UU DKJ Disebut Koalisi Masuarakat Sipil Cuma Fasilitasi Pemodal

"Masyarakat selalu mendapatkan dampak dari atas pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah sejauh ini tidak pernah mengedepankan aspek HAM dalam pembangunan di Jakarta," ujarnya.

Apr 4, 2024 - 10:04
UU DKJ Disebut Koalisi Masuarakat Sipil Cuma Fasilitasi Pemodal
Ilustrasi Monas

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil dengan nama Koalisi Dewan Keprihatinan Jakarta meminta agar pemerintah mencabut Undang-undang Daerah Khusus Jakarta (DKJ).

Mereka menilai produk legislasi itu hanya memfasilitasi kepentingan elite para pemodal.

"Koalisi Dewan Keprihatinan Jakarta menuntut agar Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta dicabut," ucap anggota PHBI Jakarta, Muhamad Ridwan Ristomoyo dalam konferensi pers, Rabu (3/4).

Koalisi Dewan Keprihatinan Jakarta juga mendesak pemerintah untuk memastikan kekhususan Jakarta harus terletak pada pemulihan ekologisnya.

Kemudian, memastikan masyarakat berpartisipasi secara bermakna dalam seluruh kebijakan dan pembangunan di Jakarta dan wilayah sekitarnya.

Ridwan mengatakan pemerintah selalu menggunakan dalih pembangunan hijau untuk aglomerasi. Padahal, pembangunan di Jakarta tidak pernah lepas dari betonisasi yang memarjinalkan masyarakat, seperti kasus Kampung Susun Bayam.

"Masyarakat selalu mendapatkan dampak dari atas pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah sejauh ini tidak pernah mengedepankan aspek HAM dalam pembangunan di Jakarta," ujarnya.

Selain itu, kata dia, ada problematika hukum yang terjadi pada UU DKJ ,yakni pembahasan dalam waktu yang sangat sempit.

Waktu pembahasan yang sempit tak hanya mempertaruhkan substansi pengaturan, namun akan berdampak pada terbatasnya waktu bagi masyarakat berpartisipasi dalam proses penyusunan undang-undang Jakarta.

Ridwan menilai rendahnya partisipasi masyarakat akan menyebabkan lemahnya legitimasi undang-undang tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur LBH Jakarta Citra Referandum mengatakan bahwa UU DKJ hanya mengakomodir kepentingan para elite.

"Jika membaca keseluruhan naskah dalam UU DKJ, maka dapat dilihat tujuan sebenarnya dari beleid ini adalah untuk memfasilitasi kepentingan elite para pemodal," jelasnya.

Citra berkata meskipun pada konsiderans pertama memuat mengenai perwujudan kesejahteraan rakyat dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia, namun hal tersebut hanya tempelan belaka.

"Tujuan utama dari disahkannya undang-undang ini sebetulnya terdapat pada konsiderans kedua, yakni menjadikan Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global," kata Citra.

Ia menyebut pembangunan pusat perekonomian dan kota global itu tidak betul-betul memastikan jaminan pemenuhan HAM dan kesejahteraan rakyat.

Sebab, berbagai ketentuannya hanya berfokus memberi peran kepada dewan-dewan elite yang pengaturannya akan diatur kemudian oleh presiden dan gubernur. Dewan-dewan elite tersebut adalah Dewan Kota/Kabupaten dan Dewan Kawasan Aglomerasi.

"Tidak adanya partisipasi masyarakat tidak hanya terjadi pada tahap penyusunan hingga pengesahan, tetapi juga akan terjadi pada tahap pelaksanaan undang-undang mengingat substansi pengaturannya justru meminggirkan hak masyarakat khususnya kelompok miskin perkotaan," ucapnya.

Proyeksi ke depan, kata dia, berbagai wilayah di Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, dan Cianjur akan distempel paksa sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).

Dampaknya, menurut Citra, masyarakat perkotaan kian dimiskinkan secara struktural, berbagai hak-hak asasi baik ekonomi-sosial-budaya maupun sipil-politik akan dilanggar. Selain itu, kualitas hidup masyarakat semakin menurun. 

"Kami juga tidak menemukan pengaturan khusus mengenai partisipasi masyarakat dalam UU DKJ ini. Bahkan frasa 'partisipasi' hanya ditemukan satu kali dalam naskah," ujar Citra.

"Kami menilai berbagai proses legislasi yang tidak mematuhi prinsip partisipasi bermakna, maka otomatis pula pengaturan hingga pelaksanaan undang-undangnya juga pasti mengabaikan hak-hak asasi warga negara," imbuhnya.(han)