan Mei antara lain Saiful Mujani Research Center (SMRC), Charta Politika, LSI Denny JA, Litbang Kompas dan Indikator Politik. 

Periode survei kelima lembaga tersebut tak jauh berbeda. Survei SMRC dilakukan melalui telepon sepanjang 23-24 Mei, survei Indikator dilaksanakan pada 26-30 Mei, Charta Politika pada 2-7 Mei, Litbang Kompas lewat wawancara tatap muka 29 April-10 Mei, dan survei LSI  Denny JA pada 3-14 Mei di 34 provinsi.

Jika dirinci, Litbang Kompas, LSI Denny JA dan Indikator Politik menyatakan Prabowo Subianto memiliki elektabilitas paling tinggi dibanding capres lainnya. Namun, SMRC dan Charta Politika merilis survei berbeda. Ganjar Pranowo yang punya elektabilitas tertinggi.

Tak lama kemudian, beredar rekaman video akademisi Rocky Gerung mengkritik lembaga survei. Dia menganggap survei yang ada sekarang hanya upaya tipu menipu.

Pernyataan Rocky itu lantas dibantah oleh para bos-bos lembaga survei. Salah satunya pendiri lembaga survei SMRC Saiful Mujani yang menegaskan pihak pemberi biaya tidak boleh mendikte proses dan hasil. Dengan kata lain, hasil survei tetap berdasarkan proses ilmiah, bukan manipulasi sesuai pesanan.

Peneliti sekaligus Manager Program Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad menjelaskan SMRC selama ini melakukan survei berdasarkan kerja sama dengan klien maupun dilakukan secara mandiri.

"Dua-duanya dilakukan. Survei kalau ada klien, kadang-kadang kita survei juga kalau enggak ada klien tapi butuh mengetahui data tertentu, itu juga kita lakukan survei," kata Saidiman kepada CNNIndonesia.com, Selasa (13/6).

Saidiman menjelaskan klien yang selama ini bekerja sama dengan SMRC beraneka ragam. Mulai dari lembaga akademik, media, lembaga bisnis, partai politik hingga kandidat yang ingin maju di Pemilu.

Ia mengatakan klien yang mempercayakan SMRC melakukan survei untuk pelbagai kepentingan dan tujuan. Mulai ingin melihat persoalan sosial, ekonomi hingga terkait politik.

"Yang selama ini publik tahu kan SMRC buat survei soal elektabilitas, soal politik, ya memang itu salah satu bagian dari sekian survei yang lain. Ada juga survei soal sosial, ekonomi, keamanan dan lainnya," kata dia.

SMRC melakukan survei berdasarkan metode yang objektif dan ilmiah meskipun dibiayai oleh klien atau dilakukan secara biaya mandiri. Ia percaya para kliennya juga ingin supaya hasil survei yang diperoleh nantinya mencerminkan realitas di tengah masyarakat.

Ia membantah bila ada anggapan hasil survei dapat direkayasa demi 'memuaskan' klien.

"Jadi enggak ada kata memuaskan atau tidak. Jadi dia dapat data sesuai ekspektasinya atau data tidak sesuai ekspektasi. itu biasa aja. Jadi survei gunakan objektif. Jadi klien pasti enggak mau pesan survei tapi tak objektif. Ngapain dia bayar kalau hasilnya direkayasa. Pasti hasil harus objektif," kata dia. 

Saidiman enggan merinci tarif yang harus dibayar oleh klien jika bekerja sama dengan SMRC melalukan survei opini publik. Namun, ia mengatakan harga yang dipatok akan makin mahal bila cakupan wilayah survei semakin luas.

"Itu tergantung wilayahnya. Misalnya survei nasional atau level dapil. Jelas dong [lebih mahal]. Karena biaya operasional lebih besar," kata dia.

Saidiman mengatakan SMRC selama ini menjunjung profesionalitas soal hasil survei yang dipesan klien. Jika survei dilakukan untuk konsumsi internal klien, maka hasilnya tak akan dipublikasikan. Ia mengatakan hasil survei yang dipublikasikan ke publik selama ini cuma sebagian kecil saja.

"Kalau mereka pakai data untuk keperluan internal ya enggak di-publish. Tapi umumnya tak dipublikasi," kata dia.

Dibatasi KPU

UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tak melarang eksistensi lembaga survei melakukan kegiatan. Namun, UU ini melarang pihak yang mengumumkan hasil survei di masa tenang jelang pemungutan suara Pemilu 2024.

Masa tenang adalah waktu ketika para peserta pemilu tidak boleh lagi melakukan aktivitas kampanye selama beberapa hari jelang hari pemungutan suara.

Dalam Pasal 509 disebutkan bahwa sanksi bisa diberikan berupa hukuman penjara maksimal satu tahun dan denda belasan juta Rupiah.

"Dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp12 juta," bunyi Pasal 509.

Sementara itu, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2022 terkait partisipasi masyarakat saat gelaran Pemilu 2024 turut mengatur Lembaga Survei dapat mengumumkan hasil penghitungan cepat Pemilu boleh dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.

Data KPU RI mencatat lembaga survei yang terdaftar sejak pemilu 2009 sampai 2019 mengalami lonjakan. Data KPU mencatat sebanyak 18 Lembaga survei terdaftar di KPU pada Pemikiran 2009. Kemudian angka melonjak sampai 56 lembaga yang terdaftar di KPU. Pada pemilu 2019 lalu terdapat 40 lembaga survei telah terdaftar.(han)